Kamis, 31 Mei 2012

Dampak Liberalisasi Pertanian


Dampak Liberalisasi Pertanian
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
SUMBER :  KOMPAS, 31 Mei 2012


Tulisan Profesor Bustanul Arifin di Kompas, 21 Mei 2012, menyoal kegentingan masalah di sektor pertanian, merupakan peringatan serius bagi pemerintah. Ada tiga poin penting yang diketengahkan: penurunan produksi, konversi lahan, dan kelemahan implementasi kebijakan.

Secara prinsip saya sepakat dengan elaborasi persoalan itu, termasuk beberapa rekomendasi jalan keluarnya.

Sungguh pun begitu, sebagian rekomendasi itu merupakan ”syarat perlu” (necessary), tetapi belum mencukupi (not sufficient). Terdapat tiga fakta lain yang mesti diumumkan agar problem tersebut bisa diatasi sampai ke akar-akarnya.

Pertama, penurunan produksi terjadi bersamaan dengan liberalisasi (sektor pertanian). Kedua, lahan persawahan terus menyusut, tetapi area perkebunan makin meluas. Ketiga, peningkatan produksi tidak akan berdampak terhadap kesejahteraan petani jika tidak dikaitkan dengan strategi transformasi ekonomi.

Kemandirian Pangan

Lanskap perekonomian nasional harus diakui membawa perubahan drastis seusai krisis ekonomi 1997/1998. Liberalisasi tak hanya terjadi di sektor keuangan (yang dimulai secara sistematis sejak 1983), tetapi juga di sektor produksi dan perdagangan. Sektor pertanian juga bukan pengecualian, saat peran Bulog dipereteli sehingga hanya mengurus beras (tadinya sembilan bahan pokok) dan aneka tarif perdagangan dihapus.

Hasilnya, produksi komoditas penting, seperti jagung dan kedelai, langsung merosot. Kemandirian pangan kedelai, buah, kacang tanah, susu, gula putih, jagung, daging sapi, dan sayuran kian menyusut dan belum ada tanda-tanda meningkat dalam jangka pandek. Cadangan pangan (beras) Indonesia hanya 4,38 persen dari total produksi, jauh tertinggal dari Thailand (61,52 persen), Brunei (52,07 persen), Vietnam (24,44 persen), Myanmar (18,23 persen), Filipina (16,5 persen), Laos (15,71 persen), dan Malaysia (10,85 persen) [ASEAN Food security Information System; dalam Hanani, 2012].

Konversi lahan juga menarik dicermati karena sebagian besar terjadi pada lahan sawah, entah untuk keperluan industri, permukiman, atau yang lain. Proses itu terus berlangsung sampai kini sehingga luas lahan kira-kira berkurang sekitar 60.000 hektar per tahun (setelah ditambah 40.000 lahan baru per tahun). Penurunan produksi kedelai dan jagung sebagian juga akibat penyusutan lahan. Oleh karena itu, di samping soal liberalisasi perdagangan, konversi lahan merupakan persoalan utama di balik penurunan produksi. Masalahnya, mengapa pola yang sama tidak terjadi di perkebunan? Lahan kelapa sawit, misalnya, setiap tahun rata-rata bertambah 6,7 persen (Indef, 2011).

Jika dilihat dari struktur kepemilikan, memang terdapat perbedaan antara lahan sawah dan kebun. Lahan sawah dikelola oleh petani kecil (rata-rata penguasaan lahan di Jawa kurang dari 0,5 hektar), sementara perkebunan didominasi investor besar yang menguasai ribuan hektar. Pertanyaannya, apakah ini terkait lobi/upeti dari para investor kakap itu?

Berikutnya, peningkatan produksi bukan merupakan langkah yang mustahil dilakukan karena sumber daya (lahan) memang tersedia. Namun, peningkatan produksi tanpa dikaitkan dengan strategi transformasi ekonomi yang benar rasanya tidak akan memberikan kesejahteraan yang memadai bagi petani.

Struktur ekonomi di Indonesia bermasalah sebab sektor pertanian masih menyerap sekitar 43 persen dari total tenaga kerja (TK), sementara donasi terhadap PDB hanya 15 persen. Sebaliknya, sektor industri menyerap 12 persen TK, tetapi kontribusi terhadap PDB sekitar 25 persen (sempat 28 persen pada 2005).

Persoalan ini mengemuka karena dua hal: (i) sektor industri yang dikembangkan jauh dari sektor pertanian sehingga kurang menyerap TK/padat modal; dan (ii) TK di Indonesia 70 persen hanya tamat SLTP ke bawah sehingga sulit masuk ke sektor industri/jasa, andai pun lapangan kerja itu tersedia. Dengan begitu, program peningkatan produksi sejak awal harus dikaitkan dengan strategi industrialisasi.

Realokasi Anggaran

Dalam soal liberalisasi pertanian, studi yang dilakukan Wanki Moon (Is Agriculture Compatible with Free Trade?, 2011) penting dipertimbangkan. Moon menyampaikan bahwa sektor pertanian tidak mungkin diliberalisasi karena tiga argumen: (a) produksi pertanian secara kolektif terkait dengan barang dan jasa nonmarket (lahan, air, keragaman, hutan), baik di tingkat lokal maupun nasional; (b) pertanian terasosiasi dengan isu-isu kemanusiaan, semisal perubahan iklim, kesinambungan, dan ketahanan pangan (kemiskinan/kelaparan), khususnya di negara berkembang; dan (c) sektor pertanian memiliki peran dan kemampuan berbeda-beda antarnegara sehingga kekalahan dalam liberalisasi bisa jadi petaka kemanusiaan.

Mencermati perkembangan sektor pertanian pasca-liberalisasi perdagangan dan alasan Moon, selayaknya pemerintah memiliki keberanian tekad dan moral untuk menghindarkan perekonomian (sektor pertanian) dari jerat liberalisasi.

Terkait konversi lahan memang dibutuhkan regulasi yang melarang perubahan pemanfaatan lahan pertanian dan penegakan kebijakan. Namun, di luar itu butuh program perluasan lahan yang masih mungkin di luar Jawa. Pemerintah selama ini berdalih keterbatasan anggaran untuk menyiapkan infrastruktur pembukaan lahan sawah (berbeda dengan lahan baru di perkebunan yang dibiayai sendiri oleh investor). Jika pemerintah punya komitmen, anggaran itu sebetulnya bisa diambilkan dari dana pengurangan kemiskinan (yang dialokasikan Rp 90 triliun di APBN). Jadi, masalahnya adalah realokasi, bukan keterbatasan anggaran. Justru dengan langkah ini, program pengurangan kemiskinan jadi jauh lebih sistematis/kredibel dan efektif dalam jangka panjang.

Selebihnya, pemerintah mesti berjibaku meningkatkan pendidikan dan keterampilan TK (tenaga kerja, red), di samping menyiapkan strategi industrialisasi berbasis pertanian, agar transformasi ekonomi berjalan matang. Pemerintah mesti bergegas agar petaka tidak tiba mendahului.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar