Selasa, 29 Mei 2012

Diplomasi Grasi Corby


Diplomasi Grasi Corby
Andi Purwono ; Dosen Hubungan Internasional/Dekan FISIP
Universitas Wahid Hasyim Semarang 
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 29 Mei 2012


PRESIDEN SBY pada 15 Mei 2012 menandatangani grasi terkait dengan pengurangan hukuman 5 tahun yang diajukan Schapelle Leight Corby, warga negara Australia, terpidana 20 tahun kasus penyelundupan ganja di Bali. Kontroversi pun menyeruak namun Menkumham Amir Syamsuddin (25/05) menegaskan pemberian grasi merupakan kebijakan diplomasi. Wajar dan tepatkah wujud diplomasi itu?

Dalam upaya mencapai tujuan diplomatik, pemerintah bisa menggunakan berbagai cara. Menurut ahli diplomasi India kuno Kautilya, hal itu bisa dilakukan lewat penerapan satu atau kombinasi beberapa prinsip dari empat prinsip utama instrumen diplomasi, yaitu sama (perdamaian atau negosiasi), dana (memberi hadiah atau konsesi), danda (menciptakan perselisihan), dan bedha (mengancam atau menggunakan kekuatan nyata).

Dalam bahasa diplomasi modern (Roy:1991), empat prinsip itu terangkum dalam tiga model tingkah laku negara, yaitu cooperation, accomodation, dan opposition (kerja sama, penyesuaian, dan penentangan). Artinya, pilihan pemberian grasi Corby sejatinya sah-sah saja, apalagi dikaitkan dengan hak prerogatif Presiden. Namun dalam konteks diplomasi, ada sejumlah kelemahan yang susah disangkal sehingga akurasi diplomasi melalui pemberian grasi layak dipertanyakan.

Pertama; tak bisa dimungkiri muncul nuansa dan keyakinan dari banyak pihak bahwa kita terlalu tunduk pada kemauan negara lain. Ini misalnya tercermin dari pandangan Wakil Ketua DPR Pramono Anung  yang menyebut kasus ini tidak lepas dari tekanan dan lobi pemerintah Australia.

Grasi terhadap Corby menjadi tidak lazim karena selama ini belum pernah terdengar ada pengurangan hukuman sebanyak itu bagi tahanan warga negara sendiri. Soal tudingan tunduk kepada tekanan pihak asing dan inferioritas ini merupakan problem besar yang dihadapi negara berkembang, seperti Indonesia dalam relasi dengan negara besar lain.

Akar Domestik

Kedua; ada logika yang kurang tepat kalau grasi dimaknai untuk tujuan diplomasi karena ini menunjukkan langkah negatif. Masalah permanen diplomasi adalah untuk mencapai ”kompromi” kepentingan dengan pihak lain.

Demi kepentingan nasional, kompromi itu seharusnya diperoleh lewat langkah positif, yaitu ”memaksa, menekan, dan meminta”, dan bukannya negatif yakni ”memberi”.

Dalam perspektif realisme politik, pernyataan Menkumham bahwa pemberian grasi dimaksudkan agar Australia bertindak sama kepada WNI (Indonesia Headline: 26/5) menjadi terkesan naif dan mengiba-iba. Terlebih pada saat yang sama ia menolak tudingan barter. Saat ini banyak WNI berada di penjara Australia, termasuk nelayan, yang dituduh melakukan illegal fishing.

Bila  ingin melindungi WNI di luar negeri, terutama yang tersandung masalah hukum, yang seharusnya dilakukan adalah langkah strategis positif, seperti memberi pendampingan hukum hingga langkah diplomasi cantik lainnya.

Realisme politik internasional mengajarkan kepada kita bahwa kepentingan nasional hanya bisa dipenuhi dengan strategi self help, bukan mengharap kebaikan atau belas kasihan pihak lain. Bahkan realisme mengajarkan jika ingin damai bersiaplah untuk berperang.

Artinya jika tujuannya melindungi warga negara kita di negara lain maka yang seharusnya dilakukan, misalnya secara total berperang dalil sesuai hukum di negara itu.

Ketiga; politik luar negeri, termasuk diplomasi, tak bisa disandarkan hanya pada kondisi luar negeri (external setting) tetapi yang lebih penting juga harus dikaitkan dengan kondisi domestik (domestic roots).

Grasi untuk Corby kehilangan pijakan akar domestik karena timing-nya kurang tepat dalam konteks perang melawan narkoba.

Pada saat Indonesia all out memerangi jaringan internasional narkoba, SBY malah memberi grasi kepada terpidana kasus narkoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar