Kamis, 31 Mei 2012

Energi dan Alternatif Modernitas


Energi dan Alternatif Modernitas
Daniel Mohammad Rosyid ; Guru besar Teknik Kelautan ITS Surabaya dan Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Surabaya
SUMBER :  JAWA POS, 31 Mei 2012


PIDATO SBY pada Selasa malam lalu tidak saja tidak efektif, tapi jauh dari cukup. Sudah jelas bahwa saat ini Indonesia dalam krisis energi. Indonesia telah menjadi importer bersih minyak bumi. Ketergantungan masyarakat terhadap BBM sudah pada taraf kecanduan yang parah yang diakibatkan ketergantungan masyarakat terhadap sepeda motor dan mobil pribadi. Gejala ini menunjukkan bahwa kebijakan energi kita didikte oleh kebijakan transportasi. Sementara kebijakan transportasi kita didikte oleh kebijakan industri dan perdagangan otomotif asing.

Subsidi BBM saat ini jelas kebijakan yang keliru. Selain menghambat energi baru masuk ke pasar energi, gaya hidup masyarakat menjadi tidak sehat. Masyarakat ingin, tapi sebenarnya tidak membutuhkan BBM yang murah. Masyarakat butuh transportasi yang murah, kesehatan, dan juga pendidikan, termasuk buku, yang murah. Kesalahan pemerintah adalah melayani keinginan (bukan kebutuhan) masyarakat yang bisa tak terbatas. Ini secara politis benar, tapi secara moral tidak karena berefek konsumerisme. Jika memimpin adalah mendidik, tugas pemerintah adalah menunjukkan jalan yang benar ke masa depan, dan memberikan teladan bagaimana melakukannya.

Wacana krisis energi berpotensi menyembunyikan asumsi bahwa kita bisa tumbuh terus tanpa batas, terutama dari segi konsumsi energi per kapita. Model pembangunan kita saat ini jelas growth-obsessed. Obsesi pertumbuhan ini mensyaratkan disiplin perencanaan teknokratik terpusat yang sering meremehkan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri dan kreatif di tingkat grass-roots, seperti pada kelompok nelayan, petani, dan perajin di berbagai ekonomi skala kecil di daerah-daerah yang tersebar luas di seluruh Nusantara.

Terobosan mobil Kiat Esemka harus kita lihat dari dua sisi. Sisi yang pertama adalah kebangkitan industri otomotif nasional. Sisi yang kedua adalah kita perlu mewaspadai bahwa mobil dan sepeda motor pribadi adalah bagian dari masalah nasional saat ini yang merupakan derivasi dari obsesi pada sebuah modernitas tinggi-energi dan pertumbuhan yang seolah tanpa batas. Padahal, bumi ini terbatas.

Butuh Beberapa Bumi

Keterbatasan yang jelas adalah keterbatasan ruang. Bagaimana ruang diperebutkan secara zero-sum game telah ditunjukkan secara brutal di jalan-jalan kita. Setiap 30 menit seorang tewas di jalan raya. Kita sudah hampir terlambat untuk membangun angkutan umum masal, terutama yang berbasis rel, baik antarkota maupun untuk kota-kota kita. Obsesi pada solusi jalan adalah jalan sesat yang telah melumpuhkan -jika tidak disebut mematikan- moda rel, sungai, dan penyeberangan. Yang menjadi ukuran kesuksesan kelas menengah adalah kecepatan mobilitasnya, yang sebagian ditunjukkan oleh kepemilikan mobil pribadi.

Pada titik inilah kita mesti ingat peringatan Ivan Illich 40 tahun lalu ("Energy and Equity") bahwa masyarakat dengan konsumsi energi tinggi adalah jalan bagi inefisiensi transportasi, polusi, dan, ini yang terpenting untuk direnungkan, ketidakadilan dalam masyarakat. Sampai tingkat konsumsi energi per kapita tertentu, energi masih berdampak positif. Lebih tinggi dari itu, konsumsi energi justru mulai bersifat destruktif karena mulai merusak lingkungan.

Ivan Illich bahkan maju lebih jauh. Masyarakat yang digolongkan berdasar kecepatannya dalam mobilitas adalah -kecepatan mobilitas menunjukkan tingkat konsumsi energi per kapita- masyarakat yang sakit, seperti tubuh yang sakit akibat kelebihan kalori dalam gula darah. Penyakit masyarakat ini wujud dalam kesenjangan sosial ekonomi. Bahkan, konsumsi energi berlebihan akan justru menghasilkan kelumpuhan sosial-budaya.

Lihatlah bagaimana saat ini bermunculan kawasan bebas mobil di akhir pekan dalam program car free day di kota-kota besar kita. Kita merasakan betapa bisa berjalan kaki dan bersepeda dengan leluasa. Lebih banyak ruang dan waktu untuk bercengkerama dengan sesama warga sekalipun tidak kenal. Semakin banyak mobil dan sepeda motor ternyata justru menyebabkan kekurangan waktu dan ruang.

Istilah krisis energi dengan demikian tidak cukup diartikan semata pada ketidakmampuan kita menghasilkan sumber-sumber energi baru, terutama yang terbarukan, sementara konsumsi energi kita seolah boleh meningkat tanpa batas. Krisis energi juga bisa diartikan ketidakmampuan kita mengendalikan keinginan kita untuk hidup berlebihan dengan mengeksploitasi alam. Pada titik ini pemikiran E.F. Schoemacher dalam "Small is Beautiful" klop dengan Ivan Illich.

Dalam perspektif kemandirian teknologi energi, harus diingat bahwa obsesi pada peningkatan pasokan energi-terutama yg terbarukan- harus diimbangi dengan pengendalian kebutuhan energi yang sehat. Ini berarti perubahan gaya hidup yang lebih rendah energi, terutama melalui penetapan batas kecepatan mobilitas. Oleh Illich bahkan kecepatan mobilitas itu dibatasi hingga enam kali kecepatan orang berjalan kaki, atau kecepatan maksimum bersepeda. Ini berarti lebih banyak fasilitas transit: trotoar lebar untuk pejalan kaki, pengguna sepeda, dan kendaraan berkuda terutama untuk perjalanan jarak pendek di perkotaan dan pedesaan yang tidak memerlukan kecepatan tinggi.

Artinya, kemandirian teknologi energi nasional tidak saja diarahkan pada peningkatan kemampuan produksi energi terbarukan di masa depan. Kita juga harus membudayakan gaya hidup baru dengan teknologi produksi barang dan jasa yang efisien energi.

Di titik inilah kita perlu membedakan diri dari Tiongkok yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia di abad ke-21. Jalan Tiongkok, mungkin juga India, adalah jalan yang salah yang telah ditempuh oleh Eropa dan AS. CEO Unilever mengatakan, jika umat manusia harus mengikuti gaya hidup Eropa, kita membutuhkan tiga bumi, dan jika meniru AS, kita membutuhkan lima bumi. Jika Fareed Zakaria dari Newsweek menyebut abad ke-21 ini sebagai 'a post-American world", dunia setelah kejayaan AS berakhir itu segera disusul oleh 'a post China world" yang sama salahnya. Model Eropa dan AS ini terbukti gagal dan oleh karena itu tidak pantas ditiru.

Kita perlu memilih sebuah jalan baru modernitas yang berbeda dengan jalan modernitas yang telah ditempuh Eropa dan AS yang kini diikuti Tiongkok. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan mereka. Kita memilih modernitas yang memberdayakan kapasitas fitrah kita yang dianugerahi Tuhan dengan dua kaki yang tegaknya mencerminkan tahapan evolusi primata paling maju. Kita membutuhkan teknologi baru yang menguatkan kedua kaki itu sebagai orang-orang merdeka yang tidak mau dilemahkan oleh mesin-mesin budak energi. Jalan baru itu bukan sekadar kebanggaan-kebangsaan semu, tapi sekaligus solusi bagi krisis global saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar