Selasa, 29 Mei 2012

Masa Depan yang Bagaimana?


Masa Depan yang Bagaimana?
JE Sahetapy ; Guru Besar Emiritus Bidang Hukum Pidana
di Universitas Airlangga, Surabaya
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 29 Mei 2012


Ervaring is per definitie nooit af-gesloten, maar een voortgaan proses. - William James (1842-1910)

It is our task to explain rather than to accuse. - Hermann Mannheim
Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku telah menjadi musuhmu. - Galatia 4 : 16

Uraian ini tidak memuat semua problematik yang ada di negara yang kita cintai ini. Saya hanya memilih beberapa problematik secara “arbitrair” tanpa suatu parameter atau kriteria tertentu. Untuk itu saya mohon “klemensi”. Jadi yang saya lakukan hanya berdasarkan pengamatan yang saya pandang relevan sejak 1959, ketika untuk pertama kali saya mulai menjadi pendidik atau pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Kini dalam usia 80 tahun kurang satu bulan, saya mengamati selama ini setumpuk problematik sosial-ekonomi-politik dan kehidupan rakyat di akar rumput, serta berbagai subkultur di Indonesia tampak semakin amburadul, terutama di semua lapisan birokrasi pemerintahan, dan di semua jenjang implementasi penegakan hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, serta kepengacaraan). Pendeknya, dalam segenggam dalam parafrasa kriminologi-viktimologi, masyarakat sedang “sakit” (parah) atau semacam “anomi,” ibarat kanker stadium akhir.

Kehidupan parpol dan para politikus (yang baik) dan para politikus (yang buruk) merajalela sedemikian rupa yang menyangkut moral, etika, dan korupsi, sehingga dapat dipertanyakan apakah mereka itu wakil-wakil rakyat yang terhormat atau bukan. Mereka memang dipilih rakyat, tetapi “ten koste van…” (artinya: dengan harga …) dan “voor wat hoort wat” (artinya: untuk itu tidak ada yang gratis alias ada pamrihnya).

Tidaklah mengherankan kalau sampai Sylvie Rony dalam majalah Time (22/3/1999) menulis bahwa “politicians are like gangsters. Unless you catch them redhanded, you never get them”.

Kenyataan ungkapan via media pers pusat dan daerah sampai April 2012 untuk Indonesia sangat meresahkan, memalukan, dan menyedihkan di mana kenyataan-kenyataan yang ada berbicara untuk dirinya sendiri, dengan catatan bahasa hukum Belanda, bahwa “de uitzonderingen bevestigen de regel”, alias selalu ada perkecualian. Kalaupun ada yang tersinggung maka berlaku pepatah Belanda: wie de schoen past, trekke hem aan alias kalau sepatunya cocok silakan pakai.

Mengapa sampai bisa begitu? Ini persoalan sejarah dan pembusukan (sub)kultur di semua bidang yang bertumpuk sedikit demi sedikit menjadi bukit. Karena sumber air itu sejak mulanya sudah kotor dan tidak dibersihkan, atau keadaan tidak memungkinkan karena tangan besi dan ibarat Kaisar Nero, sudah terlambat bila ibunya dibunuh sendiri dan Kota Roma dibakar dengan menuduh kelompok sektarian yang dibencinya. Voila, secara “mutatis mutandis” juga untuk Indonesia begitu.

Tidak ada maksud dari saya untuk mencatat semua kebusukan dan pembusukannya yang menyangkut semua aspek dan faset kehidupan dan penghidupan. Itu saya serahkan kepada para ahli sejarah dengan catatan, sejarah tidak pernah berbohong. Kalau ada pembohongan sejarah maka sang penulisnyalah yang berbohong, entah karena pesanan, power by remote control, atau karena desakan sektarian atau politik. Pendeknya, seperti ditulis Gunnar Myrdal,

De geschiedenis kan geschapen worden. Het is niet nodig haar als een zuiver lotsbestemming te aanvaarden”, artinya: “Sejarah dapat diciptakan. Ia tidak perlu diterima secara murni sebagai suatu penentuan nasib”.

Keluarga Terhormat

Memang para pelaku sejarah kemerdekaan pada mula pertama berpendidikan Barat dengan disiplin moral dan etik yang tinggi. Tetapi jangan lupa, mereka juga berasal dari keluarga-keluarga yang terhormat. Pada waktu itu saya yakin bahwa ibu-ibu mereka telah ikut mengasah moral dan etik mereka, juga hati nurani.

Itu saya saksikan dari film autobiografi Mahatma Gandhi. Pernah Mahatma Gandhi menulis, “I learned from my illiterate but wise mother that all rights to be deserved and preserved came from duty well done”. Itu pun saya alami dan bisa menyaksikan sendiri dari ibu saya yang tidak bersedia bekerja sama dengan Belanda dan membuka sekolah sendiri semacam Taman Siswa tetapi berbahasa Belanda di zaman kolonial Hindia Belanda di suatu pulau kecil (Saparua) yang tidak terlihat di peta di Maluku Tengah. Sekolah tersebut sangat terkenal pada waktu itu dengan nama Particuliere Saparuasche School (PSS).

Belajar dari apa yang dinamakan Wilde Scholen Ordonnantie, saya risau dan sedih melihat pendidikan di masa kini, terutama di zaman Orde Baru, dan apa yang dinamakan Orde Reformasi dewasa ini. Bayangkan, untuk ujian (UN) dewasa ini polisi harus ikut dalam rangka pengamanan soal-soal ujian. Di manakah harkat, martabat, etik, dan moral para guru?

Bayangkan gara-gara satu kelas minta ikut menyontek–semacam bibit korupsi–di Surabaya, karena putra keluarga yang sederhana dan jujur itu berkeberatan, keluarga itu harus hijrah dari rumah mereka karena dimusuhi kejujurannya. Belum lagi berita (Seputar Indonesia, 4 September 2008) bahwa 60.000 dosen tidak layak atau dinilai belum memenuhi standar pendidikan pengajar universitas.

Tiba-tiba ibarat kilat di siang hari bolong ada instruksi dari Menteri casu quo Dirjen bahwa para “calon sarjana di setiap strata wajib menulis di jurnal ilmiah mulai Agustus nanti” (Tempo, 11 Maret 2012). “Bayangkan, rasio jumlah mahasiswa dan jumlah jurnal sangat jomplang. Yang menjadi pertanyaan, apakah mutu para dosen pembimbing sudah terjamin, dan apakah tersedia sarana penerbitan, dengan catatan selalu ada perkecualian pada perguruan tinggi tertentu. Dalam segenggam, kementerian pendidikan seperti dalam keadaan “fiasko”.

Tidaklah mengherankan kalau di kemudian hari di zaman Orde Baru Soeharto ada dosen pelat hitam, pelat kuning, dan pelat merah. Di era reformasi SBY ini digosipkan ada dosen ”prostitusi”. Di manakah moral, etik, dan integritas para pendidik ini, sampai bahan-bahan ujian pun harus diamankan kepolisian! Sungguh menyesakkan dada! Ibarat “de pot verwijt de ketel” alias pantat kuali menuduh pantat belanga; dua-duanya sama hitamnya. Para pejabat di kementerian itu ibarat “the frog in the kettle”.

Mereka membuat peraturan yang tampaknya indah, tetapi itu ibarat kulit hitam yang dibedaki pupur putih. Betapa banyak lulusan bukan luar negeri yang mengalami kesulitan membaca dan bercakap bahasa Inggris, dan tiba-tiba instruksi buat mahasiswa ibarat guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Tidak semua perguruan tinggi negeri tidak bermutu, namun mereka mau buat peraturan terselubung ibarat “Wilde Scholen Ordonnantie” di zaman kolonial untuk perguruan tinggi swasta. Padahal ada perguruan tinggi swasta yang lebih bermutu daripada perguruan tinggi negeri. Kebijakan mereka pun di atas sana, acap kali tampak seolah-olah sektarian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar