Senin, 28 Mei 2012

Mempercepat Pengusahaan Panas Bumi


Mempercepat Pengusahaan Panas Bumi
Brian Yuliarto ; Dosen Teknik Fisika ITB, Aktif di Indonesia Energy Institute (Indeni)
SUMBER :  SUARA KARYA, 28 Mei 2012



Dari 28 gigawatt potensi panas bumi di Indonesia atau 40 persen dari total dunia, hanya kurang dari sepersepuluh yang telah dimanfaatkan. Masalahnya bukan semata karena menyangkut teknis, namun - tanpa bermaksud menyalahkan pemangku kebijakan - rasa-rasanya memang diperlukan fokus dan terobosan untuk menyelesaikan kendala-kendala yang menghadang pengusahaan panas bumi.

Masalah yang sudah cukup lama menggantung adalah lahan. Secara sekilas, ruang yang dibutuhkan untuk membangun berbagai fasilitas dan sarana produksi memang tidak banyak. Namun, pada dasarnya pengusahaan panas bumi memerlukan lahan yang cukup luas, antara lain sebagai lahan penyangga. Salah satu faktornya, dibutuhkan air dalam jumlah yang cukup besar. Karena itu, harus diperhitungkan kelestarian lingkungan sekitar agar pasokan air terjamin. Apalagi, panas bumi telah dipandang sebagai sumber energi yang ramah lingkungan.

Ada dua isu terkait besarnya lahan ini. Pertama, tumpang tindih lahan. Panas bumi dianggap sebagai aktivitas pertambangan, namun kegiatan pertambangan tidak boleh berada di daerah lindung (konservasi). UU No 41/1999 tentang Kehutanan, pasal 38 ayat 4 menyebutkan, "Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka." Sedangkan UU No 27/2003 menyatakan bahwa kegiatan panas bumi merupakan kegiatan pertambangan. Kedua peraturan ini tidak sinkron. Padahal, sekitar 70 persen atau 45 wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi bersinggungan dengan wilayah konservasi.

Oleh sebab itu, diperlukan terobosan kebijakan dan koordinasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan untuk menuntaskannya. Kabar baiknya, Kardaya Warnika, Dirjen Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) Kementerian ESDM, Desember tahun lalu menyatakan, pihaknya tengah menyusun kebijakan yang akan mengatur bahwa kegiatan panas bumi tidak termasuk dalam kegiatan pertambangan pada umumnya.

Sebelumnya, Kementrian Kehutanan pun telah mengeluarkan PP No 28/2011, sebagai revisi PP No 68/1998, yang memasukkan aspek pemanfaatan energi di kawasan konservasi (suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam). Masalah kedua terkait dengan pihak pemda. Masih sering ditemui aturan-aturan daerah tidak selaras dengan pusat. Dengan demikian, aturan-aturan turunan pun harus diperhatikan. Selain itu, tidak jarang wilayah panas bumi terletak di dua kabupaten hingga terdapat potensi konflik pembagian PAD atas pengusahaan panas bumi. Sejauh ini, memang belum ada aturan yang jelas mengenai pembagian keuntungan ini. Namun, jika mengacu pada skema yang berlaku pada kegiatan Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan), apabila ditemukan kondisi serupa, biasanya diserahkan kepada pihak provinsi untuk mengaturnya.

Selain masalah lahan, berikutnya adalah mengenai jaminan pengusahaan panas bumi. Banyak lelang WKP panas bumi hanya didasarkan pada data survei eksplorasi. Yaitu, hanya berupa data awal yang umumnya diperoleh dari daerah yang paling potensial atau di sekitar manifestasi panas permukaan (surface manifestation). Ini dilakukan untuk mencari gambaran tentang luas wilayah potensial, kedalaman reservoir, karakteristik fluida, potensi cadangan, dan target lokasi pemboran eksplorasi. Namun, ini bukan data matang yang bisa langsung dipakai untuk pengembangan dan kemudian menghasilkan listrik. Perusahaan yang mendapatkan lelang masih harus melakukan pemboran eksplorasi untuk mendapatkan data yang lebih terpercaya. Eksplorasi merupakan aktivitas kunci karena dari situ bisa diketahui secara pasti berapa banyak energi yang bisa dimanfaatkan. Menurut Nenny Saptaji (2009), sumur eksplorasi umumnya lebih mahal dibandingkan sumur pengembangan karena memerlukan data yang paling lengkap dengan ketelitian tinggi, pemboran dilakukan sedalam mungkin, aktivitas pengukuran dilakukan lebih sering, dan besarnya potensi terjepitnya rangkaian pemboran atau runtuhnya formasi.

Sementara, menurut pengamat kelistrikan Herman Darnel Ibrahim, seperti dikutip dari Investor Daily, 9 Juli 2008, biaya eksplorasi panas bumi mencapai 20-25 persen dari total biaya investasi awal (initial cost). Rule of thumb yang berlaku adalah dari sepuluh sumur uji (well test), hanya satu yang bisa dikembangkan selanjutnya. Atau, dengan kata lain, kegiatan eksplorasi membutuhkan biaya yang besar dan berisiko tinggi. Masalahnya, ketidakpastian ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak perusahaan. Tak pelak, kondisi ini membuat pihak industri harus ekstra hati-hati jika ingin menanamkan modalnya, dan pada gilirannya menghambat pertumbuhan pemanfaatan panas bumi di Indonesia.

Terdapat tiga opsi untuk mengatasi persoalan ini sebagai terobosan dalam pengusahaan panas bumi. Opsi pertama, kegiatan eksplorasi dilakukan oleh pemerintah. Di sini, hak milik atas data eksplorasi dimiliki pemerintah. Pihak pemerintah menunjuk perusahaan pemboran eksplorasi, kemudian bisa menjual (misalnya melalui lelang) data tersebut kepada perusahaan yang ingin mengembangkannya lebih lanjut. Opsi berikutnya, eksplorasi tetap dilakukan oleh pihak swasta, namun pemerintah memberikan jaminan atau semacam asuransi jika ada kegagalan.

Opsi ketiga adalah insentif fiskal pada saat eksplorasi. Seperti yang terjadi pada era 1970-an periode Orde Baru, perusahaan-perusahaan minyak bumi saat itu mendapatkan berbagai insentif, seperti keringanan pajak usaha dan penghapusan bea masuk komponen. Ketiga opsi ini merupakan bentuk pengalihan risiko eksplorasi dari pihak swasta kepada pemerintah. Di sini memang masih perlu dipikirkan berapa persen yang ditanggung oleh pemerintah, dan hal lainnya seperti bagaimana pembagian atas hak kepemilikan eksplorasi. Namun, jika skema jaminan ini diterapkan, pengembangan panas bumi tidak perlu dihambat oleh keengganan swasta untuk menanggung risiko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar