Rabu, 30 Mei 2012

Menelusuri Sifat Negatif Kita (2)

Menelusuri Sifat Negatif Kita (2)
Mudji Sutrisno SJ ; Budayawan, Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia 
SUMBER :  SINDO, 30 Mei 2012
 

Di tengah-tengah transisi dari identitas kolektif menuju pribadi yang ingin tetap hormat ke harkat sesama dan toh matang pribadi kunci proses pergulatan antara kesadaran akan ruang pribadi dan kolektivitas memang berada di ranah yang selama ini mengalami krisis yaitu ranah pendidikan.

Pendidikan pemerdekaan setelah merdeka sebagai bangsa lalu tanpa edukasi diri dan kontrol diri maka sia-sialah perjalanan kebangkitan bangsa ini.Pada hal justru ranah kunci edukasi watak dan nurani inilah sejak awal oleh para pendiri bangsa sudah disadar-sadarkan untuk dihayati sabar dan bukan jalan pintas sebagai proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Hanya manusia Indonesia yang sampai tahap cerdas budi dan jernih nuranilah bisa diharapkan bersama sesama anak bangsa mencipta hidup bersama yang lebih baik. Bukankah sistem adalah mengatur dengan budi cerdas dan nurani sebuah kehidupan untuk lebih sejahtera pribadi dan bersama? (A system is a rational ordering of living together by the enlightened and good gentleman and women of Indonesia).

Proses Menghargai

Ketika saya menulis tulisan berjudul menghargai proses, ada dua tanggapan kritis sebagai arusnya.Yang satu bertanya, bagaimana mungkin menghayati hidup sebagai sebuah proses transformasi dengan simbol tahap ulat sutera menjadi kepompong dengan air liurnya yang merajut kepompong (nanti jadi bahan benang tenun sutera) sampai fase puncak menjadi kupu-kupu berwarna? Sementara hidup sehari- hari anak-anak dan kita didominasi oleh nilai-nilai jalan pintas, “instan”, serbacepat, dan yang cepat kilat itulah nilainya?

Arus kedua menanyakan “resep” menghayati hidup sebagai proses itu bagaimana? Karena itulah, maksud utama tulisan ini awalnya adalah tanggapan atas pertanyaan kritis dan kecenderungan mencari “obat mujarab”atau resep tersebut. Pertama-tama yang harus masuk ke dalam kesadaran kita adalah pengiyaan atau sikap sadari dahulu bahwa fakta yang ada adalah saat ini yang dihargai bukan nilai tekun sabar dalam proses, tetapi jalan nilai pintas.

Kursus kilat dan lompatan sukses “terwujud” dalam tempo sesingkat-singkatnya. Setelah mau dengan rendah hati mengakui fakta ini dan menyadarinya lalu terbukalah mata kita pada fakta kedua yaitu sulitnya antarkita untuk saling menghargai sesama dengan kelebihan dan kekurangannya. Gejala pertama, kita menghargai sesama secara negatif. Artinya mengecilkan sesama dengan membesarkan diri kita (looking down other by glorifying myself).

Para pendiri bangsa menunjuk sindrom ini sebagai perasaan rendah diri inlander akibat penjajahan dalam sejarah mentalitas dan kolonialisme. Peneliti kultural Edward Said dan Hommi Bhabha menyebut fenomena “poskolonialisme” yang diidap sebagai sikap hidup yang merasa yang putih dengan simbol kemajuan bule selalu dipersepsi lebih hebat. Contoh nyata, padahal kita punya dongeng-dongeng lokal dan pepatah peribahasa mengenai yang baik, benar, dan suci dalam hidup ini,namun selalu menganggap kisah-kisah putri salju dan Hans Andersen lebih hebat.

Padahal cukup bila kita matang berpendapat bahwa kisah-kisah Andersen memang bagus, namun tidak usah ditambahi bahwa lebih hebat dan lebih tinggi (superior) nilainya. Di sinilah “inferior” berhadapan dengan “superior”. Kedua, proses menghargai hendaknya ditanamdandibatinkan dengan menghormati talenta tiap orang,sisi positifnya, serta sisi negatifnya apa adanya, setara dengan adanya keutamaan dan kekurangan diri kita masing-masing.

Lanjutannya, rajutlah dengan darah teladan dan keringat contoh-contoh menghargai proses hidup yang sabar: dikandung dalam rahim sembilan bulan menjadi bayi, anak, remaja, matang dewasa, sampai kakek-nenek yang siap kembali untuk dipanggil sang pencipta. Proses ini seperti berdarahdarahnya dan berkeringatnya membatik tulis (bukan batik cap atau printing).

Proses ini juga butuh dihargai seperti merajut kain ulos,ikat,kain tenun, dan songket yang butuh ketelitian merajut benang-benang warna-warni menjadi kain indah Lembang. Kemajemukan Indonesia dengan pluralitas khas suku,religi,dan identitasidentitas lokal lain. Yang ketiga,menghargai proses butuh pembatinan melalui senandung lagu,renung nyanyian Belaian Sayang ciptaan almarhum Bing Slamet yang menggores hati,

menunjuk kasih sayang cinta ayah, ibulah yang menamakan ingatan anak akan terima kasihnya kepada ayah-bunda dan bunda-rahimnya yaitu Bumi Pertiwi,Tumpah Darah Tanah Pusaka. Lihatlah lirik-lirik puisi lagu Belaian Sayang itu “Waktu hujan turun, rintik perlahan,bintang pun menyepi awan menebal,kutimang si buyung belaian sayang.Anakku seorang, tidurlah tidur..... // Ibu mendoa .... ayah menjaga. Agar kau kelak jujur melangkah. Jangan engkau lupa tanah pusaka tanah air kita Indonesia.”

Kontrol Budi dan Nurani

Akhirnya menghargai proses adalah keberanian mengolah dengan kontrol budi dan nurani sikap senang-tidak senang dengan kebijaksanaan hidup yaitu, bila kau tidak suka karya sesama dalam wujudbuku atau film karyanya,ya tidak usah melihatnya atau tidak perlu membacanya. Namun, sekali-kali jangan ”menghina” karya itu dengan melemparkannya ke keranjang sampah.

Apa yang terjadi dalam batin Anda ketika tidak pernah belajar menghargai sesama? Arogansi dan kesombongan pintar Andakah? Mengapa tidak membalasnya dengan membuat karya buku untuk apresiasinya? Apalagi bila karya dilawan dengan pembalasan buku! Untunglah era ini sudah menyurut soal bakar membakar buku.Namun, muncul gejala intoleransi lebih gawat lantaran meminjam tangan Allah dan menyitir sabda-sabda suci yang pada ujung-ujungnya mengapa tega menghancurkan hidup sesama bahkan menghilangkan nyawanya?

Intoleransi akan menggugat pesan cinta religi dan mempertanyakan bagaimana wajah kasih apalagi Allah Yang Maharahim diwujudi nyata dalam tindak dan laku manusiawi? Kalau bukan mencoba belajar terus menghormati sesama sebagai wakil Allah di dunia dan sebagai citra gambar-Nya sendiri.

Semogapembelajaranmenghargai proses sama dengan tantangan ikhtiar sabarnya dengan ketika kita di ruang gawat darurat dengan penuh ditancapi selang-selang infus bila berhadapan bahwa yang diinfus adalah anak tercinta kita yang masih bayi. Lalu kita mohon ke Allah agar kita saja yang menggantikannya untuk kesakitan dan deritanya. Bisakah? Doa dan hening prihatin adalah oase pembelajaran toleransi kita pada yang “hidup” ciptaan Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar