Kamis, 31 Mei 2012

Merindukan Toleransi


Merindukan Toleransi
Marwan Ja’far ; Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI,
Ketua Dewan Pembina Laskar Ahlussunah wal Jama'ah (Aswaja)
SUMBER :  REPUBLIKA, 31 Mei 2012


Hingga kini, kita masih kerap disuguhi adegan penggerebekan dan penggusuran. Kisruh pem bangunan tempat ibadah menjadi satu contoh adanya afinitas antarpemeluk agama. Banyak yang melihat bahwa salah satu sumbu pemicu kerap terjadinya ketegangan antarumat beragama adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Izin Pembangunan Rumah Ibadah. Padahal, tugas pemerintah adalah menjamin kebebasan umat beragama untuk beribadah.

Agaknya ada sesuatu yang “tidak beres“ di negeri ini menyangkut jaminan keselamatan warga negara dan semangat tenggang rasa dalam ranah keagamaan. Aksi main larang dan penggerebekan sering memancang atas nama agama.

Ada dugaan toleransi antarumat beragama belakangan mulai meluntur. Angka perusakan rumah ibadah dan tindakan anarkistis antarumat beragama meningkat. Mengapa konflik sejenis itu masih terjadi di negeri yang majemuk ini? Kita tahu bahwa negara kita adalah negara hukum. Konstitusi menjamin kepada setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama kepercayaannya.

Keberagaman agama dan tempat ibadah merupakan kehendak Tuhan untuk menciptakan keseimbangan hidup manusia di bumi. Keseimbangan itu harus tercipta agar masyarakat menjadi dinamis dan mampu berkembang. Alquran surah al-Hajj ayat 40 menyatakan bahwa gereja, sinagog, masjid, dan rumah ibadah lainnya merupakan tempat banyak orang mengagungkan dan membesarkan nama Tuhan.

Untuk menjaga keseimbangan, ini bertemali dengan keadilan. Penegakan keadilan dan penghapusan segala bentuk ketidakadilan sesungguhnya telah ditekankan Islam dalam Alquran sebagai misi utama para nabi (al-Hadid:25).

Madjid Khaduri dalam The Islamic Conception of Justice (1984) mengungkapkan, tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda redaksinya dalam Alquran mengandung makna keadilan, baik secara langsung seperti ungkapan `adl, qisth, mizan, maupun dalam berbagai bentuk redaksi yang menyiratkan secara implisit. Terdapat lebih dari 200 peringatan dalam Alquran yang menentang ketidakadilan, seperti dzulm, itsmun, ataupun dhaallun.

Tak heran, Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam (1967) menyatakan bahwa negara yang adil meskipun kafir lebih disukai Allah daripada negara tidak adil meskipun beriman. Dan, dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. Ketidakadilan dan Islam tidak bisa bersenyawa tanpa salah satu harus dihapuskan atau dilemahkan.

Nabi Muhammad pun banyak menyajikan teladan. Misalnya, ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh, Nabi Muhammad segera memobilisasi dana masyarakat untuk diberikan kepada pihak keluarganya.

Nabi Muhammad menegaskan, pentingnya menjaga kesatuan semua manusia tanpa memandang agama, suku, dan atribut primordial lain. Semua manusia merupakan ciptaan Tuhan, maka pembunuhan, gangguan, atau perusakan terhadap manusia dan harta miliknya merupakan penghinaan terhadap penciptaan Allah.

Rekonstruksi

Bila kita telusuri konsep hubungan Muslim dan non-Muslim pada masa klasik lebih didasarkan pada hukum perjanjian perlindungan. Di sini, lalu lahirlah istilah ahl al-dzhimma. Dalam perjanjian tersebut, ahl al-dzhimma wajib membayar pajak (jizyah) sebagai substitusi untuk melindungi mereka.

Al-Shaybani dalam al-Siyar al-Kabir menjelaskan bahwa larangan membangun gereja baru hanya berlaku apabila kaum Muslimin merupakan mayoritas di wilayah tersebut. Alasannya, di daerah itu, kaum Muslimin melakukan ibadah shalat Jumat dan Idul Fitri serta hukum hudud diberlakukan.

Mengizinkan mereka membangun gereja berarti memperlemah dan melawan kaum Muslimin secara formal. Namun, bila mereka mayoritas sehingga shalat Jumat dan hukum hudud tidak diberlakukan, mereka tidak dilarang membangun gereja baru.

Menurut al-Sarakhsi dalam al-Mabsuth, para ahli fikih klasik ada yang berpendapat bahwa ahl al-dzhimma tidak dilarang sama sekali membangun gereja baru di desa. Sebab, adanya larangan didasarkan pada alasan (illat) bahwa kota merupakan tempat munculnya simbol-simbol Islam, seperti shalat Jumat, Idul Fitri, dan hukum hudud.

Menarik dicatat, pandangan fikih klasik tersebut menunjukkan, betapa pun para ahli fikih klasik mengakui keberadaan agama lain, mereka cenderung menempatkan agama lain dalam kedudukan inferior dan dalam konteks kondisi perang. Kecuali bagi ahl al-dzimma yang berkewajiban membayar pajak sebagai pengganti perang.

Pandangan fikih klasik pada dasarnya dilatari berbagai faktor. Pertama, secara historis, pengaruh-pengaruh kumulatif sebagai akibat pertentangan antara Muslim dan non-Muslim (terutama dengan umat Kristiani) telah menciptakan sikap dan perilaku superioritas terhadap yang lain.

Kedua, mode berpikir atomistik yang mendominasi kebudayaan Islam masa lampau telah mengadang para ahli fikih klasik untuk melakukan kontekstualisasi atas teks. Para ahli fikih klasik masih sangat terwarnai oleh teologi superior.

Ketiga, pada umumnya sebuah sistem nilai yang normatif entah itu agama atau ideologi tak dapat mengelakkan sumber yang bersifat eksklusif. Setiap sistem normatif menuntut komitmen pada pengikutnya dan memberikan sanksi bagi pembangkangan terhadap doktrin. Dasar komitmen itu adalah keyakinan bahwa ketaatan terhadap sistem akan membawa pada keuntungan moral dan material yang tak dapat dicapai tanpa menaati sistem normatif.

Kita perlu kembali pada prinsip umum ajaran Islam (maqhashid al-syari'ah) tentang eksistensi agama lain, yakni pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keabsahan de facto dan de jure sebagai bagian integral dari sebuah komunitas. Hubungan Muslim dengan pemeluk agama lain wajib dipandang sebagai anggota yang memiliki tanggung jawab terhadap keutuhan komunitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar