Selasa, 29 Mei 2012

Politik Kalah dan Mengalah

Politik Kalah dan Mengalah
Dadan Suwarna ; Dosen Unpak, Peserta Program Pascasarjana Unpad
SUMBER :  SUARA KARYA, 29 Mei 2012


Kalah berbeda sekali dengan mengalah. Yang pertama adalah hasil dari keadaan dan ketentuan. Sementara, yang kedua merupakan penyikapan atas hasil, kalah dan menang hanya masalah angka, bukan segala-galanya. Apalah artinya kemenangan bila ketentuan dipaksakan dan aturan dilanggar oleh sempitnya kepentingan dan tujuan.

Politisasi atas kekalahan terjadi pada banyak peristiwa. Asal-usul persoalan dicari-cari sebagai alasan. Penerimaan hasil bukan kebijakan mengakui, melainkan dihindari semata-mata demi memaksakan kemenangan dan ego diri.

Kalah seringkali menyesakkan di tengah euforia harapan manusia. Batas antara netralitas dan subjektivitas penerimaan kabur ketika seseorang mengalami kekalahan. Politik jadi ajang kepentingan dan bukan sepenuhnya kejujuran dan ketulusan menerima hasil. Akibatnya, kalah 'harus' dihindari.

Sejarah mencatat, pembelaan barangkali penting bagi orang kalah, kejujuran hanya indah didengungkan, tetapi sulit dipraktikkan. Kemenangan dan kebencian dianggap prioritas utama dibanding sahih mengamalkan kewajiban antar kita, antar manusia. Ruang balas dendam ternyata melintasi waktu. Hubungan perang dan olahraga dianggap sinkron dalam politik kepentingan apa pun dalam kasus tersebut.

Masalahnya, siapa pun mungkin kalah, searti pula dengan siapa pun mungkin menang. Umumnya, persoalan kalah lebih serius dipikirkan dibandingkan dengan persoalan kemenangan. Padahal, di balik kemenangan jangan-jangan kita tengah melakukan pemaksaan kehendak dalam kebusukan mental personal dan kolektif, tetapi kita lupa atau tidak peduli dengan cara-cara sepantasnya yang berlaku ideal. Seringkali yang diburu adalah selisih angka, sebuah keuntungan diri yang dihitung dari penderitaan pihak lain.

Orang yang kalah memang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang mengalah. Orang yang kalah itu ada pada banyak keadaan, tidak menang pilkada, tidak lulus CPNS, SNMPTN, bangkrut, atau beragam jenis aktivitas yang berakhir rugi dan modal tidak kembali. Kalah dapat dijelaskan dengan perhitungan terlihat, fisik yang lebih tampak berbeda dari mengalah yang nonfisik.

Anarkisme tak jarang jadi cara menanggapi kekalahan. Dianggapnya apa pun selesai dengan cara merusak dan menghancurkan. Padahal, kalah tetaplah kalah, hanya mungkin dianulir oleh siapa pun yang berani mati. Anarkisme menjelaskan kepanikan pelaku, sekaligus kemarahannya. Argumentasi sehat dianggap terlalu mahal dikedepankan. Jadilah kemudian kasus apa pun dicurigai sebagai ajang politis baru bahwa kalah akan membongkar aib orang, elite politik, parpol, termasuk kedudukannya, dan sebagainya. Kalah tidak ditanggapi sebagai realitas yang netral kebenarannya dan patut ditempatkan kelayakannya. Yang terjadi, konfrontasi atas kekalahannya.

Kalah dapat berarti juga tidak beruntung. Inggris bolehlah tidak beruntung karena cara-cara Maradona. Seringkali masalahnya "Dewi Fortuna" tidak jadi bagian integral hidupnya. Akan tetapi pada banyak gejala, kalah bertendensi kegagalan, hasil yang menyesakkan dalam aktivitas atau kompetisi apa pun. Yang kalah adalah yang menyerah. 

Memang terdapat kemenangan yang sering dipaksakan. Dalam kenyataan demikian, kalah adalah hasil kesatria yang tidak patut ditangisi keberadaannya. Justru ketika kalah adalah direncanakan sepihak, dicurangi, yang kalah sesungguhnya adalah sang pemenang juara tanpa piala, pahlawan tanpa penghargaan.

Kalah sebagai hasil yang telah diperjuangkan bukanlah kalah dalam pengertian gagal, tetapi kalah dalam ketidakberuntungan. Menegakkan muka masih patut dilakukan, standing applause masih patut dihargakan bagi pahlawan-pahlawan yang tidak mengenal lelah melakukan perjuangan. Yang kita hargai adalah semangat juang, motivasi tanpa kecuali. Sikap demikian sangat penting dalam mengedepankan kualitas dan kompetensi sebagai kelayakan. Kelak persoalannya bukan suka atau tidak (like and dislike), tetapi responsif pada siapa dan pada apa kelayakannya.

Dapat dikatakan, orang-orang mengalah di atas lebih baik dari yang kalah. Ini bukan karena penolakan hasil, tetapi kemauan diri menerima, merefleksi diri. Jiwa matang hanya akan tumbuh dari seseorang yang elegan, dan mengalah adalah elegan pada keadaan. Mengalah adalah tidak memaksakan keinginan, elegan pada hasil, menghargai proses dan cermin kemanusiaan diri pelaku.

Mengalah tidaklah mementingkan hasil, melainkan ajaran bahkan ajakan pada kebaikan. Mahatma Gandhi melalui Ahimsa (anti kekerasan), begitupun Nelson Mandela dalam politik Apartheid Afrika Selatan, adalah contoh sosok 'pengalah' demi meretas kebaikan melawan kekerasan penjajah dan politik rasial.

Orang-orang yang mengalah boleh jadi adalah orang-orang yang 'dikalahkan', tetapi cara mengalahkannya melalui beragam perencanaan pihak lawan. Bisa dengan kebaikan terselubung, memaksakan kehendak, memprovokasi kenyataan bahwa kemenangannya berarti persoalan atau bahkan kematian. Bagi pengancamnya yang terpenting semangat memenangkan dengan cara menghancurkan. Kalah akhirnya adalah 'pilihan' karena bagaimana mungkin nilai-nilai humanistis diraih bila pemaksaan kehendak dianggap 'solusi' damai sepihak.

Akan tetapi, kalah tanpa perjuangan searti dengan menyerah. Bahwa permainan hanya semata-mata menggugurkan kewajiban, dan bukan menikmati keha-rusan, gagal akhirnya adalah sesuatu yang memang ia persiapkan. Bagaimana mungkin pencapaian hasil akan maksimal bila perjalanannya tidak direncanakan?

Kekalahan dan kemenangan seringkali jadi dokumentasi yang demikian penting. Dalam film, komik, buku, bahkan kaset, CD, DVD, kemenangan dan kekalahan bukan sekadar pelipur lara manusia, melainkan adalah sumber inspirasi dan motivasi, cermin mengawali apa pun bagaimana serta pembelajaran moral dan edukasi pada apa dan siapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar