Senin, 28 Mei 2012

Terpinggirnya Bahasa Kesatuan dalam Unas


Terpinggirnya Bahasa Kesatuan dalam Unas
Oky Dian Sulistiyo ; Staf Humas Universitas Brawijaya
SUMBER :  JAWA POS, 28 Mei 2012



NILAI ujian nasional (unas) pada mata pelajaran bahasa Indonesia ternyata masih menjadi momok bagi siswa sekolah menengah hingga saat ini. Tidak banyak yang mampu menempatkan skor mata pelajaran bahasa Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahasa Inggris.

Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, siswi peraih kategori terbaik unas tingkat nasional pun hanya mampu meraih nilai 9,6 pada mapel bahasa Indonesia jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang mencapai nilai 9,8 (Radar Malang, 26 Mei 2012).

Secara nasional, di antara 2.210 siswa yang tidak lulus pada satu mata pelajaran (nilai kurang dari empat), sebanyak 484 siswa tidak lulus karena bahasa Indonesia dan 165 siswa tidak lulus pada mata pelajaran bahasa Inggris (Kompas, 26 Mei 2012).

Menurut data Dinas Pendidikan Surabaya, pada 2007, jumlah siswa SMA di Surabaya yang memiliki nilai bahasa Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahasa Inggris hanya mencapai lima siswa. Angka itu semakin menurun pada 2008 dengan jumlah siswa SMA yang memiliki nilai unas bahasa Indonesia lebih tinggi daripada bahasa Inggris adalah 0 siswa.

Pada 2010, nilai rata-rata bahasa Indonesia beberapa sekolah di Jawa Timur untuk jurusan IPA 7,37. Nilai bahasa Indonesia berada di posisi paling bawah jika dibandingkan dengan pelajaran lain, seperti matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa Inggris.

Sedangkan, nilai unas IPS untuk bahasa Indonesia 6,84. Lebih ironis lagi, untuk yang jurusan bahasa, nilai rata-rata bahasa Indonesia 6,8. Pada 2011, salah seorang siswa sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN) yang meraih nilai tertinggi pada unas mendapatkan nilai bahasa Indonesia 9,6 jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang mencapai nilai sempurna atau 10.

Rendahnya nilai bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris merupakan fakta nasional. Sebuah kenyataan bahwa kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar telah banyak ditinggalkan oleh generasi muda saat ini. Dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari, generasi muda lebih senang dan nyaman jika menggunasakan bahasa Indonesia pergaulan (bahasa gaul) dibandingkan berbicara dan menulis bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Faktor kedua yang dianggap sebagai penyebab jatuhnya nilai bahasa Indonesia pada unas adalah materi soal ujian yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan penalaran. Di sekolah pengajarannya sudah bagus karena pada umumnya para guru menekankan pada keterampilan berbahasa seperti menulis dan berbicara. Sebab, memang itulah fungsi bahasa Indonesia yang akan berguna bagi kehidupan. Tetapi, di unas, soal yang paling sulit dihadapi siswa terletak pada materi soal analisis bahasa, seperti ejaan (menentukan huruf besar dan kecil) dan soal cerita.

Permasalahan ketiga yang dihadapi saat ini adalah banyak masyarakat yang menganggap remeh bahasa Indonesia. Mereka, terutama generasi muda, lebih merasa keren jika mempunyai kemampuan dalam berbahasa Inggris. Kursus bahasa Inggris menjamur di mana-mana.

Ada berbagai macam tawaran, mulai harga murah dengan jaminan mampu menaikkan nilai skor TOEFL (Test of English as Foreign Language atau tes kemampuan berbahasa Inggris sebagai bahasa asing) hingga mencapai target di atas 500 sampai kurus yang menyediakan waktu sesuai dengan pelanggan. Bahkan, dengan dalih adanya globalisasi, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mulai menerapkan skor TOEFL 600 bagi setiap pegawai di jajarannya.

Dalam kutipan yang diambil dari sebuah media, kebijakan menaikkan skor TOEFL merupakan sebuah alat untuk merealisasikan prestasi dan kemampuan berbahasa Inggris yang lebih baik dapat menghasilkan karya yang lebih baik. Sungguh miris membaca kutipan tersebut. Seolah-olah bahasa Inggris menempati posisi pertama di negara Indonesia ini.

Kemudian, bagaimana nasib bahasa Indonesia? Tidak bisa dimungkiri, tidak banyak orang yang mempunyai kemampuan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan sesuai dengan ejaan yang disempurnakan (EYD). Gerakan "Cinta Bahasa Indonesia" sepertinya harus terus didengungkan.

Penerapan berbahasa Indonesia yang baik dan benar memang awalnya terasa sulit untuk dilakukan. Bukankah sama dengan bahasa Inggris yang pada awalnya terdengar asing dan sulit untuk dipahami? Akan tetapi, lambat laun, tidak sedikit generasi muda saat ini yang pintar bercas-cis-cus dalam bahasa Inggris.

Jika kursus bahasa Inggris menjamur hingga ke seluruh pelosok wilayah, kenapa tidak dibentuk sebuah kursus bahasa Indonesia? Sehingga, tidak ada lagi fakta nasional yang mengatakan bahwa nilai unas bahasa Indonesia siswa SMA dan SMK di Indonesia jeblok.

Ujian nasional bahasa Indonesia yang dipandang sulit oleh siswa bisa disiasati oleh tenaga pengajar dengan cara memberikan metode yang mudah dipahami bagi siswa sehingga membantu untuk meningkatkan nilai unas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar