Senin, 28 Mei 2012

Utang Luar Negeri


Utang Luar Negeri
Ichsanuddin Noorsy ; Penerima MPI Awards 2012
SUMBER :  SUARA KARYA, 28 Mei 2012


Menjelang usai Perang Dunia II (PD II), negara-negara yang bergabung dalam Sekutu menyadari bahwa mendominasi suatu negara lain tidak layak dan tidak patut lagi dengan pendekatan militer, kecuali dalam kondisi khusus. Maka, kemenangan Sekutu menegaskan, mendominasi negara akan lebih cerdas dan elegan jika menggunakan strategi utang luar negeri, investasi asing, perdagangan bebas, dan lewat lembaga-lembaga yang menjadi penyangga utama strategi itu.

Sejak 2002 hingga hari ini, dalam kuliah umum saya di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan, strategi dan konstruksi berpikir seperti itu saya bangun dalam rangkuman yang saya sebut sebagai model pengisapan sumber daya dan produksi serta penguasaan pasar negara-negara berkembang. Untuk kemudahan mencapai strategi menghegemoni itu, utang luar negeri adalah salah satu caranya.

Utang luar negeri Indonesia sendiri per Februari 2012 nyaris mencapai 225 miliar dolar AS (Rp 1.900 triliun lebih). Utang itu terdiri atas utang pemerintah sebesar 118,7 miliar dolar AS dan utang swasta (106,2 miliar dolar AS).

Dari ULN itu, pemerintah berpendapat bahwa posisi kerentanan eksternalitas sangat rendah. Itu disebabkan rasio total ULN terhadap PDB mencapai di atas 25 persen, atau rasio pembayaran pokok dan bunga ULN terhadap neraca transaksi berjalan (debt service ratio) 22,5 persen. Sedangkan rasio total ULN terhadap hasil ekspor mencapai 96,8 persen. Rasio-rasio itulah yang menjadi pegangan pemerintah bahwa menerbitkan SUN baru atau membuat ULN baru bukan masalah. Bahkan, tidak mengganggu kedaulatan ekonomi nasional.

Faktanya tidaklah demikian. Sejak ULN dipandang sebagai faktor yang melahirkan ketergantungan Indonesia, kondisi perekonomian Indonesia sesungguhnya hanya membaik dalam perspektif meningkatnya angka PDB per kapita. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, misalnya, terus bersukacita karena pendapatan per kapita bangsa Indonesia di atas Rp 30 juta, atau sama dengan sekitar Rp 2,5 juta sebulan.

Tetapi, jika dilihat penguasaan pihak asing atas sektor-sektor tertentu, maka kesimpulannya menjadi berbeda. Bayangkan, jika di sektor hulu migas, pihak asing menguasai 86 persen. Di sektor perbankan, asing mendominasi lebih dari 51 persen. Jika perbankan nasional menguasai aset keuangan mencapai 80 persen lebih, maka pihak asing menguasai aset keuangan nasional mencapai 42 persen. Jumlah ini belum termasuk penguasaan asing terhadap industri asuransi. Bahkan, saat asing menguasai pasar modal di atas 60 persen, maka industri keuangan dan perbankan Indonesia sebenarnya dikuasai pihak asing.

Hasil lain dari ULN adalah penguasaan broad band, retail modern, pertambangan emas, industri otomotif dan elektronik pun dikuasai asing. Kenapa demikian? ULN yang diciptakan era Orba menghasilkan krisis moneter dan bergeser menjadi krisis multidimensi. Krisis ini memerangkap Indonesia untuk masuk dalam dekapan IMF. Tujuan berada dalam pelukan IMF adalah agar Indonesia kembali memperoleh kepercayaan internasional.

Guna memperoleh kepercayaan inilah, Indonesia membeli ULN dari IMF yang hanya ditempatkan dalam cadangan di neraca pembayaran Indonesia. Tapi, untuk mendapat pinjaman ini, Indonesia harus lebih meliberalkan perekonomian. Seperti tuntutan Konferensi Meja Bundar, 27 Des 1949, di Den Haag, Indonesia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan IMF dan Bank Dunia. Selanjutnya, arahan IMF, Bank Dunia, dan ADB akhirnya membuat Indonesia seperti sekarang, pecundang di rumah sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar