Sabtu, 30 Juni 2012

Keluarga, Fondasi Membangun Pluralisme

Keluarga, Fondasi Membangun Pluralisme
Yulianti Muthmainah ; Aktivis Perempuan; Sekretaris LPPA Aisyiyah DKI Jakarta
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2012


PLURALISME bukanlah sesuatu yang mengerikan. Ia justru lentera bagi kehidupan. Mewariskan asimilasi tidak menghasilkan kebahagiaan. Itu justru menumbuhkan benih-benih permusuhan dan kebencian. Nilai-nilai seperti kejujuran, pluralisme, toleransi harus dibangun sedari awal.

Setiap 29 Juni kita akan memperingati Hari Keluarga. Keluarga merupakan miniatur terkecil dari sebuah negara. Di lingkungan keluarga, setiap individu mendapatkan pendidikan untuk kali pertama. Kesadaran Indonesia akan pentingnya peranan sebuah keluarga mengilhami lahirnya Hari Keluarga.

Awalnya itu ditujukan sebagai pucuk kristalisasi perluasan program keluarga berencana (KB) pada 29 Juni 1993; terlepas dari pro dan kontra program KB yang berorientasi pada pembangunan, tetapi berakibat pada pelanggaran hak-hak kesehatan reproduksi perempuan semasa periode 1970­1990-an. Hingga kini, peringatan tetap dilakukan dengan beragam acara, antara lain donor darah, sunatan massal, bazar murah, dan perlombaan. Pertanyaannya, apakah dengan peringatan tersebut kita telah memberikan aspek terpenting yang dibutuhkan anggota keluarga?

Enam bulan lalu di akhir tahun pada sebuah perayaan ulang tahun di sebuah restoran siap saji, saya melihat kejadian tak terlupakan. Tiba-tiba seorang gadis kecil keluar dari kerumunan anak-anak seusianya, menghampiri ibunya, dan berkata, “Mama, cuma Dinda yang enggak dikasih rotinya. Kata Titin orang Islam enggak boleh makan, haram.“

Dengan lincah tanpa henti, ia lalu meluncurkan pertanyaan tentang apa itu haram, roti apa yang dimaksud Titin, mengapa hanya ia yang tak boleh makan, dan terus mengapa. Sang ibu tampak cukup kewalahan menjawab pertanyaan gadis kecilnya.
Baru-baru ini, bidadariku angkat bicara soal `anak saleh itu anak yang tiap sore rajin mengaji' ketika arisan antarteman. Rangga, temannya, menjawab, “Emang kalau enggak mengaji gimana?“ Malaikatku menjawab, “Kata pak guru, dosa. Ntar enggak disayang Allah, lo.“ Seketika lututku terasa lemas.

Kedua kejadian itu merefleksikan bagaimana membangun fondasi kukuh tentang nilainilai pluralisme. Seketika saya merasa ada banyak pekerjaan rumah dalam sistem pendidikan kita yang bisa jadi gagal menanamkan makna agama yang sesungguhnya. Apakah orangtua juga berkontribusi soal itu? Apakah karena interaksinya dengan sang guru terlalu rutin ketimbang orangtua yang keluar rumah hampir 15 jam sehari? Memang tak mudah bicara pluralisme kepada anak. Belajar menulis dan membaca saja ia lebih percaya bagaimana gurunya mengajari daripada cara yang orangtua ajarkan.

Harus diakui, pendidikan dasar kita menganut sistem pendidikan yang seragam, menciptakan asimilasi, dan persaingan. Mau bukti? Bagikan satu kertas dan pensil warna. Minta anak-anak dari beragam sekolah untuk menggambar pemandangan, maka pasti akan dua gunung, matahari, laut dan perahunya, rumah penduduk, serta sawah. Demikian pula membuat pesawat terbang. Hasilnya pun sama. Anak tidak diajarkan berpikir kritis dan memahami apa yang mereka bayangkan tentang pemandangan dan pesawat.

Selain itu, persaingan pun diciptakan dengan cara rangking dan juara umum misalnya. Anak yang tak mendapatkan rangking akan tersisih secara sosial di sekolahnya. Peserta didik juga cenderung diajarkan untuk menghindari konflik. Konflik ditanamkan sebagai sesuatu yang harus dihindari karena akan merusak situasi harmonis yang diidamidamkan. Akibatnya ketika dewasa menghadapi perbedaan, kita mengalami kegagapan bahkan ketika berhadapan dengan konflik dan tidak mampu mengelolanya dengan baik. Demikian pula halnya dengan pluralisme.

Banyak dari kita menganggap pluralisme sebagai produk barat, tidak islami, dan mengingkari ketentuan agama. Pluralisme bukanlah sinkretisme. Pada intinya, pluralisme ialah pandangan yang menghargai kemajemukan, penghormatan terhadap orang lain, dan membuka diri terhadap warna-warni keyakinan. Dalam konteks keagamaan, pluralisme kita letakkan sebagai sikap yang menghargai keyakinan keagamaan orang lain sebagai bagian hak asasi dan inheren dalam diri manusia.

Islam, tidak Islam, haram, mengaji, dan dosa kadang kala disampaikan tanpa ada informasi yang jelas dan detail tentang bagaimana kata-kata itu tepatnya digunakan. Pada gilirannya, ia menciptakan dikotomi dalam kelompok masyarakat, bahkan dimulai sejak anak-anak. Alhasil, bila ada perbedaan pendapat dan pemahaman, kita tidak mendialogkan hal tersebut, tetapi malah melakukan upaya kekerasan. Kasus yang menimpa kelompok Ahmadiyah, GKI Yasmin, dan HKBP Filadelfia merupakan contoh bagaimana pluralisme absen dari ketiganya.

KH Husein Muhammad dalam Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan mengajak kita memikirkan makna pluralisme. Baginya, ulama sarjana muslim seperti Imam Abu Hamid al-Gazali, Ibn Rusyd al-Hafid, Syeikh Muhyiddin Ibn Arabi, Husein Manshur al-Hallaj, dan Imam al-Hallaj, dan Imam Fakhr al-Din al-Razi telah menggabungkan teologi (kalam), hukum (fikih), dan mistisisme (tasawuf ) untuk menggali subtansi tafsir. KH Husein selanjutnya menggarisbawahi bahwa tafsir Alquran sejatinya berbunyi pada kesalehan sosial yang menolak tindakan kekerasan bila terjadi perbedaan pendapat (QS al-`Ankabut: 46) dan menghormati sepenuhnya para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad (QS Ali-Imran: 64 dan QS al-Shaffat: 181-182). Dengan begitu, Islam sesungguhnya berada di garis tentang bagaimana berelasi pada ajaran agama sebelumnya.

Pada poin tersebut saya sepakat bahwa sekolah (madrasah) pertama tidak hanya ibu (ummun), tetapi juga keluarga. Pendidikan keluarga menjadi fondasi kukuh bagi sang anak. Pada peringatan Hari Keluarga tahun ini, ada baiknya kita merenungkan pesan Ilahi bahwa pluralisme merupakan keniscayaan dan kehendak-Nya. Sebagaimana firman-Nya, `Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kamu semua kembali. Lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu' (QS al-Maidah: 48). Untuk itu, melalui keluarga, fondasi pluralisme hendaknya dibangun dan dikukuhkan.

Menuju Negara Moralitas


Menuju Negara Moralitas
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2012


NEGARA gagal? Pemimpin mana pun wajar bila merasa gusar karena negara yang dipimpinnya disebut berpotensi gagal. Sikap menghakimi itu datang seperti halilintar ketika Indonesia sedang banyak dipuji seiring kehadirannya dalam dua pertemuan penting di Amerika Latin, merembuk kelangsungan dan kualitas hidup umat manusia.
Indonesia tentu merasa terhormat masuk G-20, kelompok yang dianggap menguasai sebagian besar perekonomian dunia. Memang belum menjadi negara maju, tetapi bukan pula negara terbelakang; dan jauh dari gagal. Sikap hormat kepada Indonesia ditunjukkan dalam pertemuan-pertemuan di Meksiko maupun Brasil. Tentu itu berkat keberhasilan Indonesia, khususnya dalam menangani kestabilan ekonomi dan keamanannya. Kekesalan Presiden Yudhoyono tecermin dalam kata-kata, “Penilaian bahwa Indonesia negara gagal adalah berlebihan, dan penilaian yang berlebihan itu penilaian yang mempermainkan kebenaran. Mempermainkan kebenaran itu mempermainkan Tuhan.“ Indonesia telah mencapai banyak, sambungnya. Sementara Amerika dan Eropa dilanda krisis dan gelombang PHK, di Indonesia tidak ada PHK, sebaliknya lapangan kerja baru bertambah.

Pemeringkatan yang membuat kita kesal itu telah dilakukan `The Fund for Peace' (FFP), lembaga nonprofit berkedudukan di Washington DC, AS. Asal-muasalnya, menurut Wikipedia, tersebutlah John Parker Compton, orang muda yang pernah menulis esai tentang akibat-akibat perang dan perlunya peradaban manusia menemukan cara-cara lain untuk mengatasi konflik antarsesama. John Parker tewas dalam Perang Dunia II. Ayahnya, Randolph Compton, pada 1957 mendirikan FFP untuk mengenang putranya. Organisasi itu didasarkan pada cita-cita tentang keadilan, lingkungan, perdamaian, dan kependudukan.

Sekalipun didasari cita-cita luhur, sepanjang sejarahnya selama 55 tahun ini, banyak gagasan keluar-masuk organisasi yang tidak jarang menimbulkan kontroversi karena tarik ulur berbagai kepentingan oleh banyak pihak dari berbagai negara. Ini lazim terjadi pada setiap organisasi, lebih-lebih yang bersifat internasional. Karena itu, tidak mengherankan bila ada asumsi bahwa pemeringkatan Indonesia berpotensi gagal ada sangkut-pautnya dengan kepentingan bisnis negara lain.

Jangan Menjadi Negara Gagal

Pemeringkatan yang diadakan FFP bertujuan memberi peringatan awal dan memberi informasi tentang kemungkinan pecahnya konflik. Organisasi ini menjadi sasaran kritik antara lain karena sumbersumber informasinya diperoleh dari berbagai institusi dan data dari pihak ketiga; selain mengadakan kerja sama dengan kalangan bisnis swasta di banyak daerah konflik.

Tujuannya tentu demi keamanan situasi di wilayah yang bersangkutan, maupun keamanan penduduk dan kegiatan bisnisnya. Ada kecurigaan, letupan-letupan konflik di Papua akhir-akhir ini ada pengaruhnya terhadap pemeringkatan atas Indonesia yang terasa menyentak, walaupun situasi Indonesia tidak banyak beranjak dari pemeringkatan `negara yang harus waspada' seperti yang lalu nomor 63 (naik satu tingkat) dari 178 yang disurvei. Amerika dan sejumlah negara Amerika Latin tergolong `moderat'. Hanya beberapa yang masuk kelompok `berkelanjutan' (sustainable), di antaranya negaranegara Skandinavia.

Apakah asumsi-asumsi yang beredar bisa diterima atau tidak, tergantung dari mana kita melihatnya. Kata SBY, seperti gelas yang berisi setengah. Isi gelas bisa menjadi penuh, atau bisa susut menjadi kosong; tergantung siapa yang melihatnya. Tentu masyarakat Indonesia mengharapkan gelasnya berangsur penuh. Di lain pihak, kecemasan masih menghantui karena korupsi yang terus merajalela, hukum yang dipecundangi, dan segolongan politisi yang tidak peka akan situasi, yang oleh rakyat dianggap tidak fokus pada kepentingan mereka bersama. Letupan konflik di sana-sini tentu merusak jaminan rasa keamanan.

Perjuangan untuk Siapa?

Mengapa suatu bangsa memperjuangkan kemerdekaannya? Karena dia ingin rakyatnya terlepas dari penderitaan. Ungkapan itu pernah diucapkan Letjen (purn) Kharis Suhud hampir seperempat abad yang lalu ketika beliau menjabat Ketua DPR RI. Isi ungkapan itu yang seharusnya terus kita perjuangkan sesuai negara `moralitas'--istilah Pak Suhud--seperti tecermin dalam falsafah negara yang terinci dalam UUD'45.

Tidak mudah membayangkan, apalagi menghayati, bagaimana kehidupan dan penghidupan kita sebelum kemerdekaan. GNP per kapita semula sekitar US$60-US$70. Jumlah itu meningkat 10-11 kali lipat menjelang akhir Orde Baru, dan meningkat lagi lebih dari 5 kali dalam masa reformasi sejauh ini. Untuk peningkatan kemajuan lebih lanjut. Bila dulu sekolah menengah boleh dikatakan tertutup bagi orang kebanyakan, sekarang siapa pun bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Kesempatan terbuka bagi siapa saja yang mau berusaha.

Dengan suasana dan semangat yang ada sekarang, seharusnya kita tidak menuju negara gagal. Arah yang kita tuju sudah benar. Seorang profesor dari Harvard pernah mengatakan Indonesia tidak mempunyai alasan untuk tidak menjadi negara industri baru seperti Taiwan atau Korea Selatan. Menurut ceritanya, sebelum Park Chung-hee (1917-1979), Korea Selatan dalam keadaan porak-poranda dan rakyatnya terkenal malas. Tetapi selama hampir dua dasawarsa di bawah kepemimpinan Park yang otoriter, tetapi bersih tanpa vested interest, negara itu menjalani modernisasi menjadi seperti yang kita kenal. Tahun 1999, majalah Time menggolongkan Park dalam `100 Asians of the Century'.

Tentu masih banyak PR yang harus kita selesaikan. Sementara itu, tanpa ada perubahan sistem dan kebiasaan buruk yang ada sekarang, apakah salah besar bila orang luar membuat asumsi yang mengesalkan? 

Setelah Rio+20, Selanjutnya Apa?

Setelah Rio+20, Selanjutnya Apa?
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis dan Aktivis Lingkungan
SINAR HARAPAN, 29 Juni 2012



KTT Bumi Rio+20 yang berlangsung pada 20-22 Juni 2012 di Riocentro Convention Centre di Rio de Janeiro, Brasil, baru saja berakhir. Acara akbar yang digelar United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) dihadiri sekitar 130 lebih pemimpin negara dan ribuan pemangku kepentingan di sektor lingkungan hidup.
 
Para peserta tentu telah pulang ke negeri masing-masing usai mengikuti acara bertema “The Future We Want” (Masa Depan yang Kita Inginkan) tersebut, termasuk  Presiden SBY. Mungkin masih ada banyak nada optimis menyongsong apa yang akan terjadi pada planet bumi, satu-satunya planet yang bisa ditempati manusia.

Namun sayang ketika menengok pada apa yang sudah terjadi, optimisme itu segera berubah jadi pesimisme, bahkan apatisme. Mari simak sejak KKT Bumi di tempat yang sama (Rio) 1992, ternyata justru banyak skandal kerusakan lingkungan yang terjadi di segenap pelosok bumi, seperti penggundulan hutan yang luar biasa, penggurunan, pencemaran di laut, krisis air, krisis pangan, dsb.

Menurut laporan Living Planet Report (2006), WWF, ekosistem bumi saat ini sedang mengalami degradasi pada tingkat yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia.
 
Perusakan hutan hujan tropis di Kongo, Amazon, dan Indonesia misalnya tengah melaju dengan kecepatan tinggi menuju kehancuran total. Laju konversi hutan di Indonesia tergolong yang paling dahsyat di dunia, sekitar 1,5 juta ha setiap tahunnya (WWF, 2011).

Bila kaji lebih dalam lagi, akar dari semua masalah kerusakan lingkungan hidup muncul dari kebutuhan ekonomi manusia yang melampaui daya dukung lingkungan. Akibatnya, ekologi menjadi tumbal bagi ekonomi.
 
Menurut kajian peneliti dari Universitas Harvard (2002), total permintaan umat manusia terhadap sumber daya alam sejak 1999, 20 persen lebih besar dari pada daya dukung lingkungan hidup di planet ini.

Ketamakan

Kerakusan atau ketamakan, khususnya dari perusahaan transnasional (TNCs) yang beroperasi di seluruh dunia, ikut memperparah kerusakan. Dunia yang menurut Mahatma Gandhi bisa mencukupi semua kebutuhan menjadi tidak cukup untuk memenuhi semua kerakusan manusia.
 
Coba simak misalnya, di sektor tambang aluminium, 6 TNCs mengontrol 63 persen seluruh kapasitas pertambangan. Kemudian  di sektor pertanian, TNCs mengontrol 80 persen tanah di seluruh dunia yang diolah untuk tanaman ekspor.
 
Indonesia tidak luput dari aksi mereka. Kerusakan parah akibat aksi mereka di berbagai penjuru, seperti di Kalimantan atau Papua, bisa dilihat dengan mata kepala sendiri.

Maka di KTT Bumi Rio 2012  ini, ada satu konsep besar yang ditawarkan, yakni ekonomi hijau (green economy). Terkait ekonomi hijau, ada yang menyebut hanya akal-akalan saja untuk melindungi kepentingan negara maju dengan TNCs-nya.
 
Memang menurut menurut UNEP atau Program Lingkungan PBB, ekonomi hijau ekonomi yang pertumbuhannya tidak mengandalkan bahan bakar fosil. Implementasi dari ekonomi hijau memang terkait dengan mekanisme jual beli karbon atau REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).

Ekonomi hijau terkait dengan perubahan iklim,yang dipicu oleh global warming atau pemanasan global. Seperti diketahui, dampak perubahan iklim, lepas dari pro kontra yang ada, memang terbukti menyengsarakan banyak orang.
 
Bayangkan saat musim hujan datang, banjir dan tanah longsor mengancam; saat  kemarau tiba, kekeringan dan asap merajalela di banyak tempat.
 
Para petani paling menderita akibat karena perubahan iklim menyebabkan terjadinya anomali cuaca sehingga kapan harus memulai musim tanam menjadi sulit. Tidak heran di mana-mana para petani menjerit, sementara puting beliung yang suka datang mendadak dan merobohkan rumah menambah berbagai masalah.

Semua yang disebutkan di atas akhirnya bermuara pada satu kondisi bahwa telah terjadi disharmoni antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Keseimbangan terganggu, ekosistem menjadi terusik.

Kalau kita mencari akar dari segala kerusakan atau merosotnya kualitas lingkungan hidup, faktor manusia memang punya andil yang luar biasa. Manusia tidak menyadari ia bagian dari alam. Manusia tidak memiliki kesadaran ekologis sama sekali, malah yang subur di negeri ini justru kejahatan ekologis.

Lihat saja perilaku manusia yang suka membabat hutan masih tetap terus jalan. Meski berbagai seruan agar laju deforestasi dihentikan, tapi hampir tidap hari kita para pelaku pembalakan liar atau cukong kayu masih bisa bisa berpesta.
 
Hutan dieksploitasi dengan serakah tanpa memerhatikan ekosistem. Bayangkan deforenstasi atau penggundulan hutan rata-rata 5,6 juta hektare per tahun dan penggurunan seluas 4,8 juta hektare per tahun (FAO,2010).

Ironi dan Lemahnya Hukum

Laporan Bank Dunia dan Forest Watch Indonesia menyebutkan, 70-80 persen kebutuhan kayu nasional saat ini ditutup dari illegal logging.
 
Di Kalimantan atau Papua, misalnya, menurut informasi Environmental Investigation Agency, petinggi militer  Indonesia malah membantu mengurus dokumen surat keterangan hasil hutan (SKHH) palsu, mengamankan pelaksanaan illegal logging di lapangan, lalu mengontak para pengusaha Malaysia, kalangan perbankan di Singapura, Hong Kong, dan India. Ini ironi besar!

Potret di seputar hutan itu sebenarnya menunjukkan betapa masih minimnya kesadaran ekologis bangsa ini. Itu baru di sektor hutan saja.
 
Belum kalau kita membicarakan soal pencemaran, kualitas air, pencemaran kali, dan udara kota, pembuangan limbah perusahaan, punahnya sebagian besar flora fauna sehingga keanekaragaman hayati kian berkurang  dan sebagainya. Itu semua  menunjukkan betapa kesadaran ekologis kita belum terbangun sepenuhnya.

Penegakan hukum lingkungan juga masih menjadi angan-angan mewah di negeri ini. Lihat dalam praktiknya, pemerintah atau aparat keamanan lebih suka membebaskan para perusak dan penjahat  lingkungan. Sehari menjelang Hari Jadi Surabaya ke-719 pada akhir Mei lalu, ribuan ikan mati di kedua kali itu akibat limbah beracun dari aktivitas industri.
 
Peristiwa itu hanya repetisi karena selama ini para pembuang limbah tak pernah jera, mengingat penegakan hukum kita yang lemah. Jika hal seperti ini terus berlanjut, masa depan macam apa yang kita inginkan? Atau jangan-jangan sudah tak ada masa depan bagi kita di bumi ini akibat ketamakan?

Visi Ijtima Ulama


Visi Ijtima Ulama
Asep Salahudin ; Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
REPUBLIKA, 29 Juni 2012


Pada 29 Juni­1 Juli 2012, MUI kembali menyelenggarakan perhelatan nasional ijtima ulama yang rencananya akan dibuka Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono. Acara yang akan melibatkan 750 peserta perwakilan ulama dari seluruh nusantara ini salah satu agendanya adalah membicarakan ihwal kebangsaan (masail asasiyyah wathaniyyah). Di samping, masalah sosial keagamaan kontemporer atau masail fiqhiyah mu'ashirah dan masalah hukum serta perundang-undangan atau masail qanuniyyah.

Persoalan kebangsaan yang akan dicarikan fatwanya berbicara seputar prinsip pemerintahan yang baik, kriteria ketaatan kepada pemerintah dan batasannya, subsidi untuk rakyat, ihwal demonstrasi dan kebebasan berekspresi, perampasan aset koruptor, dan pemilukada langsung. Tentu saja menjadi harapan bersama bahwa fatwa atau rekomendasi yang dihasilkan ijtima ulama yang berkaitan dengan kebangsaan ini dapat memberikan konstribusi positif terhadap arah perjalanan bangsa.

Agenda ijtima ulama seperti ini justru memiliki relevansi yang sangat erat di tengah suasana berbangsa dan bernegara yang sedang galau. Dalam konteks ini, ulama yang notabene merupakan rujukan moral masyarakat dengan segala kelebihannya diharapkan memberikan `arahan' yang nyata dengan menawarkan tafsir keagamaan yang emansipatoris dalam seluruh konstruksi fatwa yang dikeluarkannya. Produk ijtima ulama yang dihasilkannya, terutama yang berkaitan dengan kebangsaan, menjadi pintu masuk bagi upaya membangun kesadaran berbangsa yang berkeadaban, birokrasi yang tertib, hubungan antaretnik, antaragama, dan antarsuku yang humanis.

Komitmen Kebangsaan

Interaksi simbolis ulama dengan kebangsaan sesungguhnya sudah sangat tidak disangsikan lagi walaupun dalam praktiknya sering mengalami pasang surut. Sejarah perjalanan bangsa sesungguhnya adalah hikayat ihwal heroisme ulama ini. Bagaimana ulama masa ko lional dengan kecakapan mobilisasi massa dan karismanya memainkan peranan penting dalam perang melawan kaum penjajah.

Dengan mengagumkan ulama-ulama itu, bukan hanya mengajarkan tentang fikih ibadah, melainkan juga menginjeksikan kesadaran berbangsa, menanamkan sikap kritis kepada santri dan masyarakatnya. Bagaimana ulama sejak 1875 menggunakan lembaga-lembaga spiritual (tarekat) mengibarakan semangat jihad antikolonial? Sartono Kartodirjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1988 (1984) mencatat: “Dalam pertemuan-pertemuan itulah gerakan tersebut mempersatukan para kiai sebagai pemimpin-pemimpin komplotan di daerahnya masing-masing....

Dalam banyak kasus, ideologi jihad memainkan peranan penting dalam perlawanan antikolonialisme. Banyak gerakan sosial selama abad ke-19 dan abad ke-20 memiliki nada keagamaan dalam arti kepercayaan-kepercayaan transendental yang sangat kuat. Di samping itu, unsur magis juga memainkan peranan yang penting. Seruan jihad fi sabilillah yang terdengar timbul tenggelam memberikan bukti bahwa semangat jihad sangatlah laten di antara penduduk Muslim.“

Fenomena perlawanan kelompok santri terhadap kaum kolonial juga pernah ditunjukkan peneliti asal Jepang Hiroko Horikoshi (1987) dengan munculnya Laskar Hizbullah dan Sabilillah pada masa perang kemerdekaan (19451949), Gerakan Darul Islam (1948-1962), pemberontakan di luar Jawa (19581962), dan berbagai pemberontakan lainnya pada masa penjajahan. Semuanya ini adalah peristiwa sejarah yang tidak bisa dielakkan dari peranan ulama (kiai/ajengan) dalam menggerakkan umatnya untuk melawan penjajah.

Peranan ulama dalam dinamika bangsa Indonesia mempunyai pengaruh yang kuat pada masyarakat. Mereka ikut menentukan proses perkembangan keagamaan, sosial, kultural, dan bahkan politik. Realitas ini tidak hanya dalam sejarah masa lalunya seperti pada saat pembentukan negara Republik Indonesia, penumpasan G-30-S/PKI, pembentukan Orde Baru, dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini semakin meneguhkan bagaimana dunia ulama dengan dunia sosial-politik kebangsaan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan secara ekstrem (Umar Sadat Hasibun, 2005).

Hari Ini

Sudah barang tentu ketika itjima ulama membahas persoalan bangsa ini menunjukkan fakta yang bukan hanya menggambarkan kesinambungan peran ulama dengan negara, melainkan juga sebagai satu bentuk peneguhan bagaimana ulama tidak bisa dipisahkan dengan gerak bernegara. Hari ini, permasalahan bangsa yang dihadapi tidak kalah besarnya dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masa kolonial.

Mungkin kolonialisme fisik sudah tidak lagi mendapatkan panggung pada era modern, tetapi kolonialisme simbolis, tirani kognitif, dan kekerasan psikologis tidak kalah mengerikannya dengan kolonialisasi abad ke-19. Penjajahan tidak lagi menggunakan jalur represif, tapi melalui perang budaya, perebutan sumber-sumber ekonomi, penguasaan jalur politik, penggiringan opini. Termasuk, di dalamnya adalah pergeseran gaya hidup yang kian berkiblat ke arah pemujaan terhadap daulat benda.

Bisa juga tantangan itu adalah hibrida pemahaman keagamaan yang ekstrem dan yang nyaris dikembangkan adalah nalar eksklusif yang menganggap mereka yang berbeda haluan tafsir dan keyakinannya sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Pemahaman yang hakikatnya tidak hanya bertentangan dengan fitrah keagamaan dan teladan kenabian, tapi juga berbanding terbalik dengan elan vital spirit kebangsaan dan fakta sosial yang heterogen dan multikultural. Dalam kompleksitas inilah, ijtima ulama ditantang untuk menampilkan fatwa dan rekomendasi yang dijangkarkan pada akar nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal yang dapat mempercepat terwujudnya keindonesiaan yang penuh muruah. ●