Sabtu, 30 Juni 2012

Menyinergikan KADIN dan UMKM

Menyinergikan KADIN dan UMKM
Anton Prasetyo ; Pemerhati Sosial,
Kontributor Kamar Dagang dan Bisnis (KADIN) DIY
SUARA KARYA, 29 Juni 2012


Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia tidak berbatas jumlahnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, jumlah aset dan omset yang dimiliki oleh sebuah usaha menjadi salah satu kriteria yang dipergunakan untuk bisa mendefinisikan sektor tersebut.

Usaha Mikro adalah usaha yang memiliki pendapatan aset maksimal 50 juta dan omzet 300 juta. Pendapatan asset 50 - 500 juta dan omzet Rp 300 juta - Rp 2,5 miliar untuk Usaha Kecil. Sementara Usaha Menengah adalah pendapatan asset 500 juta 10 miliar dan omzet 2,5 miliar 50 miliar.

Melihat realitas di lapangan, mayoritas pengusaha di seluruh pelosok Indonesia adalah pengusaha mikro. Asset mereka belum mencapai 50 juta dengan omzet kurang dari 300 juta. Dalam pada itu mereka berhak untuk mendapatkan fasilitas guna meningkatkan usaha. Peningkatan ini menjadi penting karena selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga juga untuk memajukan bangsa.

Perdagangan bebas ha-nya akan dimanfaatkan oleh negara-negara dengan daya saing tinggi. Sementara negara lemah hanya akan menjadi objek sasaran yang selalu dirugikan. Dan di sinilah pengusaha adalah ujung tombak dalam menghadapi perdagangan terbuka. Indonesia sendiri hingga saat ini masih sangat lemah dalam mengembangkan usahanya. Terbukti pengusaha dengan omzet dan asset rendah masih menjadi mayoritas. Bahkan tren untuk menjadi pengusaha di Indonesia masih sangat lemah.

Dari 169,33 juta penduduk usia kerja di Indonesi, pengusaha atau entrepreneur hanya 564 ribu atau sekitar 0,24 persen. Padahal negara sukses ekonomi adalah negara yang memiliki prosentase pengusaha tinggi. Negara-negara G-20 rata-rata 5 persen merupakan pengusaha. Kita bisa melihat betapa Amerika Serikat (AS) pengusaha sekitar 11,5 hingga 12 persen, Siangapura sebesar 7 persen, Cina 10 persen, India 10 persen.

Gairah Entrepreneur

Hingga saat ini gairah warga negara Indonesia untuk menjadi entrepreneur masih sangat lesu. Bahkan banyak dari sarjana kita yang memburu pekerjaan. Menjadi buruh diyakini menjadi prestasi yang tiada tara. Apalagi saat menjadi buruh negara (baca: PNS), sudah tiada duanya. Sementara entrepreneur yang sejatinya bisa memajukan perekonomian diri dan negara malah ditinggalkan.

Di sini tentu tidak pantas saat warga menjadi objek kesalahan saat tidak memilih menjadi pengusaha. Minimnya pengetahuan dan informasi menjadikan mereka berfikir instan. Dalam benak mereka, menjadi buruh, apalagi menjadi PNS yang gajinya tetap setiap bulan jauh lebih beruntung dari pada menjadi pengusaha. Padahal, menjadi pengusaha sejatinya memiliki kesempatan lebih besar untuk bisa mendapatkan penghasilan tinggi.

Berakar dari sinilah menjadi PR adalah menyadarkan masyarakat bahwa pilihan menjadi pengusaha adalah pilihan yang sangat tepat. Di sinilah, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang merupakan rumah bersama para pengusaha, yang menaungi seluruh pelaku usaha (koperasi, swasta, BUMN/BUMD) dalam rangka meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan ekonomi nasional dapat menunjukkan kiprahnya dalam menyelesaikan permasalahan warga.

Dalam pada itu banyak perusahaan atau lembaga yang siap untuk memfasilitasi penelitian, peningkatan kapasitas (pelatihan) dan juga pertukaran informasi bagi pelaku usaha. Sebagaimana yang dilakukan BI (Bank Indonesia), dalam rangka pengembangan UMKM, dirinya melakukan kerja sama dengan beberapa kementerian dan pihak lainnya yang dituangkan dalam bentuk Kesepakatan Bersama (Nota Kesepahaman). Melalui kerja sama dimaksud diharapkan dapat diperoleh sinergi antara BI dengan kementerian/ pihak lainnya dalam rangka pengembangan UMKM.

Program-program dapat dijadikan program kerja KADIN dalam rangka meningkatkan kualitas UMKM di seluruh pelosok Indonesia. Peran serta KADIN sangat diperlukan karena hingga saat ini warga belum siap untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas tersebut. Mulai dari informasi, proses-proses yang meski dilalui, hingga menjalankan usaha masih sangat minim.

Secara nyata KADIN di Indonesia, termasuk DIY meski masih minim telah melaksanakan program-program tersebut. Sebagai misal pada KADIN DIY memiliki beberapa desa binaan di wilayah Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan Kulonprogo. Kegiatan pembinaan ini dilakukan secara intensif, mulai dari tahap awal hingga akhir. Dalam perjalanannya, KADIN mampu membuka kesadaran warga binaannya sehingga sadar pentingnya usaha. Di samping itu dengan adanya wacana-wacana yang baru dan ilmu-ilmu yang diberikan, mereka lebih bisa maju dalam berfikir dalam bidang usaha.

Kendati demikian, menjadi catatan bersama adalah warga di pelosok desa tidaklah sama dengan orang-orang yang telah mengenyam bangku perkuliahan. Pikiran-pikiran mereka masih sangat sempit dan sederhana. Sosio kulturan mereka juga tidak bisa disamakan dengan orang-orang yang berada di kota. Maka dari sinilah KADIN, selaku pelayan informasi dan media untuk mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha yang sehat dan tertib, harus bisa menyelam, memahami warga. Tanpa dengan kebisaan untuk bisa berbaur dengan warga, sebesar dan sedahsyat apapun program yang ditawarkan, tidak akan bisa sesuai dengan target yang diinginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar