Kamis, 28 Juni 2012

Rio20 Ingkari Janji Kemajuan yang Hakiki

Rio20 Ingkari Janji Kemajuan yang Hakiki
Maria Hartiningsih ;  Wartawan KOMPAS
Sumber :  KOMPAS, 27 Juni 2012


Langkah masa depan berkelanjutan telah dideklarasikan dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20) di Rio de Janeiro, Brasil, 22 Juni 2012. Namun, dokumen akhir itu mundur dalam soal pengakuan terhadap kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, khususnya hak-hak atas kesehatan reproduksi.

Berbagai media mengabarkan, Menteri Luar Negeri Brasil Antonio de Aguiar Patriota kecewa karena ”hak atas kesehatan reproduksi” dikeluarkan dari dokumen. Namun, hal itu harus terjadi demi kompromi.

Dalam perundingan internasional, kata adalah panglima. Negosiasi berarti menaruh realitas sosial yang direduksi menjadi kata-kata sebagai pertaruhan untuk mencapai kesepakatan.

Teks awal dalam dokumen Rio+20 berbunyi, ”Kami berkomitmen untuk menjamin akses setara bagi perempuan dan anak perempuan pada pendidikan, pelayanan dasar, kesempatan ekonomi, dan pelayanan kesehatan dasar, termasuk dalam kesehatan reproduksi dan seksual perempuan dan hak-hak reproduksi perempuan.”

Dalam teks terakhir, kata komitmen dilemahkan dengan mempromosikan. ”Hak-hak reproduksi” dihilangkan setelah ditolak beberapa negara anggota G-77, Takhta Suci dan negara-negara pendukungnya.

Menolak Mengakui

Dokumen Rio+20 mengakui kesepakatan Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994 dan Konferensi Dunia mengenai Perempuan dan Pembangunan di Beijing (WCWD) tahun 1995. Namun, menolak mengakui bahwa hak atas kesehatan reproduksi sangat krusial dalam pembangunan berkelanjutan. Dari awal perundingan, hak atas kesehatan reproduksi ditentang beberapa negara karena dianggap ”tak ada kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan”.

Bagi banyak negara, perdagangan, pembiayaan pembangunan, keamanan pangan, dan ekonomi hijau ”jauh lebih penting” ketimbang hak atas kesehatan reproduksi.

Kerasnya perdebatan juga mengingatkan pada pertarungan ideologi moral antara Takhta Suci—didukung Timur Tengah—AS, dan beberapa negara Eropa dalam ICPD 1994. Tanpa mempertimbangkan fakta sosial, isu itu selalu dikaitkan dengan aborsi.

Sikap AS dalam Rio+20 berubah. Dalam pidatonya, Menlu AS Hillary R Clinton menyatakan dukungannya pada kesehatan reproduksi dan seksual, hak-hak reproduksi perempuan, serta akses universal pada keluarga berencana untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Blog The Global Fund for Women mengutip berbagai kajian menyatakan, pertumbuhan penduduk sangat krusial dalam isu lingkungan dan pembangunan. Jaminan atas hak dan akses pada pelayanan kesehatan reproduksi akan mengurangi emisi global karbon dioksida 8 persen sampai 15 persen.

Ekonomi hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan berkelindan dengan penghapusan kemiskinan, pertumbuhan penduduk, dan hak asasi manusia. Pembangunan hanya akan berkelanjutan kalau hak dan pelayanan kesehatan reproduksi mendapat prioritas.

Menelisik Sejarah

Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan (Earth Summit, 1992) mengakui, makhluk hidup adalah pusat dari gagasan Pembangunan Berkelanjutan. Perempuan merupakan satu dari sembilan kelompok penting dalam Program Aksi Agenda-21.

Prinsip pembangunan berkelanjutan, yang mengintegrasikan pendekatan pembangunan dengan tujuan keadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan, dikuatkan kembali dalam Pertemuan Puncak Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, 2002.

Terkait dengan itu, ICPD 1994 menegaskan, lingkungan, pola produksi-konsumsi, dan hak asasi manusia saling berkait dan berlindan.

ICPD menempatkan kebutuhan dan hak individu lebih dari target demografi. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan terkait pelayanan dan hak atas kesehatan reproduksi sangat penting bagi kemajuan individu ataupun pembangunan berkelanjutan.

Pertumbuhan, kepadatan penduduk, dan migrasi semakin menekan kondisi lingkungan karena meningkatnya kebutuhan sumber daya alam. Seluruh target dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) tahun 2015 terkait dengan itu semua.

Dengan jumlah penduduk 7 miliar, penolakan hak-hak atas kesehatan reproduksi akan berdampak signifikan. Data Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) menyatakan, saat ini terdapat 1,8 miliar penduduk berusia 10-24 tahun yang sangat membutuhkan akses pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif.

Kurangnya akses pada pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi membuat rantai kemiskinan antargenerasi sulit diputus dan ketidaksetaraan jender semakin dalam. Tahun 2008, sekitar 358.000 perempuan meninggal karena komplikasi kehamilan dan saat melahirkan, 7 juta lainnya mengalami penderitaan terkait kehamilan.

Sekitar 90 persen kematian ibu dan bayi di negara berkembang disebabkan kurangnya sumber daya serta prioritas bagi kesetaraan jender dan pelayanan kesehatan reproduksi. Antara tahun 2000 dan 2008, Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) terkait hal itu turun dari 8,2 persen menjadi 3,2 persen. Hampir bisa dipastikan banyak negara tak akan mencapai tujuan MDG-5, yakni menurunkan angka kematian ibu sampai 75 persen dari kondisi tahun 1990 pada 2015.

Seperti dikatakan Sekjen PBB 1997-2006 Kofi A Annan, pembangunan berkelanjutan dan target MDG tak bisa dicapai kalau pertanyaan tentang kependudukan dan kesehatan reproduksi tak segera dijawab.

Itu berarti, dibutuhkan komitmen kuat untuk mengakui hak-hak perempuan serta investasi lebih besar bagi pendidikan dan kesehatan. Rio+20 gagal menjawabnya!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar