Sabtu, 30 Juni 2012

Visi Ijtima Ulama


Visi Ijtima Ulama
Asep Salahudin ; Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
REPUBLIKA, 29 Juni 2012


Pada 29 Juni­1 Juli 2012, MUI kembali menyelenggarakan perhelatan nasional ijtima ulama yang rencananya akan dibuka Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono. Acara yang akan melibatkan 750 peserta perwakilan ulama dari seluruh nusantara ini salah satu agendanya adalah membicarakan ihwal kebangsaan (masail asasiyyah wathaniyyah). Di samping, masalah sosial keagamaan kontemporer atau masail fiqhiyah mu'ashirah dan masalah hukum serta perundang-undangan atau masail qanuniyyah.

Persoalan kebangsaan yang akan dicarikan fatwanya berbicara seputar prinsip pemerintahan yang baik, kriteria ketaatan kepada pemerintah dan batasannya, subsidi untuk rakyat, ihwal demonstrasi dan kebebasan berekspresi, perampasan aset koruptor, dan pemilukada langsung. Tentu saja menjadi harapan bersama bahwa fatwa atau rekomendasi yang dihasilkan ijtima ulama yang berkaitan dengan kebangsaan ini dapat memberikan konstribusi positif terhadap arah perjalanan bangsa.

Agenda ijtima ulama seperti ini justru memiliki relevansi yang sangat erat di tengah suasana berbangsa dan bernegara yang sedang galau. Dalam konteks ini, ulama yang notabene merupakan rujukan moral masyarakat dengan segala kelebihannya diharapkan memberikan `arahan' yang nyata dengan menawarkan tafsir keagamaan yang emansipatoris dalam seluruh konstruksi fatwa yang dikeluarkannya. Produk ijtima ulama yang dihasilkannya, terutama yang berkaitan dengan kebangsaan, menjadi pintu masuk bagi upaya membangun kesadaran berbangsa yang berkeadaban, birokrasi yang tertib, hubungan antaretnik, antaragama, dan antarsuku yang humanis.

Komitmen Kebangsaan

Interaksi simbolis ulama dengan kebangsaan sesungguhnya sudah sangat tidak disangsikan lagi walaupun dalam praktiknya sering mengalami pasang surut. Sejarah perjalanan bangsa sesungguhnya adalah hikayat ihwal heroisme ulama ini. Bagaimana ulama masa ko lional dengan kecakapan mobilisasi massa dan karismanya memainkan peranan penting dalam perang melawan kaum penjajah.

Dengan mengagumkan ulama-ulama itu, bukan hanya mengajarkan tentang fikih ibadah, melainkan juga menginjeksikan kesadaran berbangsa, menanamkan sikap kritis kepada santri dan masyarakatnya. Bagaimana ulama sejak 1875 menggunakan lembaga-lembaga spiritual (tarekat) mengibarakan semangat jihad antikolonial? Sartono Kartodirjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1988 (1984) mencatat: “Dalam pertemuan-pertemuan itulah gerakan tersebut mempersatukan para kiai sebagai pemimpin-pemimpin komplotan di daerahnya masing-masing....

Dalam banyak kasus, ideologi jihad memainkan peranan penting dalam perlawanan antikolonialisme. Banyak gerakan sosial selama abad ke-19 dan abad ke-20 memiliki nada keagamaan dalam arti kepercayaan-kepercayaan transendental yang sangat kuat. Di samping itu, unsur magis juga memainkan peranan yang penting. Seruan jihad fi sabilillah yang terdengar timbul tenggelam memberikan bukti bahwa semangat jihad sangatlah laten di antara penduduk Muslim.“

Fenomena perlawanan kelompok santri terhadap kaum kolonial juga pernah ditunjukkan peneliti asal Jepang Hiroko Horikoshi (1987) dengan munculnya Laskar Hizbullah dan Sabilillah pada masa perang kemerdekaan (19451949), Gerakan Darul Islam (1948-1962), pemberontakan di luar Jawa (19581962), dan berbagai pemberontakan lainnya pada masa penjajahan. Semuanya ini adalah peristiwa sejarah yang tidak bisa dielakkan dari peranan ulama (kiai/ajengan) dalam menggerakkan umatnya untuk melawan penjajah.

Peranan ulama dalam dinamika bangsa Indonesia mempunyai pengaruh yang kuat pada masyarakat. Mereka ikut menentukan proses perkembangan keagamaan, sosial, kultural, dan bahkan politik. Realitas ini tidak hanya dalam sejarah masa lalunya seperti pada saat pembentukan negara Republik Indonesia, penumpasan G-30-S/PKI, pembentukan Orde Baru, dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini semakin meneguhkan bagaimana dunia ulama dengan dunia sosial-politik kebangsaan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan secara ekstrem (Umar Sadat Hasibun, 2005).

Hari Ini

Sudah barang tentu ketika itjima ulama membahas persoalan bangsa ini menunjukkan fakta yang bukan hanya menggambarkan kesinambungan peran ulama dengan negara, melainkan juga sebagai satu bentuk peneguhan bagaimana ulama tidak bisa dipisahkan dengan gerak bernegara. Hari ini, permasalahan bangsa yang dihadapi tidak kalah besarnya dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masa kolonial.

Mungkin kolonialisme fisik sudah tidak lagi mendapatkan panggung pada era modern, tetapi kolonialisme simbolis, tirani kognitif, dan kekerasan psikologis tidak kalah mengerikannya dengan kolonialisasi abad ke-19. Penjajahan tidak lagi menggunakan jalur represif, tapi melalui perang budaya, perebutan sumber-sumber ekonomi, penguasaan jalur politik, penggiringan opini. Termasuk, di dalamnya adalah pergeseran gaya hidup yang kian berkiblat ke arah pemujaan terhadap daulat benda.

Bisa juga tantangan itu adalah hibrida pemahaman keagamaan yang ekstrem dan yang nyaris dikembangkan adalah nalar eksklusif yang menganggap mereka yang berbeda haluan tafsir dan keyakinannya sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Pemahaman yang hakikatnya tidak hanya bertentangan dengan fitrah keagamaan dan teladan kenabian, tapi juga berbanding terbalik dengan elan vital spirit kebangsaan dan fakta sosial yang heterogen dan multikultural. Dalam kompleksitas inilah, ijtima ulama ditantang untuk menampilkan fatwa dan rekomendasi yang dijangkarkan pada akar nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal yang dapat mempercepat terwujudnya keindonesiaan yang penuh muruah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar