Selasa, 31 Juli 2012

Ke Arah Mana Anak Tangga Kasus Hambalang

Ke Arah Mana Anak Tangga Kasus Hambalang
Jamal Wiwoho ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Bidang Ilmu Hukum, Pembantu Rektor II UNS Surakarta
MEDIA INDONESIA, 31 Juli 2012


KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham M Samad memastikan akan mengumumkan sejumlah tersangka baru dalam kasus korupsi proyek Hambalang, Sentul, Jawa Barat. Abraham menjelaskan ada dua dugaan kasus korupsi Hambalang, yakni pengadaan barang dan gratiļ¬ kasi (sogok). Dua dugaan kasus itu yang kini didalami para penyidik KPK. Salah satu dugaan kasus korupsi Hambalang ialah proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, prosedurnya tunduk pada aturan normatif Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang beberapa kali diperbarui terakhir pada 2010 dengan Peraturan Presiden Nomor 54 (Perpres No 54 Tahun 2010).

Menurut penulis, proses pengadaan barang, dalam hal ini pembangunan gedung olahraga beserta sarana dan prasarananya, di Hambalang itu ialah proses biasa. Namun karena awal munculnya kasus tersebut dihembuskan Muhammad Nazaruddin (mantan Bendahara Umum Partai Demokrat) selaku unsur partai yang berkuasa dan diduga melibatkan oknum orang partai dan pejabat pemerintah, persoalannya menjadi lain. Apalagi kasus itu dikaitkan dengan proses berantai suksesi kongres Partai Demokrat di Bandung dalam pemenangan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum.

Kali pertama kasus itu muncul dimulai pada 2009 kala Adhyaksa Dault menjadi menteri pemuda dan olahraga merencanakan pembangunan pusat kegiatan olahraga Hambalang yang waktu itu bernilai Rp125 miliar. Seiring dengan perubahan Kabinet Indonesia Bersatu II, Adhyaksa Dault diganti dengan Andi Alifian Mallarangeng. Pada saat dipegang menteri yang baru itulah nilai proyek pembangunan pusat kegiatan olahraga Hambalang yang awalnya Rp125 miliar berubah menjadi Rp2,5 triliun.

Di dalam proses pengadaan barang dan jasa itu ada dua kemungkinan. Pertama, apakah Rp2,5 triliun itu paket satu tahun atau multiyears. Baik anggaran itu tahunan maupun multiyears, perubahan itu pasti diajukan kementerian, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga, kepada menteri keuangan. Untuk mengubah anggaran Rp125 miliar menjadi Rp2,5 triliun, prosesnya tidak mungkin tanpa melibatkan kalangan DPR yang secara normatif mempunyai kewenangan untuk menentukan bujet.

Setelah KPK memeriksa 70 saksi kasus itu, termasuk Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, sejumlah pegawai Kemenpora, term masuk Menteri Andi Alifian M Mallarangeng, serta karyawan PT Adhi Karya, rekanan proyek Hambalang, akhirnya seperti yang dijanjikan Abraham Samad, KPK menetapkan menaikkan status kasus Hambalang dari penyeli penyelidikan ke tingkat penyidikan. Artinya ada kemajuan dalam pengusutan kasus itu dan pasti ada yang ditetapkan menjadi tersangka.

KPK akhirnya menetapkan tersangka dalam kasus Hambalang, yakni Deddy Kusdinar yang merupakan pejabat pembuat buat komitmen (PPK) proyek Hambalang. Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dalam jumpa pers di KPK, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Kamis (19/7/2012). Pasal yang disangkakan ialah Pasal 2 ayat 1, 3 jo Pasal 55 ke 1 KUHAP. Deddy ialah orang yang meneken surat penetapan lelang pada 24 November 2010.

Saat itu KSO Adhi Karya Wika menjadi pemenang dengan harga penawaran Rp1.077.921.000.000. Deddy saat ini menjabat Kabiro Perencanaan Kemenpora. Di samping itu, KPK menetapkan tiga pe laku usaha untuk dicegah bepergian keluar negeri. Penetapan DK sebagai tersangka mudah ditebak ditebak karena DK selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam kasus Ham balang. PPK itu diangkat dan ditugasi kuasa pengguna anggaran (KPA) yang notabene ialah atasan PPK. Peningkatan penyelidikan ke penyidikan itu merupakan babak baru dalam kasus Hambalang.

Rupa-rupanya penentuan yang dikatakan sebagai anak tangga oleh Bambang Widjojanto ialah strategi penanganan perkara yang dilakukan tim dari KPK. KPK ingin menaikkan dari satu tangga ke tangga lain sampai menuju ke puncak tangga dengan memperkecil perlawanan dari para calon tersangka. Penulis hanya ingin mengingatkan semoga kasus itu bisa tuntas tidak berhenti di tengah jalan. Artinya penanganan kasus itu bisa sampai puncak tangga dan membongkar habis semua pelaku yang terlibat. Jangan sampai kasus itu hanya bisa menjangkau awal atau pertengahan tangga dan tidak bisa naik ke tingkat tangga berikutnya yang mungkin melibatkan pusaran kekuasaan atau kekuatan politik yang luar biasa.

Jika dicermati, penanganan kasus Hambalang ini hampir mirip dengan model penanganan kasus sogok pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Saat menangani kasus tersebut, KPK fokus pada ring terluar dulu ditetapkan sebagai tersangka menuju ke ring-ring berikutnya.

Seperti waktu itu, kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dibawa ke pengadilan ialah penerima sogok dahulu, yaitu para anggota DPR, kemudian yang diduga memfasilitasi, yaitu Nunun Nurbaeti, kemudian baru Miranda Swaray Goeltom. Miranda dituduh turut serta membantu tersangka Nunun Nurbaeti untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan memberikan 480 lembar cek pelawat ke puluhan anggota DPR periode 1999-2004 dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.

Namun, proses penanganan kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 juga masih menyisakan pertanyaan misterius karena belum bisa mengungkap cukong besarnya yang memfasilitasi dana begitu besar untuk menyogok. Jika dua kasus (kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI dan kasus Hambalang) itu disandingkan, tepatlah kiranya dalam kasus Hambalang KPK yang telah memeriksa dan menetapkan tersangka mulai pejabat pembuat komitmen dahulu.

Setelah itu akan dilakukan penanganan secara bertahap, bisa jadi merambah ke anak tangga berikutnya. Yakni pejabat kuasa pengguna anggaran (KPA), pengguna anggaran, dan pihak-pihak lain yang terkait karena adanya perubahan dan penggunaan anggaran dari Rp125 miliar menjadi Rp2,5 triliun dipastikan dapat melibatkan banyak pihak, baik dari kalangan politikus Senayan, utamanya Badan Anggaran (Banggar) DPR, pihak eksekutif terutama Kementerian Pemuda dan Olahraga (yang juga diketahui Kementerian Keuangan), serta pihak rekanan.

Inti persoalan penanganan kasus Hambalang ialah publik mengharapkan KPK bekerja secara profesional, yang dapat menghantarkan penyelesaian kasus tidak berhenti ke anak tangga atau tengah tangga, tapi bisa mencapai puncak tangga sehingga penegakan pemberantasan korupsi benar-benar bisa dilaksanakan. Jika hal itu bisa dibuktikan KPK, dugaan berbagai kalangan bahwa KPK sering terkesan tebang pilih dalam memberantas tindak pidana korupsi tidak benar.

Sampai saat ini publik masih percaya dengan integritas dan kredibilitas KPK (Abraham M Samad, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, dll) sehingga KPK pasti akan menyelesaikan kasus Hambalang sampai tuntas.

Mari bersama-sama selalu mengawasi dan mengawal kasus Hambalang ini agar semua menjadi terang benderang menuju Indonesia optimistis bebas dari kubangan masalah korupsi. Semoga.

Ramadan dan Penguatan Sinergi Akademisi, Bisnis, dan Government


Ramadan dan Penguatan Sinergi
Akademisi, Bisnis, dan Government
M Athar Ismail Muzakir ; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Kebijakan Publik UI dan Alumnus Pusat Studi Islam Al-Manar
MEDIA INDONESIA, 31 Juli 2012


PENGUATAN sistem inovasi nasional (SINas) melalui sinergi antarakademisi (A), bisnis (B), dan government (pemerintah) masih menjadi isu hangat di negara kita. Berbagai upaya pemerintah untuk memperkuat sinergi ABG antara lain dalam hal dukungan peraturan dan kelembagaan serta dana dan fasilitas pendukung. Namun sayang, semua itu belum mampu memberikan hasil yang diharapkan.

Menurut penulis, salah satu problem yang sangat mendasar ialah rendahnya integritas para pelaku kebijakan pada seluruh ranah, khususnya dalam konteks sinergi ABG itu sendiri. Fenomenafenomena seperti lemahnya penegakan hukum, plagiat, korupsi, dan ego sektoral merupakan cermin rapuhnya integritas tersebut. Dalam perspektif agama, nilai integritas tecermin dalam bentuk akhlak.

Dalam Islam, anjuran terhadap inovasi dan menghasilkan teknologi sudah tidak asing lagi. Salah satu bukti, selama 711-1492, ketika dikuasai kaum muslimin, Andalusia (Spanyol) berubah menjadi pusat kebudayaan Islam dan ilmu pengetahuan yang tiada tandingannya setelah s Konstantinopel dan Baghdad.

Di negeri itu pula lahir tokoh-tokoh muslim ternama yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu agama Islam, kedokteran, ilmu hayat, ilmu hisab, ilmu hukum, sastra, ilmu alam, dan astronomi.

Keberhasilan tersebut membuktikan, dalam Islam, selain akidah, penguatan ilmu dan teknologi sangat dianjurkan. Penguasaan iptek bahkan wajib jika menjadi syarat utama bagi kukuhnya syariat Islam. Hal demikian itu berdasarkan kaidah, “Apabila ada suatu hal yang suatu amalan wajib tidak dapat terlaksana melainkan dengannya, maka hal tersebut adalah wajib.“

Setelah mengetahui bagaimana Islam mendorong inovasi dan pengembangan iptek, saat ini kita melongok bagaimana mekanisme sinergi dalam Islam, khususnya dalam menjawab permasalahan kekinian. Dalam Islam terdapat mekanisme kolaborasi yang sangat indah antara pemerintah, ulama, dan para ahli untuk menentukan suatu hukum, khususnya yang terkait dengan masalah kekinian dari berbagai disiplin ilmu. Pemerintah memfasilitasi musyawarah antara para ulama dan para ahli dari berbagai disiplin ilmu.

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla dengan satu anak panah, memasukkan tiga orang ke dalam surga: pembuatnya yang mengharapkan pahala ketika ia membuatnya, pemanahnya, dan orang yang membantu pemanah dengan mengambilkan anak panahnya,” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya).

Kalau dianalogikan, anak panah sebagai hasil teknologi, pembuat anak panah sebagai peneliti, pemanah ibarat pelaku industri, dan orang yang membantu mengambilkan anak panah ibarat pemerintah. Maka bisa dibayangkan, jika hanya dengan satu anak panah, ganjaran begitu besar. Bagaimanakah jika yang dihasilkan sejumlah teknologi yang sangat canggih dan manfaatnya jauh lebih besar daripada sebuah anak panah?

Islam memberikan reward dalam proses sinergi tadi. Namun, terdapat pula sejumlah punishment bagi pihak yang memiliki setiap sifat dan perilaku yang mengarah ke perpecahan dan perselisihan umat Islam. Di antaranya sebagaimana dinyatakan dalam Surah Ali ‘Imran: 105, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.”

Paling tidak, prinsip reward dan punishment itu sangat efektif terutama sebagai upaya mengatasi ego sektoral dan tumpang tindih riset yang menjadi permasalahan utama dalam penguatan sistem inovasi nasional.

Mungkin kita bertanya, kenapa tumpang tindih riset, ego sektoral, dan sejumlah krisis integritas lainnya masih kuat di Indonesia, padahal Islam sangat dominan? Jawabnya ialah, pertama, tingkat pemahaman terutama terkait dengan akidah yang sahih masih sangat lemah. Kedua, nilai Islam masih belum menjadi the way of life.

Momentum Ramadan ini semoga menjadi titik balik bagi kita untuk kembali memperkuat ilmu, iman, dan amal. Diharapkan, dengannya kelak akan membentuk amunisi ampuh bagi terjalinnya sinergi yang harmonis khususnya antarkomponen sistem inovasi, yaitu A (akademisi), B (bisnis), dan G (pemerintah). Allahuma amin!!!

Darurat Tahu Tempe


Darurat Tahu Tempe
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR/ Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
SUARA MERDEKA, 31 Juli 2012


DARI persoalan tahu tempe bisa dimunculkan penjelasan bahwa agenda politik ekonomi pemerintahan saat ini benar-benar tidak fokus. Akibatnya, percepatan pembangunan infrastruktur masih menjadi wacana, sektor agraria sarat konflik, minim kawasan industri, hingga gagal melindungi kebutuhan pangan rakyat.

Dari kasus mogok produksi tempe itu pula layak dimunculkan pertanyaan mengenai arah politik ekonomi dan kapabalitas pemerintah mengelola ekonomi negara. Ini bukan pertanyaan baru, tetapi patut dimunculkan lagi karena kinerja ekonomi negara tak kunjung membaik.

Statitistik memang memperlihatkan pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi angka itu tidak mampu meningkatkan kesejahteraan warga miskin. Pun, tak mampu menyediakan lapangan kerja dalam jumlah sesuai skala pertumbuhan yang tinggi itu.

Tim ekonomi pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mencoba unjuk kebolehan dengan menggagas program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang merancang enam koridor ekonomi, meliputi Koridor Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Koridor Papua dan Kepulauan Maluku.

Per konsep, MP3EI terkesan oke banget. Mampukah pemerintahan ini mewujudkannya? Inilah tantangannya. Soalnya, kalau mengurusi pengadaan bahan baku tahu tempe (kedelai) saja bisa berantakan seperti sekarang, banyak orang akan mempertanyakan kapabilitas pemerintah mewujudkan MP3EI itu. Keraguan ini bukannya tanpa alasan, melainkan diperkuat oleh sejumlah fakta.

Kedelai kini menjadi masalah serius karena revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan yang dicanangkan sejak 2004 hingga kini masih berwujud konsep. Fakta lainnya tentang infrastruktur. Presiden mengakui bahwa infrastruktur di dalam negeri masih minim.

’’Saya akui, infrastruktur di dalam negeri masih minim," kata Presiden pada sidang kabinet terbatas di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (27/7).

Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, untuk membangun semua kebutuhan infrastruktur, dibutuhkan dana Rp 1,786 triliun untuk membangun infrastruktur listrik dan energi, pembangunan jalan baru, serta rel kereta api dan proyek lainnya. Peran swasta sangat signifikan karena keterbatasan dana pemerintah.

Tidak Fokus

Tahun ini, pemerintah hanya bisa mengalokasikan Rp 204,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Minat swasta, baik lokal maupun asing, cukup tinggi. Tapi, pemerintah lagi-lagi gagal mewujudkan iklim investasi yang kondusif. Klaster industri yang dirancang dalam MP3EI tidak mungkin terwujud jika infrastruktur dalam negeri masih minim.  

Kesimpulannya, kinerja pemerintahan masih sangat mengecewakan. Dari agenda pembangunan infrastruktur, revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan, sampai agenda pengamanan pangan rakyat, semuanya masih diselimuti masalah yang sangat serius.

Sampai pada kasus mogok produksi tahu-tempe. Kalau alasannya kekeringan di AS, bukankah masalah ini bisa diprediksi? Kalau Kementerian Perdagangan RI fokus mengelola stok kedelai, potensi kekeringan di AS otomatis masuk dalam kalkulasi, sehingga stok kedelai bisa diperbesar sebelum kekeringan di AS terjadi.

Namun, karena tidak fokus mengelola stok kedelai dan menyerahkannya kepada kartel, kekeringan di AS tidak dikalkulasi.

Tentu saja muncul pertanyaan; apa saja yang dikerjakan Kementerian Perdagangan RI sehingga faktor kekeringan di AS sama sekali tidak diprediksi? Tentu akan konyol kalau menilai kementerian itu tidak kapabel.

Bagaimana memaknai kasus terhentinya produksi tahu tempe baru-baru ini? Suka tidak suka, itu adalah bukti paling sahih kegagalan politik ekonomi pemerintahan SBY melindungi kebutuhan pangan rakyat. Pangan rakyat tidak terproteksi karena pemerintah tidak militan mengejar target revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan. ●

Swa Sembada Kedelai?

Swa Sembada Kedelai?
Pande Radja Silalahi ; Ekonom CSIS
SUARA KARYA, 31 Juli 2012


Kenaikan harga berbagai komoditas yang terjadi belakangan ini tampaknya perlu mendapat perhatian serius terutama dari para pembuat keputusan. Semula pemberitaan perihal kenaikan harga terutama pangan kurang menarik perhatian karena biasa terjadi menjelang dan selama bulan puasa. Tetapi, menyusul pernyataan yang dilontarkan oleh aparat pemerintah dan dihubungkan dengan tindakan yang dilakukannya, siapa pun akan menjadi prihatin.

Pejabat yang satu menyatakan bahwa kenaikan harga merupakan ulah para spekulan. Tetapi, sampai saat ini belum ada pemberitaan mengenai spekulan yang ditangkap atau didakwa melakukan tindakan melawan hukum. Pejabat yang lain menyatakan bahwa untuk menghadapi kenaikan harga, perlu dilakukan operasi pasar. Padahal, dalam waktu yang bersamaan, pejabat yang bersangkutan mengemukakan dalam beberapa waktu belakangan ini bahwa pasokan komoditas yang harganya naik mengalami penurunan.

Lebih memprihatinkan lagi, di tengah terjadinya kenaikan harga muncul gagasan agar bea masuk untuk komoditas tertentu ditiadakan atau dikurangi. Sementara di sisi lain muncul desakan agar Bulog diberi peran yang lebih besar untuk menstabilkan harga.

Di mana pun di dunia ini kenaikan harga suatu komoditas tidak bersifat netral. Untuk Indonesia, misalnya, kenaikan harga padi akan menguntungkan sebagian petani di wilayah tertentu, tetapi menambah beban atau mengurangi daya beli sebagian besar masyarakat. Kenaikan harga kedelai akan menguntungkan sebagian petani, tetapi dapat mereduksi pendapatan produsen tempe dan dapat menambah beban bagi konsumen tempe serta dapat berakibat pengalihan penggunaan lahan.

Data statistik yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan jelas menunjukkan pada tahun 2011 produksi kedelai di Indonesia mengalami penurunan 55.745 ton dan tahun 2012 ini diperkirakan turun lagi sekitar 71.545 ton, sehingga perkiraan produksi tahun ini akan berkisar 779.741 ton. Penurunan itu berbarengan dengan terjadinya penurunan luas panen, yaitu tahun 2011 sebesar 5,84 persen dan tahun ini diperkirakan lebih besar lagi sekitar 8,93 persen.

Sudah umum diketahui bahwa Indonesia masih mengimpor kacang kedelai dalam jumlah besar dan menurut Menteri Pertanian sekitar 60 persen dari seluruh kebutuhan. Dengan kata lain, produksi dalam negeri hanya dapat memenuhi 40 persen dari kebutuhan. Dengan keadaan seperti ini, pemantauan terhadap negara eksportir kedelai sudah menjadi keharusan bagi Kementerian Pertanian. Karena jumlah produksi sangat dipengaruhi iklim, maka perkembangan iklim di negara eksportir menjadi sangat penting dan tidak dapat diabaikan.

Setelah mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh, hampir dapat dipastikan bahwa Indonesia tidak akan mungkin swasembada kedelai dalam waktu singkat. Tanpa mengelola harga secara tepat, penggerusan lahan untuk produksi kedelai akan terus terjadi. Dengan kecenderungan seperti ini, apakah tepat apabila harga kedelai dipertahankan rendah sehingga petani kedelai akan terus beralih menjadi petani jagung, dan selanjutnya apakah kebijakan peniadaan bea masuk kedelai bukan kebijakan yang bertentangan dengan usaha merangsang petani menanam kedelai?