Kamis, 26 Juli 2012

Batman dan Tenaga Besar Komik

Batman dan Tenaga Besar Komik
Agus Dermawan T ; Kritikus Seni, Penulis Buku-Buku Seni-Budaya
 KORAN TEMPO, 26 Juli 2012


Pada 20 Juli lalu sebuah kejadian mengerikan meledak di gedung bioskop Aurora, di Kota Denver, Colorado, Amerika Serikat. James Holmes tiba-tiba menembakkan senapannya ke ratusan orang yang sedang menonton film Batman - The Dark Knight Rises karya sutradara Christopher Nolan. Puluhan orang luka-luka, tiga di antaranya orang Indonesia, dan belasan orang meninggal dunia. Menurut pengakuan James, ia terpengaruh oleh karakter Joker dalam film-film Batman. 

Joker adalah tokoh perusak yang lihai, pembunuh yang pintar, penjahat yang berotak brilian, musuh bebuyutan Batman. Meski dalam seri Batman - The Dark Knight Rises si keji Joker itu sudah tidak ada, dan digantikan oleh si manusia bertopeng Bane, karakter Joker tetap melekat dalam diri James. Pemuda ini memang menghayati kehidupan Joker sampai ke dasar-hatinya. Semua film Batman ia tonton. Bahkan sebagian besar komik Batman ciptaan Bob Kane itu sudah ia baca. Dengan demikian, karakter Joker sudah meresap ke dalam dirinya jauh sebelum film tentang Batman ditontonnya. Film tentang Batman memang bersumber dari komik Batman, yang diterbitkan DC Comics sejak 1939.

Dianggap Rendah

Sampai di sini kita akhirnya terpana oleh sugesti sebuah komik. Betapa komik bisa begitu kuat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, terutama remaja dan anak muda. Betapa komik itu mampu menyedot perhatian, dan sekaligus mengaduk-aduk hati dan pikiran para pembacanya. Pengamat komik Arswendo Atmowiloto pernah mengerucutkan keterpanaan ini dalam sebuah kesimpulan: “Komik adalah sastra dalam gambar.” Apabila sastra (kata-kata) adalah kekuatan besar yang mempengaruhi pikiran orang, dan apabila gambar adalah kekuatan hebat yang memberikan contoh visual ihwal perilaku, apa yang terjadi apabila dua kekuatan itu bersatu-padu? Itu sebabnya, komik lantas diakui sebagai karya seni yang paling memiliki potensi untuk membuat pengaruh secara langsung. 

Pesona komik segera saja menguasai kehidupan. Sejak dekade ketiga abad ke-20, komik memecahkan rekor paling tinggi dalam penjualan di Amerika. Dengan satu judul bisa mencapai oplah ratusan ribu, komik mengalahkan penerbitan jenis buku apa pun! Mungkin karena bikin cemburu, bom komik ini segera mendapat tentangan keras dari kaum intelektual. Alhasil, dalam sejarah kebudayaan manusia modern, tidak ada karya seni yang paling dijunjung dan sekaligus paling dinista selain komik. 

Kaum intelektual menganggap komik sebagai hasil kebudayaan pop, kebudayaan sepintas lalu, yang di dalamnya sering ditawarkan selera rendah. Mereka membayangkan betapa sesuatu “yang rendah” dikonsumsi serentak oleh begitu banyak orang. Bayangan ini lalu menggugah senat Amerika Serikat untuk menerbitkan undang-undang perkomikan atau comic code pada awal 1960-an. Tapi para penggemar dan penghayat komik tidak diam begitu saja. Pada kurun yang sama, di negeri itu muncul gerakan Pop Cult, pemujaan atas segala yang berbau pop, atau populer. Di antaranya komik.

Gerakan pendukungan komik ini kemudian merambat ke negara-negara Eropa, sehingga Prancis punya Asterix dan lain-lain. Pada tahun-tahun berikutnya dikukuhkan di Jepang lewat gerakan manga. Di Negeri Matahari Terbit ini, menurut pengamat komik Takahashi Mizuki, komik manga rata-rata setiap tahun dicetak dalam jumlah lebih dari 1 miliar kopi. Dan ini merupakan 40 persen dari jumlah penerbitan seluruh buku di Jepang. Bahkan manga menyebar ke seluruh dunia.

Komik Indonesia

Kontroversi hegemoni komik juga terjadi di Indonesia pada awal 1960-an. Sebagian orang tua gelisah melihat anak-anaknya tenggelam dalam dunia komik. Apalagi setelah melihat ternyata tidak sedikit komik yang kurang menonjolkan sisi-sisi baik, sehingga sikap cengeng dan ugal-ugalan tokoh komik menjadi panutan. Tapi sisi negatif komik ini segera diantisipasi oleh pengusaha dan pencipta komik Indonesia. Mereka menerbitkan komik yang dianggap sebagai perlawanan dari komik yang asal menghibur. Komik edukatif pun berlahiran.

Penerbit Casso dan Harris di Medan memunculkan komik cerita legenda Tapanuli, Deli Kuno, atau Minangkabau. Pasar komik ini bagus, sehingga banyak komikus dari Jawa yang bergabung dan mencipta komik dengan tema lokal Sumatera. Lalu lahirlah komik Bunda Karung, yang mengisahkan peran wanita dalam sistem masyarakat Minang yang khas itu. Komik berlatar sejarah kesultanan Pasai dan Siam ditampilkan dalam Mirah Tjaga dan Mirah Silu. Komik etika tampil lewatHang Djebat Durhaka, yang disadur dari hikayat masyhur Hang Tuah. Dari situasi ini, muncul nama R.A. Kosasih (yang meninggal dunia pada 24 Juli 2012), yang mencipta Ramayana dan Mahabharata, serta Taguan Hardjo yang menggubah Kapten Yani dengan Perompak Lautan Hindia.

Di Jakarta dan Surabaya, diilhami oleh heroisme Bung Karno, pada 1960 sampai 1963 bermunculan komik yang menyulut rasa nasionalisme. Misalnya Toha Pahlawan Bandung Selatan serta Pemberontakan Trunodjojo, yang mengisahkan keuletan bangsa Indonesia melawan VOC. Juga komik Srikandi Tanah Minang, yang bercerita ihwal kepahlawanan penduduk, terutama para wanita, kepada fasisme Jepang. Pada masa ini juga tumbuh subur komik-komik roman remaja, namun tetap menyimpan tendensi membangun budaya. 

Bagai yang ditunjukkan lewat komik Ilham dan Crossboy atau Ganjang Rok Ketat. Kejayaan komik edukasional seperti ini surut setelah G30S-1965. Pada kurun 1967-1970, komik tampil dengan beragam tema. Beberapa komik Ganes T.H., Yan Mintaraga, Teguh Santosa, Hans Jaladara, dan Djair termasuk yang bermutu. 

Memasuki abad ke-21 sebagian komik Indonesia dihidupkan dalam bentuk i-comic, yang bisa diakses lewat komputer. Di sini pembaca komik ternyata berhasil dibangkitkan. Seperti dicatat pihak operator Divisi Gaming & Content Indosat, i-comic yang memvisualkan cerita Kho Ping Hoo sanggup mendatangkan 50 ribu pengakses. Dan komik silat Senopati Pamungkas, yang diangkat dari novel Arswendo Atmowiloto, menjaring tak kurang dari 30 ribu pengakses.

Kembali ke Batman, komik terbukti memiliki tenaga besar untuk mempengaruhi siapa saja dan kapan saja. Sampai akhirnya menjadi ilham utama bagi dunia film. Dari sini kita boleh berharap di Indonesia banyak lahir komik yang mengisahkan perang antara kelicikan koruptor dan taktik pemberantasnya. Bravo komik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar