Jumat, 27 Juli 2012

Berpuasa Secara Humanis


Berpuasa Secara Humanis
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 25 Juli 2012

Ibadah puasa sepanjang sejarah selalu meneguhkan pesan-pesan moral yang kuat bagi para pelakunya. Moralitas yang diberikan oleh ibadah puasa lewat penderitaan fisik merujuk kepada upaya membangun kesabaran, persaudaraan, dan solidaritas kemanusiaan. Di ujung upaya ini diharapkan akan terjadi pencerahan pikir dan pencahayaan hati dalam wujud self-restraint (pengendalian diri) dalam menghadapi keruwetan hidup sehari-hari. Pengendalian diri tersebut pada gilirannya mewujud selaku imunitas; semacam daya tahan terhadap tekanan dan godaan, daya tangkal terhadap tarikan negatif, dan daya seleksi terhadap pengaruh positif.

Ibadah puasa memang meniscayakan kemampuan pengendalian diri secara total. Hal itu disebut total karena puasa tidak hanya melatih orang yang menunaikannya mampu menahan diri terhadap hal-hal yang haram, tetapi juga pada hal yang halal untuk dilakukan, semisal makan, minum, dan berhubungan suami-istri di siang hari. Secara tidak langsung, aktualisasi puasa ini menggugurkan pemeo pragmatis yang meyakini bahwa mencari dan melakukan hal-hal yang haram saja sulit, alih-alih mencari dan menahan diri dari hal-hal yang dihalalkan.

Pengendalian diri yang diperoleh lewat ibadah puasa menjadi modal penting dalam melakukan transformasi sosial. Hal ini kian relevan dengan atmosfer politik hari ini, agar setiap warga negara tidak terperangkap dalam euforia politik sesaat dalam melewati jembatan transisi menuju rasionalisme politik. Di sinilah kemudian pengendalian diri menjadi semacam pompa yang membuat kehidupan berdenyut lebih humanis dengan laju perkembangan yang terkendali dan perubahan yang abjadiah. 

Kehidupan bangsa yang masih belum lepas dari pelbagai krisis ini menghajatkan manusia yang visioner dan optimistis dalam menyongsong hari esok. Optimisme hanya tercipta pada manusia yang tercerahkan lewat pengendalian diri melalui berpuasa. Manusia yang optimistis dan tercerahkan bakal lebih memiliki kesabaran dalam melakukan perubahan dan menggenapi reformasi. Manusia optimistis memiliki keyakinan untuk mendapatkan kemenangan dalam meniti perjuangan, sungguh pun mereka tidak sempat menyaksikan kemenangan itu sendiri. Mereka percaya bahwa berjuang saja adalah sebuah kemenangan, yakni kemenangan atas rasa takut, sifat pengecut, cinta dunia, dan atas diri sendiri. 

Distansiasi terhadap kebutuhan makan, minum, dan hubungan seksual selama bulan Ramadan tidak hanya memberikan kesempatan kepada seorang muslim untuk merefleksikan diri yang bermuara pada kebangkitan rohani. Yang tak kalah penting adalah bahwa distansiasi ini merupakan siasat pengalihan untuk membangun optimisme yang sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa ini. Distansiasi ini bukan membunuh fitrah alamiah yang ada pada diri manusia--kebutuhan makan, minum, dan seks--melainkan menyemburkan energi-energi baru buat melakukan terobosan. Mereka menjaga jarak jiwa mereka terhadap hasrat ragawi (makan, minum, dan seks) guna mempertahankan wilayah kegembiraan jiwanya dari serbuan keputusasaan. Mereka tampak memilih untuk istirahat, tapi dari sana mereka menemukan jendela persepsi yang baru atau sumber inspirasi yang segar terhadap pelbagai urusan di mana kerap gagal secara berulang-ulang. 

Dalam upaya melakukan eksekusi dan transformasi sosial, kemampuan untuk melakukan distansiasi, detachment, atau penjarakan terhadap kenyataan yang konkret menjadi sebuah kebutuhan yang signifikan. Dengan mengambil jarak atas kenyataan tersebut, seorang transformator akan mampu melihat dunia dengan segala kekurangan, kelebihan, dan kemungkinannya. Dunia tidak bisa ditransformasikan jika seorang transformator tenggelam dalam kepenuhan dunianya sendiri. Distansiasi bakal mendorong terbentuknya reattachment atau keterlibatan kembali seusai momen penjarakan dilakukan beberapa saat. Momen pengambilan jarak hanyalah situasi, sedangkan seorang transformator bisa berada di luar dunia. Momen terpenting justru berada kembali di dunia untuk mengubah dan mentransformasikannya sesuai dengan gambar yang dikehendaki oleh seorang agen atau transformator.

Dalam konteks puasa, distansiasi sekejap atas hasrat ragawi (makan, minum, dan seks) sangat fungsional sebagai internalisasi solidaritas dan sensitivitas sosial di tengah menjamurnya patologi sosial dan krisis ekonomi yang masih hadir di negeri ini. Mustahil merasakan penderitaan orang-orang miskin dengan seminar di hotel berbintang tanpa merasakan penderitaan mereka. Sungguh klise menggagas upaya-upaya pemberantasan kemiskinan tanpa bersahabat dengan kaum mustadh’afin: petani penggarap, buruh bangunan, tukang becak, petugas kebersihan, atau pemulung sampah. Tanpa adanya keseriusan dan kemampuan distansiasi berbasiskan pengendalian diri, yang akan terjadi adalah semacam diskrepansi religius, yakni ketidaksesuaian ekspresi keberagamaan umat dan pengalaman hidup sehari-hari. Pada bulan Ramadan sebelumnya, gejala itu terlihat jelas dengan meluasnya perilaku konsumtif di kalangan umat Islam.

Kegiatan ritual keagamaan ternyata belum mampu melepaskan kebiasaan umat dari perilaku konsumtif secara berlebihan. Hal itu terlihat dari antrean pembeli yang memanjang di meja kasir, membludaknya stok barang dari penjual, atau diskon besar-besaran menjelang Lebaran. Di balik kegiatan jual-beli itu, muncul pertanyaan: mengapa harus seramai itu? Tidakkah hal itu menghambur-hamburkan uang yang seyogianya harus dijauhi selama bulan Ramadan yang bertujuan menempa orang untuk mengerem hawa nafsunya?

Puasa menjadi salah satu wahana terbaik untuk kembali memanusiakan kita, memanusiakan hubungan-hubungan sosial, dan memanusiakan tatanan sosial yang kaku, kering, dan parsial. Dengan demikian, puasa memberi kita kesempatan untuk meningkatkan martabat kita, baik di hadapan diri kita sendiri, di hadapan keluarga kita, di hadapan masyarakat, maupun di hadapan Allah SWT. Di tengah apel pembicaraan mengenai ingar-bingar transisi politik hari ini, filsafat puasa menyajikan perspektif yang mendalam dan bermakna. Perspektif itu, menurut Annemarie Schimmel, akan menggiring seorang muslim untuk takhallaqu bi akhlaq Allah (bertingkah laku dengan akhlak Allah), yaitu akhlak yang penuh kesempurnaan dan bukan justru diwarnai kepongahan dan kemubaziran. Itu yang kita rindukan pada era menuju rasionalisme politik sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar