Kamis, 26 Juli 2012

Dewan Komisioner OJK, Selamat Bekerja


Dewan Komisioner OJK, Selamat Bekerja
Bacelius Ruru ; Komisaris PT Jababeka
 SINAR HARAPAN, 25 Juli 2012


Setelah sekian lama, akhirnya lengkaplah perangkat kepengurusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah dinantikan sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, khususnya Pasal 34 yang mengatur tentang pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan selambat-lambatnya tahun 2002.

Namun, berhubung satu dan lain hal pada akhirnya terbentuklah lembaga tersebut melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang kemudian presiden membentuk Panitia Seleksi Dewan Komisioner OJK pada awal tahun ini. Usai proses seleksi dan fit and proper test di DPR, para calon pemimpin serta anggota Dewan Komisioner OJK dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung pada hari Jumat tanggal 22 Juli 2012.

Dengan demikian, perangkat pemimpin OJK sudah lengkap. Tinggal seterusnya menyiapkan personalia pejabat dan karyawan OJK agar organisasi itu dapat bertugas mulai 1 Januari 2013, kecuali sektor perbankan yang direncanakan akan dimulai pada tahun 2014.

Sejarah Pengawasan Perbankan

Pengawasan perbankan di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial mendirikan De Javasche Bank untuk melaksanakan fungsi bank sentral, walaupun tugas utamanya adalah mencetak dan mengedarkan uang.

Setelah kemerdekaan, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 Bank Indonesia mendapatkan landasan hukum dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajibannya, walaupun di situ tidak mengatur secara khusus tentang pengawasan atas kegiatan perbankan.

Kemudian Undang-Undang No 11 Tahun 1953 diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Aturan baru itu secara substantif sama dengan undang-undang sebelumnya, namun ada sejumlah perbedaan yang cukup prinsip.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953, ada penegasan tentang fungsi penentuan kebijakan moneter yang berada di pemerintah dan dilaksanakan oleh suatu "Dewan Moneter" yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian serta Gubernur Bank Sentral.

Mengenai tugas pengawasan perbankan tidak diatur secara spesifik dalam batang tubuh, walaupun terdapat juga bagian dalam Penjelasan Umum yang menyebutkan tentang pentingnya fungsi pengawasan atas sektor perbankan.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1969 tentang Bank Sentral, terdapat dua "sentra" yang berkaitan dengan perbankan, yaitu "Lapangan Banteng" dan "Thamrin". Lapangan Banteng (Kementerian Keuangan) yang memberi izin perbankan, sedangkan yang mengawasi adalah Thamrin (Bank Indonesia).

Memang konstruksi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1969 menempatkan Bank Indonesia (Bank Sentral) bagian dari pemerintah yang tercermin dari adanya suatu Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan dan beberapa menteri di bidang perekonomian, sedangkan Gubernur Bank Indonesia hanyalah anggota.

Dengan konstruksi seperti ini posisi Bank Indonesia menjadi "tidak independen" terutama dalam rangka penetapan kebijakan moneter serta pengaturan dan pelaksanaan kredit yang diberikan Bank Indonesia (seperti KLBI atau BLBI) dalam posisi Bank Indoesia sebagai "lender of last resort".

Kendati demikian, Bank Indonesia dalam perannya sebagai Bank Sentral harus independen, tetapi sebagai penanggung jawab keuangan terakhir dari segala kewajiban Bank Indonesia adalah pemerintah yaitu dari APBN.

Demikian pula kebijakan moneter yang keliru bisa berdampak secara politis pada pemerintah, sehingga barangkali itulah yang menjadikan pertimbangan mengapa di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1969 ada lembaga yang namanya Dewan Moneter dengan ketua Menteri Keuangan. Tak heran bila pada waktu itu ada kesan "satu mendominasi lainnya" yang menimbulkan "sentra" di atas.

Langkah-langkah Koreksi

Keadaan itu berubah di era reformasi. Pada waktu pemerintahan Presiden Habibie lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral yang menempatkan Bank Indonesia berada di luar pemerintah, dengan pengertian bahwa Bank Indoesia sebagai bank sentral tidak lagi berada di bawah "kendali" pemerintah (baca: Menteri Keuangan).

Nantinya lembaga pengawas perbankan juga akan terpisah dari Bank Indonesia, mulai tahun 2002, walaupun kemudian dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 pembentukannya akan dilakukan pada 2010.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 menempatkan Bank Indonesia sebagai lembaga independen, dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan kegiatannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Hapuslah dikotomi "Lapangan Banteng" dan "Thamrin". Jadi, segala hal sepanjang menyangkut sektor perbankan dan pengawasannya sudah berada di luar kewenangan Menteri Keuangan.

Di kemudian hari dengan adanya OJK, aspek moneter, pencetakan dan peredaran uang ditangani Bank Indonesia, sedangkan pengawasan dan pengaturannya di tangan OJK.
Sistem pengawasan perbankan seperti yang dijalankan OJK memang dari polanya hanya dijumpai di beberapa negara. Inggris dengan Financial Services Authority (FSA) melakukan pengawasan sekaligus pembentukan aturan.

Demikian pula dengan Monetary Authority of Singapore (MAS) mengawasi perbankan dan kegiatan di sektor keuangan seperti pasar modal, asuransi, dana pensiun dan lembaga keuangan lainnya. Tampaknya pola MSA sejalan dengan OJK.

Ada yang bertanya apakah baik bila fungsi pengaturan dan pengawasan berada di satu lembaga yang sama? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, tergantung pada otoritas yang melaksanakan kewenangan tersebut.

Memang kasus yang terjadi misalnya dengan Barclays Bank sekarang serta kasus Northern Rock sebelumnya, menimbulkan pertanyaan apakah dengan fungsi pengaturan dan pengawasan yang melekat pada satu lembaga(?).

Tapi lepas dari itu, hal ini tidak untuk diperdebatkan lagi karena sudah ditentukan dalam Undang-Undang tentang OJK mengenai hal tersebut. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa lembaga pengawas seperti OJK harus dikelola oleh orang-orang yang respectable serta mempunyai integritas tinggi dan berani menolak intervensi dari pihak siapa pun yang tidak mempunyai kaitan dengan kewenangan OJK.

Semasa krisis moneter tahun 1998 terjadi moral hazard yang berlebihan sebagai akibat kumulasi persoalan etika dan governance. Kasus Northern Rock dan Barclays Bank berkaitan dengan faktor negligence dari otoritas pengawas.

Krisis keuangan tahun 2008 menurut pendapat saya sebagian juga diakibatkan lembaga pengawas seperti SEC dan Federal Reserve Bank tidak menjalankan fungsinya dengan baik sehingga perusahaan seperti Lehmann Brothers bebas menerbitkan instrumen yang dikenal dengan sub-prime mortgage yang sebenarnya sifatnya sudah jauh di bawah "investment grade", tapi diberi rating investment oleh perusahaan rating agencies.

Kita harapkan contoh-contoh di atas tidak terjadi setelah OJK berfungsi. Jangan lagi terulang bahwa di lembaga ini masih terdapat sisa-sisa "Lapangan Banteng" dan "Thamrin" mengingat lembaga OJK juga mengatur dan mengawasi pasar modal, asuransi, dana pensiun dan lembaga keuangan lainnnya seperti Finance Company di samping perbankan.

Persoalan yang terjadi seperti kasus Antaboga hendaknya dapat ditangani sejak dini mengingat masalah yang sifatnya lintas batas kini telah berada di bawah satu atap. Hendaknya ego sektoral tidak terjadi antara para komisioner karena yang harus dilakukan adalah bagaimana menjaga dan menjadikan sektor keuangan kita motor utama bagi ekonomi.

Sekali lagi lembaga pengawas seperti OJK harus mendapatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat. Pengelolanya harus memiliki integritas tinggi, respectable dan berani mengatakan "tidak" bila ada intervensi yang dapat mengganggu stabilitas sektor keuangan.

Harus diingat bahwa krisis keuangan yang terjadi berdampak sangat berat secara politis, ekonomi dan sosial seperti yang terjadi di Indonesia tahun 1998 serta yang sekarang menimpa negara-negara di zona euro dan juga Amerika Serikat. Kepada para komisioner OJK, selamat bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar