Minggu, 29 Juli 2012

Genosida Etnis Rohingya


Genosida Etnis Rohingya
Muh Khamdan ; Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI
REPUBLIKA, 28 Juli 2012

Ketegasan konstitusi In­ donesia dalam upaya ikut serta menjaga per­damaian dunia yang jelas tercantum dalam tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kini diuji ketika menghadapi tragedi kemanusiaan di Myanmar.

Hak-hak minoritas Muslim Rohingya, suku keturunan Bangladesh di Myan­ mar barat, terampas dengan adanya pembantaian yang mengarah pada ge­ nosida atau pemusnahan etnis.

Indonesia sebagai negara Muslim demokrasi terbesar di dunia jelas harus melakukan diplomasi kemanusiaan terhadap Pemerintah Myanmar yang mengabaikan substansi nilai-nilai hak asasi manusia. Terlebih, Indonesia sebagai negara yang kini menjadi ketua ASEAN sekaligus telah memiliki banyak pengalaman dalam menghadapi konflik antaretnis di berbagai daerah sebagaimana di Ambon, Poso, dan Sampit.

Tragedi kemanusiaan yang mengarah pada upaya pembinasaan sekitar satu juta Muslim Rohingya dari wilayah Myanmar jelas mengindikasikan bahwa kemerdekaan memeluk agama di dunia ini masih harus diperjuangkan. Terlebih, penghargaan atas hak-hak kelompok minoritas benar-benar masih sebagai hal yang sangat mewah, bahkan terkesan diabaikan karena nyaris tanpa tindakan apa pun dari organisasi internasional.

Peran Lembaga Dunia

Organisasi semacam ASEAN, Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan PBB nyaris belum memberikan langkah tegas menyikapi pelanggaran HAM berat oleh junta militer Myanmar. Pembantaian Muslim Rohingya di Myanmar telah terjadi sejak Juni lalu sehingga mengakibatkan ratuan ribu Muslim Rohingya mengungsi meninggalkan tanah airnya di Rakhine.

Muslim Rohingya sebagai minoritas di negara mayoritas beragama Buddha itu tidak dianggap sebagai warga negara sehingga pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Thein Sein, menyuruh agar Muslim Rohingya mencari negara ketiga untuk menjadi tempat tinggal. Suatu kenyataan yang mempertegas upaya terjadinya genosida di bumi Myanmar atas saudara Muslim Rohingya.

Secara khusus, Indonesia sebagai anggota OKI harus mendesak PBB untuk memberi sanksi tegas terhadap pemimpin Myanmar dengan mengajukan ke International Criminal Court (ICC) atas tuduhan upaya genosida secara sistematis terhadap Muslim Rohingya. Tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya di Myanmar jelas harus menjadi amanat penderitaan Muslim internasional bersamaan dengan nilai spiritual puasa Ramadhan.

Puasa sebagai ritual yang semula untuk ikut merasakan penderitaan kaum miskin yang tak mampu makan layak di setiap harinya, harus ditransformasi sebagai spirit kemanusiaan atas nama ketidakadilan yang merampas hak-hak kemanusiaan. Oleh karena itu, puasa merupakan bagian dari implementasi penerimaan atas Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dokumen internasional yang menjadi standar pencapaian hak asasi yang berlaku untuk semua rakyat dan semua negara di dunia agar tidak ada penindasan dengan dalih apa pun.

Pada dasarnya, belum jelasnya tindakantindakan responsif dari dunia internasional mencerminkan pembelaan nilai-nilai humanisme dalam membela rakyat dan sebagai ruh perjuangan bersama masyarakat dunia berjalan tidak berimbang. Betapa masyarakat internasional sudah terlalu sering dijanjikan oleh PBB dalam penyelesaian kasus-kasus HAM yang selalu menyandera.

Myanmar harus diingatkan akan komitmennya terhadap demokrasi, bahkan Pemerintah Indonesia rasanya harus mengajari tentang bagaimana demokrasi berbangsa dan bernegara. Demokrasi bu kan hanya secara prosedural dengan membolehkan oposisi Aung San Suu Kyi untuk bisa mengikuti pemilu, melainkan yang terpenting adalah substansi demokrasi itu sendiri yang terkait erat dengan HAM, baik hak pribadi, hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun hak humaniter dalam statusnya sebagai warga negara.

Capaian substansi demokrasi dengan menerima Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar, jelas akan dicatat sebagai capaian besar dalam proses demokratisasi negara tersebut dan akan menjadi pijakan sangat penting dalam mengelola pluralitas masyarakat Myanmar. Namun, jika pembantaian terus berlangsung dan terjadi pengingkaran keberadaan warga minoritas, Pemerintah Myanmar dan juga Aung San Suu Kyi sebagai simbol demokratisasi Myanmar, sama halnya berjalan di tempat dalam penegakan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.

Sebagaimana Sandra Fredman, usaha-usaha untuk melegitimasi dominasi dalam konteks sosial hanya akan membuahkan subordinasi oleh satu kelompok sosial terhadap kelompok sosial yang lain berupa rasisme. Hak-hak individu jelas akan selalu berkaitan dengan hak-hak kelompoknya.

Jika hak-hak kelompok itu tidak terpenuhi atau terampas oleh dominansi kekuasaan lain, niscaya hak-hak individual anggota kelompok juga ikut terampas. Inilah babak yang mengkhawatirkan ketika tidak adanya penghargaan kaum minoritas Muslim Rohingya yang justru diinisiasi oleh pemegang kekuasaan Pemerintah Myanmar.

Diperlakukan Sama

Oleh karena itu, setiap warga negara dalam kedudukannya di hadapan hukum politik dan 
hukum internasional harus diperlakukan secara sama, sebagaimana puasa Ramadhan yang melatih untuk sama-sama merasakan penderitaan kelompok minoritas yang termarginalkan. Persoalan memperlakukan pluralitas dan kemajemukan masyarakat serta merumuskan program integrasi sosial telah mampu dilakukan Pemerintah Indonesia.

Dengan demikian, Pemerintah Indonesia harus mampu menjadi teladan berdemokrasi dan guru memperlakukan per bedaan-perbedaan antara mayoritas dan minoritas tanpa harus melalui konflik berkepanjangan. Tragedi kemanusiaan terhadap Muslim Rohingya mesti menjadi semangat bagi seluruh kalangan masyarakat internasional membangun solidaritas untuk selalu mendesak tidak adanya penindasan terhadap kelompok minoritas. 
Dan, Indonesia harus berani memainkan peran diplomasi kemanusiaan di garda terdepan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar