Jumat, 27 Juli 2012

Ironi Strategi Pangan Nasional


Ironi Strategi Pangan Nasional
Effnu Subiyanto ; Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
MEDIA INDONESIA, 26 Juli 2012

PERAJIN tahu dan tempe kembali bergolak karena harga kedelai melonjak tinggi sampai dengan Rp7.400-Rp8.000 per kg, atau kenaikan sampai dengan 36,4% dari harga sebelumnya. Produksi kedelai secara nasional per tahun hanya 900 ribu ton sementara jumlah permintaan mencapai 3 juta ton. Para perajin tahu dan tempe itu merencanakan mogok berproduksi sampai kenaikan harga bahan pertanian itu dapat dikendalikan pemerintah.

Sebetulnya tidak hanya komoditas kedelai yang tidak menjadi tanda bahaya bagi pemerintah. Nasib komoditas strategis produk pertanian lainnya, yakni beras dan jagung, bahkan juga merana. Secara keseluruhan strategi pangan nasional memang amburadul. Dampaknya kini semua komoditas pangan naik sekitar 30%-50% bertepatan dengan momentum Ramadan dan sebentar lagi Lebaran 2012.

Dari sisi pemerintah, fakta konkret ketidakberpihakan pemerintah kepada petani diwujudkan dalam bentuk UU Penanaman Modal No 25/2007 dan UU Minerba No 4/2009. Diktumnya jelas bertentangan dengan ketentuan dalam UUPA No 5/1960, yakni dalam durasi yang mengatur lama waktu diizinkan menggunakan tanah dan luasan tanah.
Pasal 22 dalam UUPM menyebutkan pemerintah mengakomodasi investasi dengan memberikan fasilitas HGU, HGB, dan hak pakai masingmasing sampai 95 tahun, 80 tahun, dan 70 tahun dan dapat diperpanjang. Padahal Pasal 29 UUPA hanya membolehkan maksimal 25 tahun untuk HGU, 30 tahun HGB (Pasal 35), dan dalam waktu terbatas untuk hak pakai (Pasal 41).

Luasan untuk investasi juga diterabas seperti dalam UU Minerba, investor dimanjakan dengan pemberian fasilitas lahan dalam satuan terkecil 5.000 hektare sampai dengan 100 ribu hektare. Baik ketika masih eksplorasi apalagi saat sudah berproduksi, baik di bidang penambangan batu bara dan bukan batu bara. Jika dibandingkan dengan luasan tanah dalam UUPA yang bisa dikelola maksimal hanya 25 hektare, jelas itu pelanggaran undang-undang.

Kondisi sektor infrastruktur yang mendukung ikon sebagai negara agraris sangat luar biasa buruk. Irigasi tidak mendukung, penelitian benih, pupuk, bimbingan petani saat masa tumbuh tanaman, pengendalian hama, kontingensi seperti musim kekeringan, pascapanen, sampai dengan pemasaran dilakukan swakelola oleh petani sendiri. 
Tanggung jawab petani kita luar biasa berat karena harus mencukupi k kebutuhan pangan seluruh penduduk yang berjumlah 240 juta jiwa ini.

Dukungan APBN-P pada tahun ini untuk sektor pertanian hanya Rp14,213 triliun, atau justru turun dari pagu anggaran tahun lalu sebesar Rp16,7 triliun. Anggaran itu ditujukan untuk subsidi pupuk Rp14 tri liun, subsidi benih Rp129 miliar, dan subsidi padi hibrida Rp84 miliar. Kendati dana dikoreksi habis-habisan, kaum petani itu dipaksa untuk memproduksi beras 41 juta ton atau setara dengan gabah kering giling 74,1 juta ton. Jumlah itu meningkat drastis jika dibandingkan dengan kebutuhan beras tahun lalu sebesar minimal 33 juta ton. Dengan harga beras yang beras yang kini paling murah Rp8.000 per kilogram, multiplier effect anggaran petani Rp14,213 triliun ternyata mampu membuat nilai tambah hingga Rp328 triliun lebih (2.308%!).

Padahal luas lahan perta nian setiap tahun hilang minimal 100 ribu hektare karena berubah peruntukan, misalnya untuk perumahan dan industri. Laporan terbaru BPS luas lahan yang hilang itu kini 110 ribu hektare per tahun, padahal pemerintah (Kementan) hanya mampu membuat lahan baru 50 ribu hektare per tahun.

Total luas lahan pertanian Indonesia sekarang 19,5 juta hektare yang digunakan untuk memproduksi enam produk pertanian, yaitu padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi kayu. Lahan untuk padi sendiri kurang lebih 12,8 juta hektare, arti nya kemampuan panen nya kemampuan panen padi petani Indonesia sungguh perlu dibantu karena rata-rata hanya mampu panen padi kurang dari 3 ton per hektare. Petani padi Thailand, misalnya, sudah mampu berproduksi 12 ton per hektare dan minimal mampu tiga kali panen dalam setahun.

Di samping lemah dalam dukungan rekayasa bioteknologi, jumlah petani kita juga mengecil sepanjang tahun. Pada 2009 jumlah petani diperkirakan 46,7 juta orang, kini tentu mengecil karena 1,8 juta orang sudah beralih profesi menjadi TKI atau TKW.

Redefinisi

Urgensi untuk segera merevitalisasi sektor pertanian sebetulnya sudah sangat terlambat dilakukan. Mitigasi itu seharusnya sudah dilakukan lima tahun silam. Namun, entah kenapa pemerintah selalu terlambat mengantisipasinya.

Jumlah penduduk sudah melejit 237 juta jiwa (BPS: 2010) sekarang mungkin sudah 240 juta jiwa dan potensial akan menjadi masalah sosial karena krisis pangan.
Bukan zamannya petani maju sendiri berkompetisi global melawan produk pertanian impor dengan pengetahuan ala kadarnya, bahkan tanpa proteksi pemerintah. Kemajuan rekayasa bioteknologi pertanian harus diimbangi strategi yang sama. Revitalisasi itu kini bukan dalam konsep tradisional lagi.

Luas negara Thailand hanya seperempat luas negara Indonesia, tetapi kemampuan mereka dalam surplus produksi pertanian tidak terlepas dari perlindungan dan bimbingan revitalisasi pemerintah mereka. Lahan pertanian dikembangkan pemerintah dan malah lebih besar daripada Indonesia, kini total lahan pertanian mereka 20,4 juta hektare. Infrastruktur irigasi dikembangkan dalam skala besar sejak 2001 dan tanaman dengan varietas unggul sudah ditemukan.

Dukungan anggaran sangat serius diberikan pemerintah Thailand. Tahun ini dari total APBN 2,07 triliun baht, 10% dialokasikan untuk Departemen Pertanian (Suphannachart: 2010). Bandingkan dengan dukungan APBN-P kita yang hanya 1,01% kepada Kementerian Pertanian.

Potensi krisis pangan sudah saatnya diakomodasikan dalam strategi anggaran dan pemerintah harus serius meng alokasikan waktu dan tenaga untuk khusus menangani persoalan itu. Diperkirakan, 25 tahun ke depan akan terjadi krisis pangan dan itu tidak bisa dipikirkan setengah-setengah atau ala kadarnya.

Negeri Indonesia sudah terlalu banyak kehilangan identitas, bahkan predikat sebagai negara agraris tanpa disadari sudah lama hilang. Generasi muda tidak lagi sudi menjadi petani, sekolah pertanian tidak diminati, sarjana pertanian tidak eksis, bekerja di sawah apalagi. Lebih baik menghirup udara tercemar di perkotaan dengan menjadi TKI atau TKW daripada berkulit legam karena mencangkul di sawah dan ladang.

Itulah akibatnya jika pemerintah tidak memberi perhatian kepada petani, lupa bahwa beras yang dimakan setiap hari ialah hasil keringat mereka. Situasi itu sungguh sangat menyedihkan karena faktanya negeri ini dipimpin seorang doktor di bidang pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar