Sabtu, 28 Juli 2012

Kedelai dan Keledai


Kedelai dan Keledai
M Bashori Muchsin ; Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
MEDIA INDONESIA, 28 Juli 2012

DALAM Editorial Media Indonesia (27 Juli 2012) berjudul Ironi Negeri Tempe disebutkan, tempe dan tahu yang selama ini dipandang sebelah mata kini menunjukkan eksistensi. Keduanya memicu silang pendapat, memantik polemik panas terkait dengan ketidakberdayaan pemerintah mengelola kebutuhan rakyat. Kelangkaan tempe dan tahu terjadi karena ketidakberdayaan negeri ini melepas ketergantungan impor kedelai. Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, stok kedelai masih bergantung pada negara lain.

Untuk urusan kedelai saja, kita tak punya kedaulatan. Kita takluk pada serbuan kedelai dari mancanegara karena produksi dalam negeri tak bisa lagi diandalkan.
Produksi kedelai pada 2012 bahkan diperkirakan turun drastis ketimbang 2010 dari 907.300 ton menjadi 779.800 ton. Jumlah sebanyak itu terlampau sedikit untuk mencukupi kebutuhan 2,2 juta ton per tahun.

Kondisi mengenaskan yang terdeskripsi tersebut mengingatkan penulis tentang mencuatnya istilah atau gelar keledai (bukan kedelai) pada beberapa bulan lalu, yang dikaitkan dengan mental pemimpin bangsa ini. Kompilasi dan akumulasi sengkarut bangsa selama ini dinilai sebagai gambaran dari banyaknya sosok pemimpin bangsa atau pilar-pilar negara yang bermental keledai.

Kasus kelangkaan kedelai atau tidak terbuktinya kedaulatan pangan di negara ini merupakan kasus riil yang membenarkan stigma mental keledai yang pernah distigmatisasikan pada elemen strategis (pemimpin) bangsa ini bukan isapan jempol. 

Stigmatisasi pemimpin bermental keledai memang menyakitkan, tapi bukti ‘terjajahnya’ rakyat hanya gara-gara soal krisis kedelai, membuat siapa pun yang mendapatkan amanat jadi pemimpin bangsa, dalam hal ini lembaga-lembaga strategis yang mengatur soal pangan, tak bisa mengelak dari stigmatisasi pemimpin bermental keledai.

Rakyat negeri ini sedang dihadapkan pada realitas paradoks. Bukannya elite (pemimpin) kekuasaan yang suka membela atau memperjuangkan rakyat yang berhasil dibaca dan dijumpai, melainkan sebatas sekumpulan petualang yang sibuk berburu keuntungan pribadi keluarga, kroni, dan partai mereka.

Mereka itu layak disebut sebagai kumpulan para pemimpin petualang yang bukannya sibuk mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat, melainkan sebatas menyibukkan diri dalam keserakahan dan pengultusan uang. Mereka lebih memilih menjadi keledai daripada melakukan langkah konkret untuk membangun ketahanan pangan seperti menguatkan ‘kudakuda’ kemaslahatan empiri rakyat dalam jangka pendek dan panjang.

Kondisi ironis dan fatalistis dianggap pemimpin bermental kedelai sebagai ‘takdir’ yang menimpa rakyat atau bangsa. Sikap itu menjadi penyakit yang justru mereka agungkan. Tak sedikit di negeri ini ditemukan sejumlah elemen fundamental kekuasaan yang secara yuridis-politik telah didaulat rakyat untuk menegakkan dan menjaga kesucian amanat, yang ternyata justru sibuk merajut atau memproduksi konspirasi kriminalisasi, berlomba korupsi, atau tunduk takluk diperbudak gaya `masokhisme', yang mengakibatkan tak memberdaya dan berdaulatnya kebutuhan elementer rakyat.

Mereka selalu berjanji akan memberikan kedamaian dan kebahagiaan, serta kesejahteraan lahir dan batin pada rakyat, tetapi setelah janji itu diucapkan, mereka gampang sekali melupakannya, gampang mempermain kannya, dan mudah mengeliminasinya. Mereka hanya senang menyakiti sesama atau rakyat dan bukannya senang menghadirkan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ada di pos mana pun, yang dicari ialah keuntungan dalam jumlah besar, target yang bisa memuaskan, atau kepentingan yang bercorak hedonisme dan materialisme individualistis dan strukturalistisnya..

Model ‘masokhisme’ itu sebenarnya merupakan istilah psikologi yang bermakna hilangnya rasa malu dan tumbuhnya sikap sakit hati untuk mencabik-cabik martabat bangsa. Di tangan masokhis, nasib rakyat, jati diri bangsa, atau masa depan negeri ini dipertaruhkan karena diri sang masokhis itu mencerminkan sosok manusia yang terkontaminasi dan komitmen kebangsaan dan kerakyatannya tergusur.

Komitmen kebangsaan dan kerakyatan itu hancurnya karena dikalahkan komitmen diri, keluarga, kroni, dan partai atau neokolaboratismenya yang lebih dimenangkan dan diberhalakan. Pemenangan target itu membuat kemaslahatan yang berskala universal dan beridealisme mendukung kemaslahatan rakyat se cara makro dimarginal isasikan, dieliminasikan, atau dimatikannya.

Menurut Komaruddin Hidayat dalam buku Tragedi Raja Midas (1998), masokhisme moral seperti ini muncul disebabkan antara lain oleh rasa putus asa dan tidak percaya lagi bahwa pemerin tah secara sungguh sungguh mau memberantas korupsi hingga tuntas. Jika berlangsung lama, suasana kejiwaan itu pada gilirannya akan menggumpal dan menjadi pendorong bagi masyarakat umum untuk ikut-ikutan melakukan korupsi, merusak etika sosial, dan tidak lagi menaruh rasa hormat kepada penegak hukum.

Dalam konteks kehidupan bernegara, sesungguhnya pemerintah yang menjadi pemegang amanat rakyat. Namun, yang mengukur kesungguhan dan keberhasilan dalam memikul amanat rakyat tersebut ialah rakyat sendiri. Jika rakyat merasa hidup mereka tidak aman atau semakin menjauh dari atmosfer menyejahterakan seperti kian sulit memenuhi kebutuhan dasarnya, semua itu menunjukkan krisis amanat atau mengidap krisis kesalehan dan kesahihan kekuasaannya.

Sekali orang sudah menaruh kepercayaan yang tinggi, pengorbanan apa pun yang diminta pasti akan diberikan. Secara psikologis, di sinilah terletak salah satu rahasia mengapa orang yang fanatik beragama mau berkorban untuk paham dan pimpinan yang mereka percayai karena yakin bahwa apa yang dilakukan memiliki kepastian akan keamanan dan keselamatan eskatologis.

Kalau ada fenomena elemen rakyat tak lagi menunjukkan kredibilitas pada pilar kekuasaan, apalagi sampai sering menunjukkan opsi main hakim sendiri (eigenrichting is verbooden), atau tereduksi sifat praduga tak bersalah yang antara lain diagregasikan dengan cara menjatuhkan ‘vonis’ radikalisme, ekstremisme, dan berbagai jenis kekerasan lainnya, itu mengindikasikan kredibilitas elite pemimpin sedang tercemar atau bahkan hancur di mata rakyat.

Kata filsuf kenamaan Plato, para penguasa diamanatkan Tuhan pertama-tama dan terutama agar mereka menjadi penjaga yang baik sebaik seperti terhadap anak mereka sendiri. Pendapat Plato itu mengingatkan kekuasaan di bumi ini merupakan amanah Tuhan yang wajib dijaga (diwujudkan) dan ditegakkan. Tak boleh terjadi ada penyimpangan dan kesewenang-wenangan atau pengabaian karena ini identik dengan ‘memakan’ amanat-Nya. Mental keledai dalam memimpin bangsa pun mencerminkan kelemahan menegakkan amanat-Nya.

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW didatangi seorang laki-laki. Sambil berdiri di muka beliau, lelaki itu bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah agama itu?“ Beliau menjawab, “Agama adalah akhlak yang baik.“ Laki-laki itu bergerak menghadap beliau dari arah kanan dan bertanya, “Ya, Rasulullah, apa yang disebut agama itu?“ Beliau menjawab, “Agama itu adalah akhlak yang baik.“ Karena rupanya masih belum puas, laki-laki itu bertanya lagi dari sebelah kiri dengan pertanyaan yang sama, “Apakah agama itu, ya, Rasulullah?“ 

Beliau menjawab, “Agama adalah akhlak yang baik.“ Kemudian laki-laki itu beralih ke belakang beliau dan untuk kesekian kalinya bertanya lagi, “Ya, Rasulullah, apakah agama itu?“ Beliau lantas menoleh kepada laki-laki itu dan bersabda, “Apakah engkau belum mengerti? Agama adalah engkau tidak boleh marah.“

Sabda beliau menunjukkan hubungan agama dan akhlak. Pemimpin beragama haruslah berakhlak kerakyatan yang baik. Akhlak adiluhung itu merupakan kunci utama yang menentukan apakah sang pemimpin masih pantas menyandang predikat negarawan ataukah jadi masokhis.

Penguasa beridentitas agama tak pantas menyandang legasi beragama kalau apa yang ia perbuat di ranah politik kenegaraan atau wilayah strukturalistis tidak dalam bingkai akuntabilitas moral. Penguasa yang banyak berbuat bijak dan memberikan yang terbaik kepada rakyat, seperti atmosfer kedamaian, kesejahteraan, dan bukan krisis dan penderitaan, layak distigmatisasikan sebagai penguasa bermental populis, dan bukan penguasa berkacamata keledai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar