Minggu, 29 Juli 2012

Ramadan, Bulan Refleksi Bersama


Ramadan, Bulan Refleksi Bersama
Benni Susetyo ; Rohaniwan
SINDO, 28 Juli 2012

Ramadan merupakan kesempatan bagi umat Katolik untuk belajar dari umat Islam terkait ketaatan mereka kepada Tuhan. Sebulan penuh umat Islam berpuasa dan memperbanyak doa serta tobat.

Menurut Msgr Khaled Akasheh,pejabat Vatikan yang menangani bidang dialog dengan Islam (sebuah kantor yang didirikan Paus Paulus VI pada 1964 selama Konsili Vatikan II), Ramadan merupakan momentum untuk meneladani kebaikan agama lain. Seperti dikutip Catholic News Service, Msgr Khaled Akasheh mengatakan bahwa Gereja menerima semua yang benar dan indah dalam semua agama. Hal itu juga akan menguatkan iman umat Katolik sendiri.

Selain itu dari momentum Ramadan dialog umat beragama menjadi tantangan tersendiri khususnya dalam berkomunikasi dengan agama lain. Dialog antaragama pada prinsipnya tidak akan membuat orang lain menganut agama tertentu, dan dialog tidak berarti bahwa seorang pemeluk tidak setia pada iman dan misinya. Justru melalui dialog itulah seseorang akan memahami apa yang dia imani. Dengan dialog kita bisa memahami keyakinan iman saudara kita.

Dengan pemahaman yang benar kita akan menaruh rasa hormat serta menghormati keyakinan yang berbeda. Hal ini jelas dikatakan dalam dokumen Nostra Aetate bahwa Gereja menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia.

Refleksi Bersama 

Bulan suci Ramadan menjadi refleksi bersama anak bangsa untuk saling mempererat tali persaudaraan sesama anak bangsa. Dalam bulan suci kita belajar hidup berbagi satu dengan lain. Belajar memahami arti kebersamaan dan pluralitas sebagai suatu keniscayaan. Setiap umat meyakini bahwa Tuhan selalu hadir di segala kehidupan ini. Refleksi bersama dapat diarahkan agar semua umat beragama di negeri ini berhasil menata keadaban jiwa kemanusiaan agar mampu mengaktualisasikan nilai persaudaraan.

Nilai persaudaraan akan aktual dalam kehidupan sehari-hari ketika kita berhasil meninggalkan “keakuan” dan menuju hidup bersama dalam “kekitaan”. Umat beragama bersama-sama menghadapi masalah kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan korupsi. Semua itu menjadi tanggung jawab semua. Bukan lagi urusan sebuah agama melainkan kita diajak untuk menata keadaban publik yang bisa memberikan optimisme di tengah suramnya masa depan bangsa.

Kita membutuhkan sebuah lompatan pemikiran yang tidak hanya bersikap reaktif serta hanya mementingkan kelompok tertentu. Dalam hal ini dibutuhkan keseriusan semua elite politik untuk duduk bersama dalam menyikapi berbagai fenomena kekerasan yang potensial mengancam kehidupan bersama sebagai bangsa. Spirit Ramadan bisa menjadi titik awal bagi pertobatan nasional dalam rangka menata keadaban publik bangsa ini.

Umat beragama diharapkan bisa menggerakkan segala potensi yang ada agar fungsi silang negara, pasar, dan warga berjalan satu sama lain dan saling mengawasi. Dinamika inilah yang semestinya menjadi momentum pertobatan kita sebagai bangsa untuk mengubah kultur bangsa ini yang kerap dihinggapi sikap hipokrit dan feodal. Bangsa yang sulit bertanggung jawab atas perbuatan negatif dan berjiwa feodal. Orientasi hidup ini adalah untuk berbagi atas sesama dengan cinta dan kasih sayang.

Hidup tanpa cinta akan berbuah kejahatan. Hal yang terakhir ini semakin berkuasa ketika dunia modern sering meletakkan manusia dalam perspektif material belaka, tanpa dilandasi humanitas dan kasih sayang. Selama ini, manusia sering diperlakukan di luar batas-batas kemanusiaannya. Terlalu banyak pelanggaran kemanusiaan hanya untuk kepentingan material. Terlalu banyak contoh perilaku kehidupan yang mengabaikan manusia lengkap dengan jiwanya.

Pandangan manusia terlalu simpel dan simplifikatif. Manusia dilihat dengan kacamata kuda.Pihak yang menguntungkan ditonjolkan dan pihak yang tak berguna di-abaikan. Saat kejahatan menguasai, mata hati kemanu-siaan terlindas naluri mencari kepuasan dan kekuasaan semata. Kejahatan akan membuat manusia lumpuh mata hati karena ajaran dan ajakan yang menempatkan materi sebagai satusatunya pemecah masalah.

Realitas penderitan yang kini dialami masyarakat negeri ini sering menimbulkan pertanyaan, apakah memang ini sebagai bagian nasib dan takdir yang tak terelakkan? Maka saat kejahatan hampir menguasai dunia, diperlukan fajar baru kebaikan untuk mengimbangi dan mengubah agar kebejatan menjadi kebaikan.

Menegakkan Kemanusiaan

Puasa adalah momentum tepat untuk merefleksikan fajar kemanusiaan yang diperbarui. Pembaruan jiwa yang merdeka dari hal bersifat indrawi. Puasa adalah momentum tepat yang membuat kita mampu mengendalikan diri dari nafsu yang kerap menggoda. Puasa diharapkan bisa membangkitkan kembali nilai kemanusiaan yang makin terpinggirkan. Nilai kemanusiaan yang makin kehilangan maknanya sebagai basis perilaku manusia.

Kita menghadapi masalah serius saat nilai kemanusiaan tidak lagi dijadikan acuan bertindak, dan lebih ironis karena selain itu, kemanusiaan mulai dihancurkan. Rakyat kembali dalam duka dan kecemasan masa depannya. Elite politik dan parlemen terlalu sering berkhianat dan berselingkuh atas nama ”politik kesejahteraan”. Hari-hari rakyat dipermainkan oleh perilaku penguasa yang seolah berbicara atas nama ”rakyat”.

Politik tidak menjadi alat untuk membantu rakyat kecil mengatasi masalah hidupnya. Politik sekadar menjadi alat pencari ”makanan” untuk perut politisinya sendiri, dan masih jauh dari cita-cita kesejahteraan bersama. Cita-cita luhur politik tersalib dalam nilai-nilai kebendaan politisinya belaka. Politik menjadi berhala baru karena ia disetir kekuatan kapital. Momentum Ramadan ini menjadi saat tepat untuk merenda habitus baru dalam membangun dialog perdamaian dan kemanusiaan demi tercapainya sebuah tata kebangsaan yang adil.

Tata kebangsaan saat ini yang berorientasi untuk membebaskan Indonesia dari kebodohan dan kemiskinan. Tata kebangsaan yang mampu memekarkan nilai-nilai solidaritas, kebersamaan, keadilan dan penegakan moralitas.

Persaudaraan di antara dua agama besar ini amat dibutuhkan untuk memberikan alternatif bagi peradaban bangsa yang saat ini lagi dilanda kerusakan moral. Ketika dunia ini tidak lagi menghargai kehidupan, yang sering dirusak oleh nafsu keserakahan. Selamat berpuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar