Selasa, 31 Juli 2012

Republik Undur-undur


Republik Undur-undur
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 31 Juli 2012


Presiden juga manusia sehingga bisa jengkel dan oleh sebab itu ia berhak mengungkapkan kegusarannya. Namun, Presiden SBY adalah pemimpin serta mempunyai modal elektabilitas yang tinggi dalam pemilihan presiden. Oleh karena itu, ia mempunyai modal yang sangat besar untuk menjalankan pemerintahan yang efektif. 

Sayangnya, ia dikesankan lebih sering menyampaikan keluhan dan keprihatinan yang terkadang disertai pernyataan yang keras. Terakhir, ia kecewa terhadap kinerja para menteri yang dianggap lebih mementingkan partai daripada kepentingan umum.

Keluhan yang sama pernah disampaikan kepada kader Partai Demokrat supaya mundur kalau tidak dapat memegang teguh etika partai bersih, cerdas, dan santun. Namun, respons mereka senada. Hampir bersamaan, mereka menyatakan dapat mengerti, memahami, membenarkan, bahkan memuji peringatan keras Presiden. Namun, mereka tidak mundur. Mereka diperkirakan makin maju karena sama sekali merasa tidak bersalah.

Secara retorik, mereka akan melaksanakan semua tugas dari Presiden, terkecuali mundur dari kabinet atau sebagai kader Partai Demokrat. Mereka akan terus maju karena menganggap enteng peringatan Presiden. Mereka yakin, Presiden tidak akan mengambil tindakan drastis atau sangat hati-hati mengambil putusan. Mereka barangkali sudah hafal tabiat Presiden.

Respons mereka akan berbeda kalau Presiden memberikan contoh, misalnya ia mundur dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Tindakan itu akan memberikan isyarat dan kekuatan moral bagi Presiden untuk mendesak para pembantunya yang tidak berkinerja baik atau yang lebih mementingkan partai daripada kepentingan rakyat. Sebab, betapapun kerasnya peringatan, tetapi bila tidak disertai keteladanan, bagaikan menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri.

Mungkin jalan pikiran Presiden, dengan melontarkan pernyataan seperti itu, ia mengharapkan dukungan publik. Dukungan yang diperlukan sekiranya kebijakan Presiden mendapatkan perlawanan dari partai politik yang menjadi sohibnya, Sekretariat Gabungan. Ekspektasi dan logika Presiden mungkin karena ia memahami benar bahwa melalui praktik politik selama ini, dukungan tiga perempat kekuatan politik yang menjadi mitra koalisinya di parlemen sangat rawan terhadap kepentingan politik kekuasaan.

Menghadapi hak angket DPR dalam kasus Bank Century merupakan pengalaman pahit dan traumatis. Ia, melalui pembantu terdekat dan kepercayaannya, dihajar oleh sohib politiknya, bahkan dari partai yang ketua umumnya menjadi menteri. Dinamika politik yang sangat panas menempatkan posisi Presiden saat itu di pinggir skenario pemakzulan. Namun, intimidasi politik tak hanya dalam kasus Bank Century.

Ternyata, jalan pikiran dan ekspektasi Presiden berseberangan dengan logika publik. Masyarakat berpikir sebaliknya karena mereka sudah memberikan mandat dan kewenangan kepadanya melalui pemilihan presiden sehingga SBY memperoleh kemenangan signifikan. Karena itu, masyarakat mengharapkan Presiden dapat secara efektif menangani berbagai persoalan negara, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Presiden menjadi tumpuan harapan agar ia dapat menyusun pemerintahan efektif dan melaksanakan agenda urgensi, membebaskan rakyat dari kesulitan hidup yang makin menjerat leher.

Namun, ekspektasi publik tidak terpenuhi. Akibatnya, yang muncul justru sikap kritis karena tingkat frustrasi kolektif publik makin meningkat. Bahkan, kekecewaan itu makin dalam sehingga masyarakat apatis. Rasa frustrasi masyarakat juga mudah memicu anarki sosial. Rakyat bahkan mempertanyakan akan dibawa ke mana negara ini.

Alih-alih Presiden mendapat simpati publik, sebagian masyarakat justru menganggap pernyataan Presiden sekadar melepas tanggung jawab atau upaya mempertahankan citra. Tak sedikit kalangan yang mempunyai persepsi bahwa Presiden sengaja membuat garis pemisah antara dia dan para pembantunya. Ia membuat kesan pekerja keras, sementara itu para pembantunya dianggap lebih mengutamakan kepentingan partai daripada kepentingan umum.

Pada tingkat tertentu, disengagement (melepaskan hubungan) tersebut berhasil. Hal ini tecermin dari berbagai survei yang dilakukan berbagai pollster, antara lain harian Kompas [(Senin (23/7) dan Selasa (24/7)], yang menunjukkan tingkat kredibilitas Presiden selalu relatif stabil dalam tingkat yang cukup tinggi. Sementara itu, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah pada umumnya, DPR, dan partai politik jauh lebih rendah. Hal ini menunjukkan, ia adalah figur yang popularitasnya tak lekang oleh panasnya suhu dan badai politik.

Masyarakat semakin jenuh dengan ungkapan-ungkapan retorik dari politisi, termasuk Presiden. Pernyataan keras Presiden hanya dianggap retorika yang disepelekan para pembantu dan kader-kadernya. Maka, desakan mundur dengan ringan ditanggapi tanpa beban. Bahkan, kalau mundur pun, mereka diperkirakan akan memasang perangkap yang dapat menjebak Presiden. Karena itu, tak salah kalau negeri ini disebut ”Republik Undur-undur”, politisinya meniru perilaku sejenis serangga yang berjalan mundur untuk membuat perangkap mangsanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar