Jumat, 27 Juli 2012

Rohingya dan Suu Kyi


Rohingya dan Suu Kyi
Dion Maulana Prasetya ; Pengajar Ilmu Hubungan Internasional UMM
REPUBLIKA, 26 Juli 2012

Ramadhan mungkin men­ jadi bulan yang penuh kedamaian bagi umat Muslim di Indonesia. Kita bisa dengan aman dan nyaman menikmati santap sahur, bekerja, berbuka puasa, beribadah tarawih, sampai menyaksikan banalnya acara 'Ramadhan' di televisi tanpa ada gangguan yang berarti. Namun, kondisi yang jauh berbeda terjadi pada umat Muslim Rohingya di Myanmar, tepatnya di Provinsi Arakan. Selama enam minggu terakhir warga Muslim Myanmar menjadi korban dan target kekerasan oleh kaum mayoritas, seperti yang disampaikan oleh Amnesti Internasional.

Berdasarkan perkiraan PBB, 800 ribu Muslim Rohingya tinggal di Myanmar saat ini. Sisi yang mengenaskan adalah ribuan dari mereka berusaha melarikan diri dari Myanmar tiap tahunnya untuk menghindari aksi kekerasan. Akan tetapi, pilihan untuk melarikan diri juga bukanlah solusi yang final dan terbaik.

Di negara tujuan, seperti Bangladesh mereka yang telah selamat 'menyeberang' pada akhirnya harus dideportasi kembali ke Myanmar. Mungkin hal yang sama akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada pengungsi Rohingya yang tertangkap di Bogor pada Kamis (19/07).

Stateless People

Penderitaan warga Rohingya itu ber­sumber pada status mereka yang tidak jelas Pemerintah Myanmar menganggap umat Muslim Rohingya bukanlah warga negara Myanmar. Pemerintah menganggap mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh. Di sisi lain, Pemerintah Bangladesh juga menolak mengakui mereka sebagai warga negara. Bahkan, baru-baru ini Pemerintah Bangladesh memperketat perbatasan untuk mencegah eksodus besar-besaran etnis Rohingya dari Myanmar.

Penolakan mengenai status kewargane­ garaan dapat ditarik jauh ketika Myanmar (kala itu bernama Burma) masih dikuasai oleh Inggris. Waktu itu Pemerintah Inggris mendorong warga Bengali bermigrasi ke daerah subur Arakan (saat ini wilayah Myanmar) untuk bertani. Tidak ada batas negara antara Myanmar dan Bangladesh kala itu, sehingga penduduk Arakan bisa bebas berpindah ke Bengal, begitu pula sebaliknya. Fenomena inilah yang menjadi sumber penderitaan umat Muslim Rohingya, ketika saat ini dua negara bangsa lahir di antara wilayah Arakan dan Bengal.

Penderitaan umat Muslim Rohingya bisa jadi berlipat ganda, karena minimnya perhatian, baik dari dalam negeri maupun lingkungan internasional. Dari dalam negeri, selain tidak mendapat pengakuan dari pemerintah, kekerasan yang menimpa Muslim Rohingya juga tidak mendapat perhatian dari ikon demokrasi Aung San Suu Kyi. Sampai saat ini, perempuan yang telah memperoleh kursi pertamanya di parlemen itu belum mengeluarkan statemen berkaitan dengan tragedi di Arakan.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh President of the Burmese Rohingya Organization UK (BROUK), sebanyak 650 etnis Rohingya meregang nyawa, 1.200 hilang, dan lebih dari 80 ribu kehilangan tempat tinggal semenjak kerusuhan terjadi. Pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana bisa seorang ikon demokrasi yang juga peraih Nobel Perdamaian tahun 1991, tidak memberikan perhatian khusus terhadap tragedi semacam ini?

Dilema Suu Kyi

Setidaknya ada satu jawaban yang cukup beralasan untuk menjawab pertanyaan di atas. Saat ini, ketika hak-hak politik mulai diperoleh, dilema akan dengan mudah menyerang Suu Kyi. Jika Suu Kyi memberikan perhatian khusus kepada umat Muslim Rohingya, ia akan kehilangan simpati dari mayoritas umat Buddha. Hal itu berarti usahanya meraih tampuk kekuasaan akan semakin berat. Sebaliknya, jika ia mengabaikan tragedi ini, image Suu Kyi sebagai pembela demokrasi dan kemanusiaan akan dipertanyakan oleh dunia internasional.

Dilema ini tentunya menjadi ujian terbesar bagi objektivitas Suu Kyi dalam memandang kebebasan dan kemanusiaan. Jika Suu Kyi memang memilih untuk mengabaikan Muslim Rohingya maka bisa dipastikan bahwa nilai-nilai kebebasan dan kemanusiaan yang dianutnya adalah kebebasan untuk kekuasaan. Suu Kyi tidak akan mau mempertaruhkan posisinya yang semakin dekat dengan kekuasaan hanya dengan memberikan perhatian khusus pada etnis Rohingya.

Nilai-nilai kebebasan dan kemanusiaan semacam itu tidak berbeda dengan nilai-nilai yang dianut oleh Amerika Serikat (AS). Mereka akan lantang meneriakkan kebebasan dan kemanusiaan jika itu selaras dengan kepentingannya, dan pura-pura tidak melihat ketika tidak memberikan keuntungan material baginya.

Standar ganda AS itu terlihat jelas pada kasus Irak dan yang terbaru Suriah. AS dan juga sekutunya gencar sekali menyuarakan kebebasan dan demokratisasi untuk Suriah. Rezim Bashar al-Assad dituduhnya melakukan pembantaian massal terhadap masyarakat sipil. Oleh sebab itu, AS dan sekutunya juga gencar mendorong DK PBB untuk melakukan intervensi militer ke Suriah.

Tidak ada jalan lain bagi Suu Kyi selain harus turun tangan untuk mengatasi permasalahan ini, atau ia akan kehilangan kepercayaan dari dunia internasional sebagai aktivis HAM. Suu Kyi harus 'berteriak' sekencang ketika ia menyuarakan demokratisasi untuk Myanmar. Ia harus membuktikan bahwa nilai-nilai kebebasan dan kemanusiaan itu bersifat universal, bukan berdasarkan standar Barat.

Selain Suu Kyi, tentunya peranan ASEAN sangatlah dibutuhkan. Meskipun sampai saat ini masih memegang prinsip nonintervensi terhadap permasalahan dalam negeri negara anggotanya, ASEAN harus mengupayakan perdamaian secepatnya di tanah Arakan. Jangan sampai permasalahan ini semakin menambah daftar ketidakefektifan ASEAN dalam menyelesaikan konflik, baik di antara negara anggota maupun yang terjadi di wilayah Asia Tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar