Senin, 30 Juli 2012

Satyagraha dan Pembangkangan Sipil

Satyagraha dan Pembangkangan Sipil
Satrio Wahono ; Pengamat Masalah Sosial dan Filsafat
SINAR HARAPAN, 28 Juli 2012


Meski kita menerapkan sejumlah praktik berdemokrasi, pada kenyataannya bangsa ini tetap mengalami kebangkrutan luar biasa di banyak lini, sehingga The Fund for Peace pada Juni 2012 memasukkan Indonesia dalam kategori negara gagal.

Haruslah diakui, empat belas tahun upaya reformasi ini ternyata belum membawa perbaikan berarti. Justru, para elite penguasa yang asyik memperkaya pundi-pundi mereka sendiri sambil sesekali bertengkar sesama mereka.

Maka itu, satu terobosan luar biasa diperlukan untuk mendobrak kejumudan perkembangan karakter bangsa ini. Pendek kata, revolusi menjadi keniscayaan.

Hanya saja, kata ‘revolusi’ tidak perlu dibayangkan sebagai ajakan melakukan aksi-aksi anarkistis demi menggerakkan perubahan ke arah lebih baik. Sudah cukup berbagai unjuk rasa, tapi diterima oleh telinga tuli para elite. Karenanya, lebih baik jika kita menempuh revolusi damai.

Preseden positif bagi revolusi damai bisa kita temukan dalam satu konsep filosofis yang punya makna praksis-politik dahsyat; yakni konsep satyagraha gagasan Mahatma Gandhi, seorang tokoh bangsa termasyhur India dan dunia.

Berbekal satyagraha inilah, Gandhi mampu menggentarkan hati pemerintah Inggris sehingga melunakkan berbagai kebijakan kolonial yang menindas — seperti pengenaan pajak garam — bahkan sampai memberikan kemerdekaan bagi India.

Mengutip I Wahana Wegig dalam Dimensi Etis Ajaran Gandhi (1997), satyagraha adalah pencarian kebenaran tanpa kenal lelah dan suatu ketetapan hati untuk mencapai kebenaran.

Jalan satu-satunya untuk mencapai tujuan ini adalah ahimsa alias laku kasih dan nonkekerasan untuk menggapai kebenaran. Artinya, Gandhi mengajar setiap manusia untuk mengabdikan seluruh hidupnya pada kebenaran semata dan berupaya menyadarkan kesalahan sesama manusia lewat kesabaran dan simpati mengingat semua manusia pada dasarnya adalah baik.

Pembangkangan Sipil

Sekilas, ajaran satyagraha ini begitu idealis, naif, dan tidak punya aspek praktis. Anggapan demikian keliru besar. Satyagraha tidak berhenti pada tataran filosofis semata, melainkan juga menganjurkan cara-cara konkret untuk menyadarkan kesalahan sesama manusia dan mengadakan perubahan berskala besar.

Pertama, konkretisasi dari satyagraha dapat mengambil bentuk pembangkangan sipil (civil disobedience).

Terilhami dari gerakan bernama sama dari buku Henry David Thoreau berjudul Civil Disobedience (1849), pembangkangan sipil ajaran Gandhi adalah perlawanan pasif bersifat rohaniah yang dengan penuh kesadaran menunjukkan ketidakpatuhan terhadap hukum dan kebijakan negara.

Sebagai contoh, masyarakat sipil bisa memboikot membayar pajak dan menolak mematuhi satu undang-undang tertentu. Tujuannya untuk menyadarkan negara dan elite penguasa bahwa hukum yang mereka buat justru merugikan rakyat.

Kedua, gerakan menolak kerja sama (non-cooperation) dan unjuk rasa damai (direct action). Bersinggungan dengan dimensi praktis pertama satyagraha berupa pembangkangan sipil, non-kooperasi adalah pilihan untuk tidak mendukung sistem yang zalim. Sementara itu, unjuk perasaan adalah tindakan langsung yang dilakukan massa secara terbuka dan spontan.

Kedua langkah praktis satyagraha itu terbukti berdampak luar biasa bagi perubahan sosial politik. Misalnya, Gandhi pernah membuat pemerintah Inggris membatalkan kebijakannya memajaki garam pada 1931.

Caranya, Gandhi dan rakyat India yang digalangnya menolak membayar pajak tersebut yang dikombinasi dengan melakukan aksi unjuk perasaan besar-besaran berupa long march ratusan kilometer. Alhasil, pemerintah Inggris gentar melihat aksi pembangkangan sipil dan unjuk rasa itu, dan mengurungkan pajak garam.

Sejumlah Syarat

Namun, tidaklah mudah mencangkokkan begitu saja ajaran Gandhi di Indonesia. Sekurangnya ada dua syarat maha berat yang harus dipenuhi kita di sini untuk membuat ajaran satyagraha mampu membekaskan dampak politis revolusioner seperti di India.

Pertama, pengamalan aspek praktis-politis satyagraha memerlukan keteladanan dari satu atau sejumlah sosok tokoh dan guru bangsa yang berintegritas. Bahkan, satu figur saja sebenarnya sudah lebih dari cukup, sebagaimana terhimpun pada diri Gandhi dalam konteks India.

Kepeloporan tokoh bangsa ini diperlukan untuk menggemakan gaung besar bagi gerakan pembangkangan sipil. Jika yang memeloporinya orang biasa-biasa saja, tentu akan berakhir konyol dan sia-sia tanpa membekaskan dampak (magnitude).

Kedua, para tokoh itu dan pengikutnya mestilah menjalankan pembangkangan sipil secara konsisten dan rela menanggung segala konsekuensi. Jadi, para pelaku pembangkangan sipil harus siap dipukuli, dipenjara, difitnah, dan lain sebagainya tanpa kemudian menyurutkan langkah penuh kasih mereka dalam menghela perubahan.

Masalahnya sekarang, punyakah kita sosok-sosok ikhlas, mengilhami lagi inspiratif seperti itu untuk melakukan pembangkangan sipil?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar