Senin, 30 Juli 2012

Tender Pupuk dan Keterbukaan Informasi

Tender Pupuk dan Keterbukaan Informasi
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (Aepi); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014); Penulis Buku Ironi Negeri Beras
KORAN TEMPO, 30 Juli 2012


Negeri ini memiliki banyak ritual tahunan. Ironisnya, ritual tahunan itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Salah satunya adalah masalah pupuk anorganik bersubsidi. Kalau tidak langka, harga pupuk bersubsidi melambung tinggi di atas harga eceran tertinggi (HET), atau diselewengkan, baik diekspor ke luar negeri maupun dialirkan ke pihak lain yang tidak berhak menerima subsidi. Kini, sepertinya ritual tahunan tersebut menular ke subsidi pupuk organik (dekomposer dan pupuk hayati). 

Seperti diberitakan sejumlah media, termasuk koran ini, dalam tender bantuan langsung pupuk (BLP) organik tahun 2012 yang tengah dilakukan Kementerian Pertanian diduga ada permainan. Bahkan, tender pupuk senilai Rp 400 miliar yang terbagi atas empat paket itu terindikasi ada korupsi. Salah satu indikasinya, tender paket C (pupuk hayati cair) untuk wilayah Jawa senilai Rp 81 miliar dimenangi PT Daya Merry Persada. PT Daya Merry Persada pernah dipakai terpidana kasus Wisma Atlet, Muhammad Nazaruddin, untuk memenangkan salah satu proyeknya di Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan. 

Benar-tidaknya ada korupsi dalam tender saat ini belum bisa dipastikan. Semua baru dugaan. Dugaan itu pula yang ramai ditulis di media. Sebagai penjaga kepentingan publik, media selalu menjadi anjing penjaga (watch dog) terhadap berbagai penyelewengan di negeri ini, termasuk korupsi. Apalagi tender subsidi pupuk organik ini menyangkut hajat hidup orang banyak: para petani padi. Dengan menjadi anjing penjaga, diharapkan panitia tender lebih berhati-hati dan transparan. Setitik pun noda memberi peluang media untuk mengendusnya. Di sisi lain, pemberitaan soal dugaan adanya korupsi itu seharusnya mendorong penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi, segera bertindak. 

Kesigapan penegak hukum ini penting. Sebab, pemberitaan itu telah memberi efek psikologis yang besar. Salah satunya, tertunda-tundanya tender subsidi pupuk. Indikasinya, penetapan pemenang tender paket A (dekomposer padat) untuk wilayah Jawa senilai Rp 250 miliar--seperti diumumkan dalam laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik Kementerian Pertanian (www.lpse.deptan.go.id, diakses pada 28 Juli 2012)--ditunda hingga 13 kali tanpa alasan yang jelas. Akankah tender pupuk tahun ini gagal?

Keterbukaan informasi merupakan kunci dalam pengadaan barang/jasa, termasuk proses tender. Dengan informasi yang terbuka, publik dan peserta tender bisa bersaing adil dan sehat. Peluang dan potensi korupsi dalam tender bisa dicegah. Keterbukaan informasi dalam tender merupakan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008. Pejabat Pembuat Komitmen wajib memberi informasi ihwal pengadaan barang/jasa yang ada dalam kewenangannya kepada publik yang memerlukan. Sebab, proses dan hasil pengadaan atau tender tidak termasuk informasi yang dikecualikan.

Menurut UU Nomor 14/2008 dan Perpres Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, publik bisa mendapatkan hasil data evaluasi. Misalnya, mengapa perusahaan A kalah dan mengapa B yang menang? Hasil tender juga wajib diumumkan di kementerian/lembaga dan papan pengumuman resmi. Bila publik atau peserta tender menilai ada kecurangan, bisa melapor ke Inspektorat Pengawas Internal Pemerintah atau ke Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Lembaga ini akan memberi rekomendasi terkait dengan keputusan atau hasil tender. LKPP tidak berwenang menjatuhkan sanksi. Di luar itu, panitia tender bisa proaktif menghadirkan KPK di setiap tahapan pengadaan barang/jasa: lelang, tender, dan pelaksanaan. Langkah-langkah di atas dipandang penting. Sebab, jika sampai tender tertunda-tunda hingga subsidi pupuk organik gagal disalurkan, ada hak yang dilanggar: hak petani untuk mendapat subsidi. 

Bagi Kementerian Pertanian, apabila penyaluran subsidi pupuk organik gagal, itu menjadi ancaman komitmen go organic. Komitmen go organic dicanangkan karena disadari bahwa kualitas tanahnya, terutama sawah, telah mengalami degradasi akut. Ini ditandai oleh respons tanaman terhadap pemupukan yang terus melandai (leveling off). Meskipun takaran pupuk diperbesar, tingkat produktivitasnya tidak sebanding dengan penambahan input pupuk. Dalam bahasa ekonomi ini dikenal dengan the law of diminishing return. Ini terjadi karena tanah sudah jenuh dan keletihan (soil fatigue), bahkan sakit (sick soil). 

Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2 persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen), dan 4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3 persen). Tanah dengan kandungan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C-organik > 3 persen, kondisi itu sudah sangat kritis (Simarmata, 2012). Untuk mendongkrak produktivitas, kesuburan lahan harus dipulihkan. 

Kondisi inilah yang, antara lain, mendorong Kementerian Pertanian menggulirkan program Pemulihan Kesuburan Lahan Sawah Berkelanjutan (PKLSB). Program ini dimulai pada 2010 dengan besaran subsidi pupuk organik Rp 300 miliar. Hasil evaluasi oleh Balai Besar Litbang Pertanian pada 2011 di delapan provinsi pada 30 titik sampel menunjukkan, terdapat perbaikan signifikan pada sifat biologis tanah. Termasuk kenaikan kandungan C-organik dan nilai tukar kation. Kenaikan itu tidak berbeda nyata dengan sebelum aplikasi. Ini bisa dipahami karena aplikasi kompos jerami dan pupuk hayati baru sekali dilakukan. Padahal, secara teoretis, kesehatan dan kesuburan tanah baru pulih setelah enam musim tanam berturut-turut (Simarmata, 2012). Karena itu, keberlanjutan program ini menjadi penting. Jangan sampai kegagalan pelaksanaan tahun 2011 terulang pada tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar