Senin, 27 Agustus 2012

Izinkan Rupiah Mengalami Relaksasi


Izinkan Rupiah Mengalami Relaksasi
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 27 Agustus 2012


Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,3 persen pada semester I-2012 ternyata tidak gratis. Setidaknya ada dua konsekuensi negatif, yakni konsekuensi fiskal dan neraca pembayaran. Konsekuensi fiskal berupa subsidi energi yang sangat besar—diperkirakan subsidi bahan bakar minyak Rp 200 triliun dan subsidi listrik Rp 100 triliun dari APBN-P 2012 sebesar Rp 1.500 triliun—menyebabkan postur anggaran pemerintah menjadi tidak sehat.

Di satu pihak, subsidi energi banyak membantu menekan inflasi menjadi 4,6 persen sehingga suku bunga acuan dapat ditekan menjadi 5,75 persen dan pertumbuhan ekonomi dapat didorong di atas 6 persen. Namun, di sisi lain, besarnya subsidi telah menggerogoti anggaran sehingga minim stimulus. Postur anggaran semacam ini diragukan keberlanjutannya.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi 6,3 persen tahun 2012 harus dibayar dengan ongkos lemahnya stimulus fiskal karena dananya banyak terserap untuk alokasi subsidi energi. Belanja infrastruktur hanya Rp 174 triliun (tahun 2012) dan diproyeksikan Rp 188 triliun (tahun 2013), kalah dibandingkan subsidi energi. Ke depan, kemampuan pemerintah berbelanja modal, termasuk penyediaan infrastruktur, menjadi kian lemah. Ini akan menjadi ”bom waktu”.

Sebagai ilustrasi, India adalah negara yang mengebut dalam pertumbuhan ekonomi, tetapi lalai dalam penyediaan infrastruktur. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi India digenjot di atas 8 persen. Namun, semua ada batasnya. Baru-baru ini India mengalami listrik mati terburuk. Pertumbuhan ekonomi terkoreksi hanya 5,3 persen.

Defisit transaksi berjalan dalam setahun terakhir mencapai 78 miliar dollar AS, atau 4,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Inflasi 10 persen. Defisit anggaran membengkak menjadi 5,5 persen dari PDB, padahal normalnya hanya 2 persen. Karut-marut ini terutama karena buruknya infrastruktur, seperti jalan raya dan listrik. India disarankan membangun listrik berdaya nuklir, tetapi masyarakat menentangnya (The Economist, 11-17 Agustus 2012).

Kisah India cukup mirip dengan Indonesia. Dari sisi neraca pembayaran, sinyal bahaya sudah muncul. Defisit perdagangan sudah 1,3 miliar dollar AS (Juni 2012), sedangkan defisit transaksi berjalan 6,9 miliar dollar AS, atau 3,1 persen atas PDB pada triwulan II-2012. Sedikit hiburan, neraca modal, di mana dana asing masuk melebihi dana keluar, sehingga ada surplus 5,5 miliar dollar AS. Namun, jika dijumlah dengan transaksi berjalan, masih defisit 1,4 miliar dollar AS. Memburuknya neraca eksternal membuat cadangan devisa dan rupiah terus merosot.

Apa yang mesti kita lakukan? Setidaknya ada tiga inisiatif. Pertama, dari sisi pengendalian impor, pilihannya adalah menekan impor barang modal yang terjadi sebagai konsekuensi dari meningkatnya kegiatan investasi, ataukah menekan impor minyak mentah. Jika impor barang modal ditekan, konsekuensinya investasi berkurang, dan pertumbuhan ekonomi bakal melambat.

Indonesia juga bisa memperketat impor dengan menaikkan standar kualitas barang impor, dikaitkan isu lingkungan. Meski ada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), praktik ini sering dilakukan banyak negara, termasuk AS yang sibuk menekan defisit perdagangan 483 miliar dollar AS, defisit terbesar di dunia.

Pilihan lain, menekan impor minyak mentah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dan tarif listrik. Solusi ini memang sepintas terasa ”kejam” karena akan mendorong inflasi. Namun, manfaatnya, mendorong masyarakat lebih berhemat mengonsumsi energi. Perilaku konsumtif dapat ditekan.

Soal kekhawatiran inflasi jika harga BBM dinaikkan Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per liter tahun 2013 diduga hanya akan mendorong inflasi menjadi 6 persen. Lebih tinggi daripada inflasi 2012 yang 4,5 hingga 5 persen. Namun, sejarah ekonomi Indonesia, inflasi 6 persen masih dalam toleransi dan terjangkau (affordable) bagi masyarakat. Tahun 2013 akan menjadi saat yang paling memungkinkan menaikkan harga BBM. Jika ditunda lagi tahun 2014, risiko politiknya lebih besar karena bersamaan dengan agenda pemilu.

Kedua, upaya mencari pasar ekspor baru harus terus dilakukan meski harus berebut dengan negara lainnya. Afrika kini sedang memasuki era kebangkitan kelas menengah. PDB Afrika kini 1,8 triliun dollar AS, dengan penduduk bakal 1,3 miliar tahun 2020.
Jumlah penduduk kelas menengah kini 35 persen. Kelas menengah didefinisikan sebagai ”penduduk dengan daya beli 2 hingga 20 dollar AS per hari berdasarkan purchasing power parity (PPP)". Profil semacam ini menjadi pasar empuk bagi produsen barang konsumsi, seperti Unilever dan Nestle (The Economist, 18-24 Agustus 2012). Indonesia harus cepat mengantisipasi kebangkitan Afrika meski tidak bisa instan.

Ketiga, karena neraca pembayaran tertekan, rupiah cenderung volatil. Dalam setahun terakhir, rupiah terkoreksi dari Rp 8.538 (Agustus 2011) menjadi Rp 9.500 per dollar AS (Agustus 2012), atau terdepresiasi 12 persen. Masih lebih baik daripada depresiasi rupee India (23 persen). Akhir-akhir ini Bank Indonesia (BI) cukup repot menjaga stabilitas rupiah. Dalam posisi cadangan devisa yang turun menjadi 106 miliar dollar AS, BI harus lebih realistis dalam target kurs rupiah.

Rupiah tidak perlu didorong kembali ke level yang terlalu kuat, sekitar Rp 9.000 per dollar AS. Di tengah krisis global seperti sekarang, rupiah perlu dibiarkan sedikit menempuh relaksasi. Di AS dan zona euro juga ditempuh kebijakan relaksasi moneter. Selain mempertahankan suku bunga rendah, mereka juga melakukan quantitative easing, yakni menambah jumlah uang beredar (mencetak uang) untuk dibelikan obligasi pemerintah. Tujuannya agar harga obligasi pemerintah tidak turun atau hasil imbalnya tidak naik. Konsekuensinya, kurs mata uangnya melemah, tetapi ini berakibat baik untuk mendorong ekspor.

Rupiah bisa diposisikan mirip. Saat neraca perdagangan tertekan, instrumen yang bisa diberdayakan adalah kurs rupiah. Karena kapasitas cadangan devisa terbatas, BI harus lebih selektif intervensi. Izinkan rupiah melemah, misalnya sampai Rp 9.600 per dollar AS, agar membantu daya saing ekspor.

Sementara itu, harga minyak dunia mulai berangsur naik menjadi 115 dollar AS (Brent) dan 96 dollar AS (WTI) per barrel. Jika hal ini juga diikuti harga komoditas primer andalan kita (sawit, batubara, timah, karet), defisit perdagangan Indonesia mestinya mulai mengecil sejak Juli. Kita tunggu data resmi BPS pekan depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar