Selasa, 28 Agustus 2012

Keseimbangan Makro


Keseimbangan Makro
Mirza Adityaswara ;  Ekonom, Pengurus ISEI
KOMPAS, 28 Agustus 2012


Pengambil kebijakan ekonomi makro akan senang jika ekonomi tumbuh tinggi dan menghasilkan pertumbuhan berkualitas. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi mengalami siklus dan berfluktuasi.

Siklus bisa disebabkan oleh faktor dalam negeri dan luar negeri. Agar pertumbuhan ekonomi stabil, maka pengambil kebijakan ekonomi makro harus membuat penyesuaian dan melakukan kebijakan antisipatif.

Namun, kebijakan moneter dan fiskal yang antisipatif sering tidak menyenangkan bagi pelaku sektor riil dan politisi karena bisa berbentuk kenaikan suku bunga, kenaikan pajak, pengurangan subsidi, ataupun realokasi pengeluaran pemerintah.

Contoh siklus ekonomi yang disebabkan oleh faktor dalam negeri adalah pertumbuhan kredit. Rendahnya suku bunga akan memacu pertumbuhan kredit dan menggairahkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2012 relatif cukup tinggi, yaitu 6,4 persen. Lebih tinggi dari pertumbuhan negara tetangga, seperti Thailand (4,2 persen) dan Singapura (1,9 persen).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh pertumbuhan kredit tiga tahun berturut-turut di atas 23 persen. Per Juni 2012 mencapai 26 persen. Ini termasuk kredit investasi yang tumbuh 29 persen, kredit modal kerja tumbuh 28 persen, kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tumbuh 21 persen, serta kredit KPR tumbuh fantastis 42 persen.
Suku bunga yang dibiarkan rendah terlalu lama membuat bankir dan debitor lupa diri. 

Para bankir akan terus memacu pertumbuhan kredit, termasuk ke sektor yang spekulatif, seperti properti dan kredit tanpa agunan (KTA). Bankir tidak mempertimbangkan laju kredit terhadap stabilitas ekonomi makro karena itu memang bukan tugas mereka. 
Semakin tinggi pertumbuhan kredit, semakin banyak laba bank. Maka, semakin naik pula harga saham bank, yang berarti semakin besar dividen bagi pemegang saham dan semakin besar bonus bagi sang bankir.

Namun, kredit spekulatif yang dipacu 3-5 tahun akan tumbuh terlalu tinggi dan meningkatkan harga properti jauh di atas kemampuan pendapatan ”generasi muda” untuk membeli rumah. Bankir juga harus waspada, kenaikan suku bunga dan harga BBM akan memacetkan debitor berpendapatan rendah.

Bahkan, pertumbuhan kredit ke sektor produktif pun jika dipacu terus tanpa memperhatikan kesiapan struktur industri akan berdampak buruk, yaitu kenaikan impor. Akibatnya terjadi defisit neraca perdagangan serta defisit neraca barang dan jasa (defisit neraca berjalan) yang menyedot cadangan devisa.

Di satu sisi, pertumbuhan kredit akan menghasilkan peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi di lain sisi mendorong pertumbuhan permintaan terhadap pangan yang lebih berkualitas. Karena sektor pertanian belum siap memproduksi buah lokal yang bermutu, impor buah melonjak tinggi. Impor buah sudah mencapai 735 juta dollar AS tahun 2011. Demikian pula produk susu, daging, dan lainnya.

Defisit Neraca Berjalan

Gairah ekonomi domestik dan rendahnya harga BBM dalam negeri telah meningkatkan konsumsi BBM sehingga impor minyak terus meningkat. Defisit neraca perdagangan minyak tahun 2010 mencapai 8,6 miliar dollar AS, meningkat 17,5 miliar dollar AS tahun 2011. Tahun ini defisit minyak bisa menembus 20 miliar dollar AS. Subsidi energi di APBN 2013 mencapai Rp 275 triliun. Andai jumlah ini bisa direalokasi untuk membangun pelabuhan, jalan raya, rumah sakit, irigasi, dan riset teknologi, maka APBN kita akan lebih berkualitas.

Defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan harus menjadi perhatian otoritas moneter dan fiskal. Ini adalah tahun pertama pascakrisis 1998 Indonesia mengalami defisit neraca berjalan. Pada kuartal I-2012 defisit 3,2 miliar dollar AS, di kuartal II-2012 memburuk menjadi 6,9 miliar dollar AS, setara 3,1 persen produk domestik bruto (PDB). Ini sudah di atas batas normal 3 persen PDB. Memang dampak negatif belum terasa tahun ini. Namun, jika tidak ada kebijakan koreksi, reaksi negatif dari investor pasar keuangan mungkin akan kita rasakan 2-3 tahun ke depan saat ekonomi global bangkit lagi.

Kebangkitan ekonomi global akan membuat investor melirik negara lain. Reaksi negatif di pasar keuangan, dalam bentuk rupiah yang melemah signifikan serta yield obligasi yang meningkat tajam pasti berpengaruh negatif pada perbankan, kemudian menjalar ke sektor riel serta ke masyarakat luas.

Para anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK) wajib mengingatkan risiko sistemik jika terjadi ketidakseimbangan makro. FKSSK dibentuk akhir tahun 2011 melalui Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan. Anggota FKSSK adalah Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Menkeu mengalokasikan anggaran agar APBN efektif bagi kesejahteraan masyarakat dan menjaga defisit APBN pada batas wajar.

Jika terjadi risiko sistemik, yang paling terbebani adalah anggaran pemerintah, contohnya saat krisis 1998. Bank Indonesia berkepentingan menjaga nilai rupiah yang stabil, termasuk inflasi dan kurs rupiah. BI saat ini juga masih bertanggung jawab mengawasi perbankan. OJK mulai 1 Januari 2014 mengawasi seluruh pelaku industri keuangan. LPS juga berkepentingan para bankir berhati-hati (prudent).

Walaupun situasi belum ”gawat”, tampaknya FKSSK perlu mengingatkan dari waktu ke waktu agar tidak terlambat seperti tahun 1998. Para bankir harus bisa menangkap ”pesan” kenaikan suku bunga SBI (9 bulan) dari 3,9 persen ke 4,5 persen dalam empat bulan terakhir. BI dan Bapepam telah mengenakan aturan uang muka bagi kredit otomotif dan KPR agar kredit konsumsi terkendali. Bulan Agustus, BI juga telah menaikkan suku bunga FASBI dari 3,75 persen ke 4,0 persen.

LPS telah mengimbau agar perbankan mulai mengerem pertumbuhan kredit. Jika bankir tidak juga mengerti, jangan heran jika otoritas moneter yang bergerak beberapa bulan ke depan. Bisa dalam bentuk kenaikan giro wajib minimum (GWM), kenaikan suku bunga SBI, FASBI, dan bahkan BI Rate. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar