Kamis, 30 Agustus 2012

Menilai Pengacara Koruptor


Menilai Pengacara Koruptor
Yahdil Abdi Harahap ;  Anggota Komisi III DPR RI FPAN
SINDO, 30 Agustus 2012


Statement yang dikemukakan oleh Wamenkumham Denny Indrayana beberapa hari lalu, yang intinya adalah bahwa pengacara koruptor sama dengan koruptor karena menerima uang hasil korupsi, cukup menarik.

Identifikasi advokat yang membela tersangka korupsi dengan kliennya, yang merupakan tersangka korupsi, menimbulkan stigma negatif terhadap profesi advokat. Secara tidak langsung, statement Wamenkumham tersebut memberi kesan bahwa tidak ada ruang pembelaan bagi para tersangka korupsi. Benarkah demikian?

Penafsiran Tekstual

Advokat dalam menjalankan profesinya tentu mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. UU itu mengatur beberapa hal yang secara tekstual berkenaan dengan statement yang dikemukakan Wamenkumham tersebut. Dalam Bab I Ketentuan Umum butir 1 disebutkan bahwa: “Advokat adalah orang yang memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan....” Berikutnya kalau kita cermati sumpah advokat seperti yang diatur dalam Pasal 4,jelas disebutkan bahwa seorang advokat tidak boleh menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum.

Dalam sumpah tersebut, secara tekstual dan diucapkan dalam prosesi pengangkatan sumpah sebagai advokat, jelas fungsi profesi advokat adalah membela kliennya, dan bertugas mengerahkan seluruh daya upayanya dalam mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan pembelaan tersebut, dengan tidak melanggar undang-undang dan kode etik profesi. Dalam Pasal 18 UU Advokat secara jelas disebutkan bahwa, seorang advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya, baik oleh pejabat yang berwenang maupun oleh masyarakat.

Mengenai honorarium advokat, disebutkan dalam Pasal 21 bahwa advokat memiliki hak untuk mendapatkan honor atas jasa hukum yang telah diberikannya kepada kliennya. Besarnya honorarium, disebutkan, bahwa itu bergantung pada kesepakatan antara advokat dan kliennya. UU No 18 Tahun 2003 tidak menyebutkan hal berkaitan dengan sumber dana yang boleh diterima advokat dari kliennya. Selain UU No 18 Tahun 2003, ada juga kode etik advokat.

Artinya dalam menjalankan profesinya, advokat juga memilik tolok ukur dalam berperilaku, yang diatur dalam kode etik advokat itu. Dalam kode etik advokat disebutkan, bahwa dalam menjalankan profesinya, seorang advokat dapat menolak untuk memberikan nasihat dan bantuan hukum, jika perkara tersebut tidak sesuai dengan keahliannya atau tidak sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini sama sekali tidak disinggung dalam UU No 18 Tahun 2003.

Kode Etik Profesi Advokat Indonesia lebih antisipatif dalam mengatur hal yang berkaitan dengan penanganan perkara. Jika advokat tersebut merasa dia tidak menguasai atau memiliki kemampuan terbatas dalam suatu masalah hukum yang diajukan padanya, advokat tersebut dapat menolak menanganinya.Namun, tentu advokat tersebut bisa saja berkolaborasi atau merekrut advokat lain yang memiliki keahlian dan kemampuan untuk menangani permasalahan hukum tersebut, sehingga dia tidak perlu menolak untuk menanganinya.

Hati Nurani, Kontekstual

Sudah disebutkan bahwa advokat dapat menolak menangani perkara jika perkara tersebut tidak sesuai dengan hati nuraninya.Walaupun apa yang disebutkan dalam Pasal 3 Kode Etik Profesi Advokat Indonesia yang berkaitan dengan hati nurani ini bersifat fakultatif, beban advokat secara kontekstual seharusnya bisa membatasi visi penanganan terhadap suatu perkara.

Berbeda dengan alasan pertama alasan penolakan penanganan perkara yang mutlak merupakan masalah kualitas advokat, yang memang ada solusi yang sama sekali dari beban moral dan etika. Alasan hati nurani ini lebih bersifat kontekstual, khususnya dalam perkara tipikor, sangat erat kaitannya, paling tidak, terhadap dua hal yaitu: pertama, visi pemberantasan tindak pidana korupsi; kedua, rasa keadilan masyarakat.

Kalau kita kaitkan dengan apa yang disebutkan pada Pasal 3 huruf b Kode Etik Profesi Advokat, yaitu bahwa: “advokat dalam melaksanakan tugasnya tidak semata-mata untuk memperoleh imbalan materi, tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan.” Apa yang disebutkan dalam Pasal 3 huruf b Kode Etik Profesi Advokat Indonesia tersebut merupakan inti daripada status advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).

Artinya, sebagai profesi yang juga diklasifikasikan sebagai penegak hukum, advokat bukanlah profesi sebagai pengejar materi semata, melainkan harus memiliki nilai-nilai idealisme yang mengawal keinginan yang bersifat materialisme. Secara kontekstual, sulit memang untuk menghilangkan keinginan materialisme, apalagi dalam penanganan kasus korupsi besar. Secara kontekstual, hasrat materialisme tersebut memang tidak dapat dibatasi, karena memang tidak ada batasan spesifik mengenai honorarium yang diterima oleh seorang advokat.

Secara kontekstual, muncul keresahan di tengah-tengah masyarakat ketika advokat lebih mengutamakan kepentingan materi ketimbang penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan.Ada kecurigaan yang muncul di masyarakat, bahwa para advokat yang melakukan pembelaan terhadap koruptor menerima imbalan begitu besarnya tanpa ada misi untuk mengungkap kebenaran, sekadar mencari celah-celah hukum atau kelemahan peraturan perundangan belaka.

Di sisi lain, perlu kita pahami bahwa setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk dibela, apa pun jenis tindak pidananya, termasuk tipikor. Maka itu, persoalan sebenarnya adalah bukan terletak pada pemberian stigma negatif kepada para advokat yang membela koruptor, apalagi pengidentikannya sebagai koruptor; melainkan lebih pada peran advokat untuk lebih mengutamakan hal-hal yang lebih bersifat idealis ketimbang pragmatis. Justru dengan begitu, para advokat yang membela koruptor memiliki kontribusi yang besar untuk memperjelas dan mengungkapkan lebih jauh mengenai kebenaran suatu perkara korupsi.

Peran Organisasi Advokat

Untuk menghilangkan stigma negatif terhadap profesi advokat, peran organisasi advokat menjadi sangat penting. Organisasi advokat selama ini hanya fokus ke hal-hal yang lebih bersifat teknis dan administratif saja. Pengembangan dan sosialisasi terhadap nilai-nilai idealisme serta misi penegakan hukum, pencarian terhadap nilai-nilai keadilan dan kebenaran, seharusnya juga menjadi beban tanggung jawab organisasi advokat, khususnya dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi.

Organisasi profesi advokat seharusnya dapat meminimalisasi dikotomi advokat “bersih” dan advokat “kotor”, karena pada hakikatnya profesi advokat tersebut tidak ada yang kotor. Dengan demikian, pandangan terhadap profesi advokat sebagai profesi terhormat dapat tercapai, sehingga tidak ada lagi yang berani melecehkan profesi advokat. Jayalah advokat Indonesia, dan selalu menjadi profesi yang berkualitas dalam penegakan hukum Indonesia. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar