Jumat, 31 Agustus 2012

Menolak Kebiasaan Buruk


Menolak Kebiasaan Buruk
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA NDONESIA, 31 Agustus 2012


`BURUK' atau `busuk'? Tergantung bagai mana kadarnya. Kita menyebut korupsi moral-material sebagai perbuatan `buruk' kalau kita bicara korupsi kecil-kecilan yang tidak `terlalu' mengganggu lingkungan. Contohnya uang sogok untuk pembuatan kartu penduduk atau penebus denda pelanggaran lalu lintas di jalan. Untuk mengecam pemungut-pemungut sogok tingkat itu rasanya tidak adil mengingat pejabat-pejabat jauh di atas mereka mengambil sogok sampai ratusan juta, miliaran, puluhan miliar rupiah, atau bahkan lebih.  Yang disebut terakhir itulah yang melakukan perbuatan `busuk'.

Maka ketika menjelang Lebaran sejumlah lembaga mengumumkan larangan menerima parsel, timbul perasaan tidak nyaman. Tentu tujuannya menghindari perbuatan buruk/busuk. Larangan semacam itu bukan yang pertama kali. Di masa-masa lalu pernah pula dicobakan untuk menghindari merajalelanya pemberian sogok dalam bentuk terselubung itu. Yang tidak kita sadari, larangan itu berarti mematikan tradisi silaturahim di antara kita di seputar Lebaran; selain tentu mematikan bisnis pembuatan parsel yang umumnya dijalankan pengusaha-pengusaha kecil. Larangan demikian rasanya sekadar simbol niat baik. Sogok `busuk' masih akan dilakukan lewat lembaga keuangan atau dalam bentuk lain: mobil, rumah, tanah, atau barang-barang mewah. Dalam menanggapi situasi seperti itu, orang asing akan bilang who are you kidding?

Konflik dalam Pribadi

Dalam masa modern yang banyak menimbulkan konflik pribadi dalam diri banyak orang, konsep-konsep tradisional belum sepenuhnya rela menerima pragmatisme yang mendesakkan diri. Tidak jarang terjadi perbauran di antara keduanya. Contoh pengiriman parsel tidak lagi dianggap tindakan silaturahim, tetapi sekaligus dicurigai ada maksud lain. Padahal anggapan there is no free lunch tidak selalu benar.

Tiap keadaan--dalam hal ini modernisasi--membentuk perspektif baru mengenai kehidupan. Penyandang status baru terpaksa--kalau bukan dipaksa--menyesuaikan diri dengan perspektif baru itu. Akibatnya, terjadi perubahan sikap dan penafsiran mengenai hidup, bahkan mengenai diri tiap pribadi. Bukan tidak mungkin dia kemudian memiliki konsep dan citra baru mengenai dirinya. Bisa saja dia berubah total menjadi manusia baru dengan pola pikir baru tanpa ragu-ragu, misalnya menganggap semua hal ada harganya. Namun, bisa jadi dia membagi dirinya dalam berbagai peran yang berbeda. Peran lama yang sudah mendarah daging dalam dirinya dilakukan dalam menghadapi sanak keluarga, misalnya, dan peran baru karena statusnya yang baru dijalankannya terhadap pihak lain.

Pada dasarnya tiap manusia mengalami perubahan status dari waktu ke waktu. Perubahan evolusioner tidak mengganggu. Perubahan dirasakan mengganggu kalau dari dirinya dituntut suatu perubahan revolusioner yang mungkin antara lain disebabkan konsep-konsep baru/modern tentang kehidupan. Konflik diri timbul jika pelaku tidak sepenuhnya setuju dengan status atau kondisi baru yang disandangnya. Yang dimaksud status termasuk lingkungan baru yang diterjuninya. Misalnya, dia sebenarnya tidak setuju dengan lingkungan baru itu, tetapi statusnya membuatnya tidak berdaya untuk melepaskan diri dari sana. Selama dia masih merasa ‘terpaksa’, dapat dipastikan akan terjadi konflik dan ketegangan dalam jiwanya.

Sekalipun kita bicara tentang soal parsel--yang sebenarnya persoalan sederhana--gejala itu membuktikan terjadinya proses dalam tradisi di alam merdeka Indonesia tahap ini. Kita tidak bisa terbebas dari hukum alam mengenai proses. Buktinya persoalan pengiriman parsel berulang muncul kembali dari tahun ke tahun.

Gejala Tak Terkendali

Apakah tradisi korupsi sudah ada dalam sejarah lama kita? Rasanya belum pernah ada penelitian. Namun, kita tahu bahwa upeti memang bagian dari tradisi kita. Bila ditinjau dari sisi baiknya, kita pada dasarnya memang senang menyenangkan orang. Apa salahnya menyenangkan orang-orang yang kita hormati? Bahwa sikap itu kebablasan dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan pragmatis, mungkin itu proses yang berkembang akibat pikiran modern.

Telah banyak dibuat analisis tentang tradisi korupsi. Buku The Politics of Scarcity karya Myron Weiner menyebutkan korupsi tidak selalu mengganggu perkembangan politik dan ekonomi. Sogok, misalnya, dikatakan memperlancar jalannya bisnis dan membuka sikap ramah dan fleksibilitas pejabat yang berwenang. Itu berlaku pada tingkat apa pun. Sebaliknya, roda perjalan an bisnis dan ekonomi bisa tersendat bila mereka terlalu mengikuti aturan.

Pendapat semacam itu diberikan banyak sarjana kemasyarakatan. Kata mereka, masyarakat manusia, kecuali yang primitif, mengenalnya pada taraf yang berbeda-beda. Apakah itu dapat diartikan semakin maju suatu masyarakat, korupsi semakin rumit dan gawat? Gejala itu terjadi di mana-mana. Itu menjelaskan mengapa pencanangan Presiden untuk menumpas korupsi dan mafia hukum tersendat-sendat sampai sekarang, sekalipun semua mengakui korupsi adalah gejala buruk/busuk yang penyembuhannya harus terus-menerus diusahakan.

Sekalipun di satu pihak memungkinkan efisiensi, sogok di lain pihak merusak ketertiban ling kup yang lebih luas. Korupsi akhirnya juga merongrong wibawa pemerintah karena menipisnya kepercayaan dan rasa hormat masyarakat. Dalam kaitan itu, pengunduran diri tersangka Hartati Murdaya dari posisi-posisi penting patut dihargai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar