Rabu, 29 Agustus 2012

Menyambut Pemilu AS


Menyambut Pemilu AS
Dinna Wisnu ;  Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina 
SINDO, 29 Agustus 2012


Pemilu adalah pesta demokrasi. Di negara penganut demokrasi terbesar nomor dua di dunia, yakni Amerika Serikat (AS), pesta untuk menentukan kepala negara periode 2012–2016 sudah berjalan tak kurang dari 12 bulan.

Setelah berbulan-bulan menjalani tahapan primaries (pengumpulan dukungan bagi para calon di negara-negara bagian), rapat-rapat kaukus partai untuk mencari kesepakatan siapa calon-calon yang akan diunggulkan untuk tampil di Konvensi Partai, lalu digelar Konvensi Partai, dan akhirnya pemilu. Minggu ini Partai Republik menggelar Konvensi di Kota Tampa, Florida. Minggu depan giliran Partai Demokrat menyelenggarakan Konvensi di Kota Charlotte, North Carolina.

Apa saja yang perlu dipahami khalayak Indonesia tentang pesta di AS itu? Pertama, Indonesia perlu memahami bahwa kondisi ekonomi di dalam negeri AS sedang sangat buruk, sehingga fokus masyarakat adalah melulu terkait perbaikan ekonomi. Peter Hart dan Neil Newhouse, masing-masing adalah konsultan strategi pemilu sekaligus presiden di dua perusahaan polling yang mendampingi kubu partai Demokrat dan Republik, mengungkapkan pada audiens di @america di Jakarta bahwa para pemilih di AS sangat khawatir pada perkembangan krisis ekonomi (di dalam dan di luar negeri).

Bagi mereka, calon presiden periode mendatang harus bisa memperbaiki kondisi ekonomi warga AS. Artinya, kesulitan ekonomi di AS adalah komoditas politik yang menggiurkan. Bayangkan, satu iklan bertema kekecewaan seorang ibu pada Presiden Barack Obama, dibeli seharga USD25 juta (Rp237,7 miliar) untuk tayang di pelbagai stasiun televisi.

Menurut Paul Blumenthal dari Huffington Post, ini merupakan pembelian iklan termahal dalam kampanye 2012. Iklan tersebut didanai oleh kelompok nonprofit yang dimotori oleh seorang tokoh yang dikenal beraliran sangat konservatif yakni Karl Rove. Dalam iklan itu, sang tokoh fiksi mengaku mendukung Obama pada tahun 2008, tetapi kini beralih mendukung Partai Republik karena kedua anak dewasanya menganggur dan kini terpaksa tinggal serumah dengannya.

Ironisnya,
jika kondisi ekonomi AS memang demikian buruknya, mengapa terdapat dana ratusan juta dolar yang dihabiskan selama masa kampanye? Rasio penggunaan dana adalah 2:1 untuk kampanye negatif, di mana ratusan juta dolar dihabiskan sebagai upaya menjelek-jelekkan calon dari kubu lain. Apa hasilnya? Sampai 10 minggu menjelang pemilu, publik tetap tidak punya kejelasan siapa yang harus dipilih.

Jika Anda kebetulan tinggal di negara-negara bagian yang rata-rata pemilihnya bukanlah penganut setia satu partai, misalnya di Ohio, North Carolina, Florida, Iowa, Colorado, Virginia, maka Anda pasti dibombardir dengan segala iklan politik hampir 24 jam sehari. Kabarnya, dengan dana kampanye yang membengkak itu, warga sampai muak menonton TV karena disuguhi lebih dari 40 iklan per hari, dan mayoritas merupakan kampanye negatif.

Padahal jika negara bagian merupakan basis pendukung partai tertentu, bisa jadi tidak ada satu pun iklan pemilu di TV Anda! Dengan intensitas dana yang tercurah demikian besar dan waktu pemungutan suara yang semakin dekat, partai politik justru makin diuji untuk bersikap tepat (politically correct). Pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di benak para pemilih di antaranya; Siapa yang lebih bisa diandalkan untuk memperjuangkan hak saya?

Siapa yang dianggap lebih peduli pada kebutuhan saya? Siapa yang bisa menjadi harapan saya untuk memperbaiki kondisi AS? Bagi kita di Indonesia, pertanyaan- pertanyaan dari pemilih di AS memiliki implikasi yang cukup serius.Ketika ratarata warga negara melihat dengan perspektif pesimis terhadap kondisi perekonomian, saatnya kita lebih jeli mengolah informasi tentang ragam pilihan yang tersisa bagi kepala negara jika terpilih nanti.

Pada tahun ini, AS diperkirakan mengalami defisit tertinggi sejak Presiden Obama terpilih yakni sekitar USD1,3 triliun, walaupun jumlah tersebut lebih rendah daripada masa kepemimpinan George W Bush. Selain bermanuver dalam kebijakan moneter, tak bisa disangkal bahwa siapa pun yang terpilih menjadi presiden pada November 2012 harus bisa menambah pemasukan bagi anggaran negara.

Jika tidak melalui utang maka dengan menaikkan pajak. Lawrence Summers, pakar ekonomi internasional yang juga menteri keuangan masa Presiden Bill Clinton dan Direktur Dewan Ekonomi Nasional era Presiden Obama (sampai November 2010), mengatakan bahwa siapa pun yang menjadi presiden, jumlah pengeluaran pemerintah federal AS (pemerintah pusat) pasti membengkak. Mengapa?

Besarnya jumlah penduduk AS yang menua menuntut pembayaran hak atas jaminan sosial, jaminan kesehatan, serta bantuan kesehatan bagi yang kurang mampu. Selain itu, karena ada prediksi bahwa nilai suku bunga akan terus meningkat akibat krisis global, padahal utang luar negeri AS besar, maka cadangan devisa harus diperbesar untuk mengantisipasi masa jatuh tempo.

Tambahan lagi, jika perekonomian memburuk dan inflasi terus meningkat maka lebih banyak masyarakat yang akan berteriak akibat krisis. Mustahil pemerintah berdiam diri, apalagi memilih untuk menarik diri dan tidak membantu rakyat yang membutuhkan. Artinya, terlepas dari apa pun yang dikampanyekan kepada warganya, presiden AS yang nantinya terpilih harus mencari akal untuk mencari sumber dana asing yang tidak berwujud utang, tetapi berwujud dana segar atau lapangan pekerjaan.

Dalam sejarah, AS bukanlah sasaran investasi asing yang menarik. Negara lain cenderung enggan menanamkan modal di AS. Jadi, satu-satunya jalan adalah membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya bagi warga, sehingga ada ruang untuk menyedot dana segar bagi perekonomian AS. Salah satu cara yang selama ini cenderung populer dipilih oleh para pengambil kebijakan di AS adalah dengan meningkatkan tensi militer di luar negeri, atau melakukan invasi.

Dengan ketegangan militer, ada lapangan pekerjaan yang terbuka lebar bagi warga negara AS dan dianggap wajar oleh negara-negara lain; mulai dari menghidupi industri perlengkapan militer sampai kegiatan berselubung motif nonprofit ke negara-negara konflik. Kalau hal itu dianggap terlalu berburuk sangka, kita perlu menelaah apakah presiden terpilih berani untuk berkonfrontasi langsung dengan warga negaranya.

Misalnya dengan melakukan reformasi pajak atau pengetatan ikat pinggang secara besar-besaran? Belum ada tanda-tanda bahwa baik Obama dari Partai Demokrat maupun Mitt Romney dari Partai Republik berani melakukan konfrontasi macam itu. Pasalnya, kedua partai politik selama ini sama-sama abai dalam melakukan pembenahan hubungan dengan konglomerat dan kalangan bisnis lainnya.

Meskipun tidak diakui, ada relasi bak patron-klien antara politisi dan pebisnis di AS yang mengorbankan peluang penciptaan lapangan kerja bagi warga negara. Namun, wallahualam, tidak ada yang mustahil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar