Selasa, 28 Agustus 2012

Pengakuan dan Permintaan Maaf


Pengakuan dan Permintaan Maaf
Mugiyanto ;  Penyintas pada Peristiwa Penculikan Aktivis Pro Demokrasi
Tahun 1998, Saat ini Ketua IKOHI
SINAR HARAPAN, 27 Agustus 2012


Selama sebulan terakhir, isu penegakan HAM diwarnai dengan perdebatan tentang perlu tidaknya Presiden sebagai kepala negara menyampaikan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

Pemicunya adalah dikeluarkannya laporan hasil penyelidikan Komnas HAM tentang kasus tragedi kemanusiaan sekitar 1965-1967.

Dalam laporan setebal hampir 1.000 halaman tersebut, Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam bentuk pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Selanjutnya, Komnas HAM merekomendasikan Jaksa Agung untuk menindaklanjutinya dengan penyidikan dan penyelesaian nonjudisial (KKR).

Sebelumnya, setidaknya selama tiga tahun terakhir, di kalangan korban pelanggaran HAM telah beredar berita bahwa Presiden SBY akan segera mengeluarkan sebuah kebijakan politik untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu.

Berita ini diperkuat dengan adanya beberapa kali pertemuan antara beberapa NGO HAM dengan Presiden SBY dan pejabat-pejabat terkait seperti Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Menteri Hukum dan HAM, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum dan HAM, serta anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM. Akan tetapi, lama-kelamaan berita itu memudar seiring banyaknya kasus-kasus baru yang lebih menyita perhatian publik, terutama kasus korupsi para pejabat publik.

Kemudian pada awal tahun ini, angin segar kembali berhembus. Albert Hasibuan, anggota Wantimpres bidang Hukum dan HAM menghembuskan kabar melalui berbagai media bahwa Presiden SBY berencana untuk meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Perkembangan ini lantas direspons oleh beberapa tokoh, antara lain adalah rohaniwan Franz Magnis-Suseno, yang melalui tulisannya di harian Kompas, mengatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi Presiden SBY minta maaf pada korban peristiwa 1965 agar kita terbebas dari rasa benci dan dendam yang merupakan warisan pemerintahan Soeharto.
Secara berturut-turut media yang sama memuat tulisan Sulastomo, mantan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966 yang menolak rencana permintaan maaf oleh Presiden SBY, lalu disusul oleh pendapat tokoh HAM Hendardi dan orang tua korban Sumarsih, ibunda dari mahasiswa korban peristiwa penembakan di Semanggi yang mengatakan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup.

Polemik yang muncul di publik ini kemudian direspons kembali oleh Watimpres Albert Hasibuan dengan penegasan baru bahwa permintaan maaf tersebut merupakan entry point bagi penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu.

Negara Lain

Dengan tetap berharap bahwa kebijakan permintaan maaf (public apology) tersebut pada akhirnya akan diambil oleh Presiden SBY, akan berguna bagi kita untuk melihat bagaimana permintaan maaf ini juga pernah diambil oleh banyak kepala negara yang beberapa di antaranya akan penulis contohkan dalam tulisan ini.

Pada 7 Desember 1970, Kanselir Jerman Barat Willy Brandt mengunjungi sebuah tugu peringatan para korban Rezim Nazi di Warsawa Polandia. Di sana Willy Brandt berlutut dan atas nama pemerintahan Jerman ia meminta maaf atas tragedi yang dilakukan oleh Nazi pada orang-orang Polandia. Tindakan Kanselir Brandt ini memicu polemik.
Selain mendapatkan dukungan luas dari rakyat Jerman, ada juga warga Jerman yang lain yang menganggap langkah itu berlebihan dan tidak patriotik.

Namun yang jelas, sebagai kepala negara ia telah menunjukkan sikapnya bahwa tindakan kejahatan perang dan genosida seperti yang pernah dilakukan oleh Nazi Jerman tidak boleh ditoleransi. Tindakan tersebut juga merupakan pendidikan politik bagi anak-anak dan kaum muda saat itu yang selanjutnya bisa menumbuhkan rekonsiliasi di antara warga dua negara seperti yang kita lihat pada hari ini.

Contoh lain yang relatif baru adalah permintaan maaf oleh Presiden El Salvador Mauricio Funes pada 16 Januari 2012. Dalam sebuah peringatan peristiwa pembantaian di Kota El Mozote, El Salvador, pada 1981, Presiden Mauricio Funes atas nama negara meminta maaf kepada para korban dan keluarganya dan mengakui bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab atas pembantaian tersebut.

Dalam suasana yang dilaporkan berbagai media sangat emosional, dengan mata berkaca-kaca dan kata-kata yang terputus-putus, Mauricio Funes mengatakan bahwa sebagai kepala negara ia berani dan harus mengambil tanggung jawab yang ditinggalkan oleh pendahulunya.

Tidak hanya berhenti pada permintaan maaf dan mengakui kesalahan, Presiden Funes juga menunjukkan tanggung jawab dengan memenuhi hak-hak korban atas pemulihan (rights to reparation), termasuk memorialisasi dan skema-skema rehabilitasi serta kompensasi.

Momentum

Dalam konteks Indonesia, bagaimana kita hendaknya menempatkan langkah permintaan maaf oleh negara ini? Dalam bukunya yang berjudul Apologia Politica; States and Their Apologies by Proxy, 2006, Girma Negash, mengatakan bahwa permintaan maaf secara politik oleh negara biasanya berhubungan dengan usaha penyelesaian (remedies) dan pemulihan korban (redress) atas ketidakadilan dan kekerasan sejarah yang berskala besar.

Di sinilah tampaknya rencana Presiden SBY untuk menyampaikan permintaan maaf atas nama negara telah menemukan momentum objektifnya. Oleh karena itu, dengan pernyataan Watimpres Albert Hasibuan bahwa permintaan maaf atau apologi ini baru merupakan entry point bagi diselesaikannya pelanggaran berat HAM masa lalu maka rencana langkah ini perlu didukung oleh semua pihak.

Namun demikian, sebagaimana ditegaskan oleh para korban dan pembela HAM, permintaan maaf saja tidak cukup. Ia harus dibarengi dan diikuti oleh langkah-langkah lain. Ini karena bila hanya berhenti pada permintaan maaf, maka ia hanya akan menjadi ungkapan pengingkaran (denial) dan ketidakbertanggungjawaban (irresponsibility), yang karenanya tidak akan menyelesaikan masalah.

Hal seperti ini pernah dilakukan oleh pemimpin Khmer Merah Khieu Samphan pada 1998 dalam sebuah permintaan maaf resmi yang disampaikan kepada rakyatnya atas pembantaian massal yang pernah dilakukan oleh rezim Pol Pot pada 1970-an. Di situ Khieu Samphan hanya mengatakan, ”Saya ingin minta maaf pada rakyat saya. Mari kita lupakan masa lalu dan maafkanlah saya”, tanpa tindak lanjut apa pun.

Tidak terlalu berbeda dengan prinsip-prinsip transitional justice, Girma Negash menyebutkan bahwa setidaknya terdapat empat syarat minimal yang harus dipenuhi agar permintaan maaf oleh negara bisa berhasil dalam menciptakan penyembuhan (healing) dan rekonsiliasi.

Keempat syarat tersebut adalah pengakuan (acknowledgement), pengungkapan kebenaran (truth-telling), pertanggungjawaban (accountability), dan penyesalan publik (public remorse) (Girma Negash, 2006).
Kini praktis Presiden SBY hanya punya waktu dua tahun untuk mewujudkan janjinya. Bila tidak dimulai dari sekarang, dikhawatirkan Presiden SBY hanya akan mampu melaksanakan komitmen verbalnya itu hanya dengan mengucapkan kata ”maaf” saja sebelum waktunya habis.

Sebagai sebuah entry point bagi penyelesaian menyeluruh, permintaan maaf resmi harus dilakukan secepatnya sehingga masih ada sedikit waktu untuk kerja-kerja lanjutan berupa pengungkapan kebenaran, pertanggungjawaban hukum, dan pemenuhan hak-hak korban atas pemulihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar