Kamis, 30 Agustus 2012

Perang Ginseng

Perang Ginseng
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM Universitas Indonesia 
SINDO, 30 Agustus 2012


Kalau Anda mengenal watak orang Korea dan Amerika, mungkin Anda akan sepakat dengan saya, Samsung tak akan menyerah ditekan Apple.

Pekan lalu Samsung didenda USD1 miliar atas tudingan telah mengambil tanpa hak beberapa elemen kekayaan intelektual Apple (yang tak diakui Samsung) dan minggu ini Apple meminta pengadilan melakukan injunction agar melarang delapan produk Samsung beredar di seluruh pasar Amerika Serikat. Di lain pihak, Samsung baru saja mengumumkan rencana ekspansi dengan membuka pabrik besar-besaran di Amerika Serikat untuk memasok kebutuhan memory chip bagi Apple.

Orang Korea yang saya kenal bersuara halus, tetapi berwatak keras. Daya juangnya seakan tak pernah habis, sekuat tenaga yang dijanjikan akar ginseng. Mental menembusnya sangat kuat sekalipun medan yang dihadapi berbahaya untuk dimasuki. Seperti itulah mereka menempati kawasan berbahaya di Los Angeles (LA) yang tak berani didiami warga Amerika sekalipun.

Anda mungkin masih ingat bagaimana mereka mempersenjatai diri tatkala LA dilanda kerusuhan berat pada 1992. Bukannya lari seperti kebanyakan kelas menengah kita yang mengalami hal serupa di Jakarta tahun 1998, mereka justru menghadapinya dengan senjata laras panjang. Padahal bahasa Inggris mereka pas-pasan. Dengan modal bahasa isyarat, mereka menguasai titik-titik strategis di berbagai pelosok dunia. Sekeras baja itulah pegolf perempuannya, Se Ri Pak, dididik ayahnya menjadi juara dunia turnamen golf.

Dua Perspektif Berbeda

Pada sisi lain mari kita lihat perspektif Apple.Langkah yang diambil Apple adalah cerminan watak orang Amerika yang saya kira mudah Anda kenal. Mereka sangat straight to the point, apa yang dirasakan itu yang diungkapkan, pegangan mereka adalah aturan hukum, kompensasi kerugian tanpa perasaan, dan sangat kompetitif. Orang Amerika yang kita kenal memang amat beragam, tetapi dunia mengenal mereka sebagai bangsa yang ingin mengatur dunia dan merasa pusat dunia ada di rumah mereka.

Sejak kecil anak-anak di sekolah Amerika dibiasakan berbicara terbuka, menghargai kesetaraan, berkompetisi, dan berinovasi. Melakukan plagiat adalah haram. Kalau mengutip kalimat orang lain sekalipun, harus disebutkan sumbernya. Itu pun belum cukup. Para pelajar dan mahasiswa wajib mengolah kembali kutipan milik orang lain itu dengan kata-kata buatan sendiri. Mereka menghargai orisinalitas ide dan kreativitas.

Tapi begitu ada yang meniru, jangankan bangsa lain, bangsa sendiri pun dikenai sanksi berat. Seorang plagiator yang tertangkap tak akan pernah bisa berkarier di dunia akademis sepanjang hidupnya dan seorang pencuri karya cipta didenda sangat berat. Di lain pihak, Korea Selatan memasuki pasar dunia yang sudah lebih dulu dikuasai Jepang yang menjadi obsesinya. Seorang ilmuwan Korea pernah mengatakan, jalur yang harus mereka lalui adalah inovasi melalui imitasi.

Adapun bagi masyarakat Amerika, imitasi adalah perbuatan kriminal yang berarti mencuri kekayaan orang lain dan bisa menghancurkan daya saing bangsa karena imitasi menghalangi niat orang lain berinovasi. Imitasi adalah disinsentif bagi inovasi sehingga ujung-ujungnya konsumen sendiri yang dirugikan. Namun badan orang Korea terlalu kecil untuk melompat sejauh inovasi yang sudah dibangun Amerika selama dua abad. Maka imitasi yang dulu dilakukan Jepang kini mereka ikuti.

Hanya saja dunia telah berubah menjadi lebih kompleks, industri berteknologi tinggi semakin ruwet, dan Amerika sudah semakin licin memagari dirinya dengan jeratanjeratan hukum. Jadi sesungguhnya bukan Amerika yang ingin mereka tundukkan, melainkan Jepang. Kalau Jepang bisa buat Honda, Korea buat Hyundai dan bunyinya mirip. Platform pengembangan teknologinya mirip-mirip Jepang, tetapi diawali dengan tangan besi militer di bawah kekuasaan Jenderal Park Chung-hee. Nah, begitu pasar automotif dan konstruksi memasuki tahap saturation, Korea mengopi cara Jepang mengembangkan platform teknologi informasi (TI).

Dulu Jepang melalui korporasinya, Fujitsu, juga pernah mempermalukan Intel saat mengembangkan microprocessor chip pada 1980-an. Meski hak patennya ada di Intel, Fujitsu selalu mampu meluncurkan chipyang kapasitasnya dua kali lebih besar dalam waktu enam bulan lebih cepat dari kemampuan Intel memasuki pasar. Toh Intel bukannya menyeret Fujitsu ke ranah hukum, melainkan melakukan switching ke chip komputer dan membiarkan Fujitsu berjaya dalam industri game dan entertainment. Tapi mengapa sekarang Apple begitu marah pada Samsung?

Nazar Keras Kepala

Beberapa menit lalu, saat transit di Bandara Sydney, saya menyaksikan sejumlah orang memperdebatkan kasus Samsung. Seorang warga Korea menunjukkan tablet Samsung berlayar kaca antigores yang tak bisa dibuat Apple. Baginya Samsung pahlawan. Samsung bukanlah plagiator sejati karena juga mengembangkan teknologi hardware. Dan baginya, konsumen telah diuntungkan. Buktinya produk berteknologi sama bisa dipasarkan Samsung dengan separuh harga Apple.

Orang Amerika yang berada di sampingnya ternyata tak membela Apple, ia justru mengutuknya. Ia tidak bisa menerima langkah sweeping yang diajukan Apple untuk melakukan injunction sebagai lanjutan dari putusan peradilan yang memenangkan gugatannya. Injunction itu berupa permintaan agar delapan produk Samsung dilarang beredar di seluruh pasar Amerika. Seperti biasanya, setelah itu lawyer Apple yang jeli melihat uang akan melakukan hal serupa di negara-negara lain. Memang kalau diperhatikan, denda sebesar USD1 miliar yang diajukan kelihatan impresif.

Tapi bagi perusahaan global yang sedang tumbuh, jumlah sebesar itu hanya menarik di mata media. Harap maklum, anggaran promosi tahunan Samsung USD2,75 miliar. Samsung adalah penguasa pasar hardware Android terbesar di Benua Amerika (33%) mengalahkanLG, Moto, Sony, dan HTC. Bahkan Samsung menjadi pemasok komponen dan memory chip yang penting bagi Apple. Samsung menguasai 70% pasar memory chip untuk handset berbasiskan Android dan Apple, jauh melebihi Toshiba.

Bahkan 40% pasokan DRAM Apple datang dari Samsung. Maka, seperti yang saya duga, Samsung memilih bertempur ketimbang menarik diri. Cara Samsung memang berbeda dengan yang biasa ditempuh korporasi Jepang yang mudah menyerah kalau ditekan Amerika. Beberapa detik yang lalu CEO Samsung sudah membuat pernyataan yang sangat mengejutkan. “Kita akan terus bertempur dan bersungguh-sungguh menghadapi kenyataan ini.

Kita akan melakukan banding dan kami nyatakan akan terus berupaya untuk menjamin keberadaan barangbarang ini di berbagai jaringan ritel di Amerika Serikat dan dunia,” ujarnya. Saya kira, selain berwatak keras, Samsung juga paham bagaimana cara menghadapi lawyer Amerika Serikat. Menghadapi bangsa besar ini Anda tak bisa bermain dengan perasaan. Bangsa ini harus dilawan engan argumentasi.

Bila Anda diam berarti tidak mengerti atau kalah. Dan bagi yang kalah, pintu terbuka lebar. Bukan dengan sowan, cium tangan atau membuat pernyataan maaf di koran seperti yang menjadi ciri khas tuntutan para lawyer kita, melainkan membayar. Beberapa waktu lalu Apple juga membayar ganti rugi sebesar USD600 juta kepada Nokia karena dianggap lalai menyalahgunakan perjanjian hak cipta dalam kasus IP.

Selain itu Apple juga sepakat membayar sebesar USD11,5 dari setiap penjualan iPhone-nya kepada Nokia. Nah sekarang Apple wajib mencari dana penggantinya. Mudah saja bukan? Kalau Samsung tak bisa membayar, mereka akan mengalihkannya kepada pelanggannya. Itu saja. Mereka tak pernah berpikir konsumen itu perasa, punya pertimbangan lain dan seterusnya. Mereka juga tak berpikir hubungan jangka panjang dengan vendor-vendornya. Amerika adalah bangsa seperti yang saya sebutkan di atas.

Mereka pragmatis dan main logis, bukan win-win dan bukan hubungan saling membantu. Media massa di Amerika menyebut cara yang ditempuh Apple sebagai cara pemungut pajak. Denda ini kini dikenal dengan istilah “Apple Tax”. Jadi bagi Samsung, buat apa bawa-bawa perasaan atau memakai budaya Asia lainnya. Hadapi saja dengan perang ginseng, toh dengan beredarnya kasus ini brand power Samsung naik beberapa kali lipat.

Kendati harga sahamnya sempat anjlok dan platform baru bermunculan, Samsung masih punya kekuatan pasar yang besar. Samsung juga mulai mengincar Nokia dan Microsoft yang akan masuk besar-besaran ke dalam kategori produk yang sama. Jadi, bagi saya, perang ginseng masih panjang. Ini adalah bagian dari perjuangan yang diajarkan guru-guru sekolah bisnis Amerika Serikat sendiri pada bangsa-bangsa Asia. Mereka mengajarkan cara menyaingi korporasi dunia Amerika, bahkan cara menaklukkannya.

Mereka mengajarkan pentingnya inovasi dan memiliki paten teknologi. Dan bagi negara seperti Indonesia, penting agar menciptakan sophisticated corporate yang mampu menggantikan peran negara dalam penciptaan kesejahteraan. Ini berarti penting bagi kita melakukan transformasi dari factor-based economy (ekonomi berbaikan SDA) menjadi innovation-based economy. Dan dalam transformasi itu, intrik, saling menuntut dan menuduh dalam business law adalah hal yang biasa. Kata Ross Perot semua itu ada aturannya, kecuali bila Anda memasuki ranah politik. Jadi adu pintar saja. Mari kita pantau terus perang ginseng ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar