Jumat, 31 Agustus 2012

Sesat Pikir Kunjungan Kerja


Sesat Pikir Kunjungan Kerja
Reza Syawawi ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 31 Agustus 2012


Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sepertinya sudah tidak punya rasa malu. Di tengah "aroma" korupsi yang melibatkan banyak anggota DPR, pilihan melakukan kunjungan kerja ke luar negeri tetap dilakukan dengan alasan untuk kepentingan legislasi. DPR seolah tidak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya, padahal pada 2011 DPR sendiri pernah melakukan inisiasi untuk moratorium kunjungan kerja. Tetapi ini berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan pada 2012.

Sebanyak 13 anggota DPR malah beramai-ramai melakukan kunjungan kerja ke Brasil. Alasannya untuk belajar bagaimana mengatur desa, melihat proses penganggaran partisipatif (participatory budgeting), dan lain sebagainya. Hasilnya digunakan untuk menjadi bahan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Desa (Koran Tempo, 25 Agustus).

Jika dicermati sepintas, alasan ini terdengar masuk akal. Namun, jika ditelisik lebih jauh, kunjungan kerja ini tidak berkontribusi besar dalam penyusunan RUU Desa. Bagaimana tidak, karakteristik setiap desa yang ada di Indonesia saja tidak bisa digeneralisasi. Masing-masing daerah memiliki kekhasan masing-masing sesuai dengan adat budaya yang berkembang di daerah tersebut. Misalnya saja desa di Sumatera Barat akan berbeda dengan desa yang ada di Bali.

Maka, logika untuk memperbandingkan sistem desa sangat tidak masuk akal. Jangan sampai ada pemaksaan sistem pemerintahan desa yang diadopsi dari luar. Akibatnya tentu saja pengelolaan desa akan semakin amburadul, persis keadaan ketika Orde Baru memaksakan sistem pemerintahan desa pada waktu itu.

Sesat Pikir

Pada tataran yang lain, kunjungan kerja kerap dipandang "hak" dari anggota/fraksi di DPR. Jika hanya ingin melihat praktek dalam sistem di suatu negara, tentu saja tidak perlu mengikutkan begitu banyak anggota DPR. Namun itulah yang terjadi dalam setiap kunjungan kerja, anggota DPR beramai-ramai melakukannya. Bahkan beberapa ada yang mengikutkan anggota keluarganya, seperti istri dan anak.

Kunjungan kerja dianggap sebagai "jatah" yang harus diambil oleh anggota DPR/fraksi tanpa memperhatikan urgensi dan kapasitas keilmuannya. Diakui atau tidak, dalam beberapa kunjungan kerja yang pernah ada, anggota DPR nyaris tidak memperoleh hasil apa pun. Ini karena ketidakmampuan berkomunikasi ataupun minimnya kapasitas anggota DPR ketika berhadapan dengan pihak luar.

Akhirnya rombongan kunjungan kerja ini sebahagian besar hanya menjadi "penggembira". Hanya ada satu atau dua anggota DPR yang betul-betul paham dengan konteks masalah yang menjadi alasan mereka melakukan kunjungan kerja. Dari sisi substansi, urgensi untuk melakukan kunjungan kerja bisa dipertanyakan. Dalam banyak hal, sebetulnya dalam setiap proses pembahasan legislasi tidak perlu ada kunjungan kerja ke luar negeri. 

Ada banyak hal yang bisa diberdayakan dalam mencari informasi dari negara lain. Misalnya teknologi Internet yang menyediakan begitu banyak data dan informasi, termasuk literatur-literatur yang dengan mudahnya bisa diunduh. Belum lagi keberadaan perwakilan Indonesia di luar negeri bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi dan data yang diinginkan. Terkait dengan sistem penganggaran partisipatif yang ada di Brasil, misalnya, ini sudah menjadi diskusi yang sudah lama ada di Indonesia. Ada begitu banyak riset yang dilahirkan dari berbagai kelompok masyarakat sipil. 

Sebagai bahan perbandingan, Transparency International Indonesia (TII), misalnya, di beberapa daerah bahkan sudah menjadikan ini sebagai bahan training dalam penguatan partisipasi warga dalam proses penganggaran. Jadi, secara substansi sudah cukup tersedia, hanya tinggal bagaimana menjadikannya sebagai bagian dari kebijakan anggaran, termasuk penguatan dari sisi perundang-undangan.

Semua hal ini sangat beralasan untuk dijadikan dasar menilai bahwa anggota DPR telah "sesat pikir" dan sesat memahami urgensi sebuah kunjungan kerja. Hampir tidak ada ukuran yang jelas dan konkret untuk bisa menetapkan standar kebutuhan dalam menjalankan fungsi-fungsi DPR. Hal-hal yang tidak perlu kerap tetap dilakukan dengan alasan yang diada-adakan.

Inflasi 

Kunjungan kerja sudah bisa disebut sebagai "wabah", karena hampir semua institusi/lembaga melakukannya. Di lingkungan birokrasi biasa disebut perjalanan dinas. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam temuannya bahkan menyatakan bahwa hampir semua daerah menjadikan aktivitas perjalanan dinas sebagai salah satu "ranah" korupsi dalam pengelolaan keuangan negara. Modus yang paling sering ditemukan misalnya terkait dengan pemalsuan aktivitas perjalanan dinas itu sendiri (fiktif).

Dalam konteks DPR, perjalanan dinas atau kunjungan kerja fiktif memang agak sulit dilakukan. Maka, hal yang terjadi justru sebaliknya, DPR menjadi sangat "rajin" melakukan kunjungan kerja ke negara lain dengan alasan-alasan yang sebetulnya "fiktif". Hampir semua rancangan produk legislasi (RUU) selalu disertai dengan aktivitas kunjungan kerja. Jika diperbandingkan kinerja legislasi dengan aktivitas kunjungan kerja, bisa dikatakan keduanya saling bertolak belakang. Faktanya, DPR tidak pernah secara tuntas menjalankan program legislasi nasional yang disepakati setiap tahun, namun DPR selalu "tuntas" dalam melakukan kunjungan kerja. 

Artinya ini tidak produktif untuk menunjang fungsi-fungsi DPR, yang terjadi justru "inflasi" kunjungan kerja, sementara dari sisi kinerja mengalami "deflasi". Secara ekonomi dan keuangan negara, ini tentu saja menjadi bagian dari pemborosan, atau bahkan bisa mengarah ke praktek penyalahgunaan anggaran negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar