Sabtu, 29 September 2012

Imbas Krisis Kian Terasa


Imbas Krisis Kian Terasa
(Wawancara)
Muslimin Anwar ;  Ekonom Universitas Indonesia   
SUARA KARYA, 29 September 2012


Dalam berbagai kesempatan di hadapan masyarakat internasional, pemerintah seringkali memastikan bahkan menepuk dada betapa Indonesia berhasil berkelit lincah dari serangan dampak krisis finansial global terutama Eropa.

Pertumbuihan ekonomi dan kokohnya sektor keuangan dikedepankan sebagai bukti kepiawaian pemimpin negeri ini membawa Indonesia ke posisi aman. Namun, belakangan deklarasi itu mulai dipertanyakan. Ini mengingat berbagai kalangan mulai dari pengamat hingga dunia usaha mulai merasakan beberapa indikator yang menunjukkan bahwa Indonesia telah terkena dampak krisis global. Artinya, krisis itu sudah sampai di Indonesia.

Wartawan Harian Umum Suara KaryaDevita Dahlia mewawancarai ekonom Universitas Indonesia, Muslimin Anwar mengenai hal ini.

Secara riil, apakah krisis Eropa sudah melanda Indonesia?

Indonesia yang menganut sistem perekonomian terbuka tak bisa bebas dari pengaruh perkembangan ekonomi yang terjadi di luar negeri, khususnya dari negara-negara maju, termasuk dari benua Eropa. Krisis keuangan yang masih melanda benua Eropa, khususnya bagian barat tentunya memiliki dampak terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari kinerja ekspor kita yang menunjukkan pelemahan, khususnya barang tambang seperti batubara, tembaga dan nikel. Selain karena faktor krisis keuangan Eropa, ekspor barang-barang tambang tersebut juga berpotensi menurun dalam jangka pendek terkait dengan kebijakan pengetatan ekspor mineral. Selain faktor kebijakan, penurunan ekspor batubara disebabkan oleh melemahnya permintaan dari China dan India sebagai dampak menurunnya permintaan Eropa dan AS terhadap barang-barang mereka.

Selain sektor pertambangan, kinerja ekspor sektor tradables, seperti sektor industri pengolahan dan pertanian juga terpengaruh oleh risiko memburuknya perekonomian Eropa lebih dalam dan tersendatnya proses pemulihan ekonomi China.

Kondisi ini ditambah dengan masih tidak jelasnya prospek penanganan krisis Eropa, masih rentannya pemulihan ekonomi AS dan moderasi pertumbuhan ekonomi China telah turut memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah selama Agustus 2012 dan diperkirakan masih berlanjut selama September 2012.

Pasang surut ekspektasi investor global terhadap rencana stimulus lanjutan oleh The Fed dan ECB untuk memacu perekonomian yang melemah memberikan tekanan pada pasar keuangan global dan pergerakan nilai tukar rupiah selama bulan Agustus 2012 yang secara rata-rata terdepresiasi.

Seberapa jauh daya tahan Indonesia terhadap krisis Eropa?

Meskipun krisis keuangan Eropa memberikan imbas terhadap perekonomian Indonesia, namun sejauh ini masih belum menunjukkan tanda-tanda pemburukan yang berarti bagi perekonomian domestik yang masih tetap berjalan sesuai dengan kapasitas ekonominya. Perekonomian domestik dalam triwulan II dan III 2012 masih tetap kuat didukung tingginya konsumsi dan investasi dengan pertumbuhan ekonomi masing-masing sekitar 6,4 persen.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat cukup tinggi didukung oleh meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap prospek ekonomi dan terkendalinya inflasi paska Hari Raya Idul Fitri. IHK pada Agustus 2012 tercatat hanya 0,95% (mtm) sehingga secara tahunan tercatat sebesar 4,58% (yoy). Ke depan, inflasi pada tahun 2012 dan 2013 diperkirakan masih akan berada pada kisaran sasaran sebesar 4,5 persen plus minus 1 persen.

Investasi juga tercatat tetap solid, didorong oleh tingginya kepercayaan dunia usaha terhadap prospek ekonomi, dan didukung pembiayaan investasi baik yang bersumber dari perbankan maupun investasi langsung (FDI). Hal ini menunjukkan kepercayaan investor yang tinggi terhadap perekonomian Indonesia.

Indikator daya tahan perekonomian domestik juga dapat dilihat dari jumlah cadangan devisa yang masih relatif aman di mana pada akhir Agustus 2012 tercatat justru sedikit meningkat dibandingkan posisi akhir bulan Juli 2012, yaitu mencapai 109 miliar dolar AS atau setara dengan 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Apa indikator yang paling mudah untuk melihat Indonesia sudah terkena krisis?

Inflasi meningkat tajam, resesi perekonomian, volatilitas nilai tukar meroket seketika, IHSG yang terjun bebas dalam sekejap.

Apakah defisit neraca perdagangan Indonesia terkait dengan krisis Eropa?

Defisit neraca perdagangan Indonesia bukanlah semata-mata karena krisis Eropa, namun merupakan bauran dari berbagai faktor, seperti relatif masih lemahnya ekonomi negara mitra dagang utama - seperti AS, Jepang, China, dan India -, pergerakan harga komoditas global, tren depresiasi nilai tukar rupiah selama beberapa waktu lalu, dan masih terbatasnya diversifikasi tujuan ekspor Indonesia.

Bagaimana prospek Indonesia ke depan di tengah krisis Eropa?

Bagus, karena indeks keyakinan konsumen yang dihimpun dari berbagai survei menunjukan tren yang kuat dan baik didukung oleh daya beli masyarakat yang tetap solid dan tingkat inflasi yang terkendali, suku bunga simpanan dan kredit yang dalam tren menurun, serta potensi perbaikan pendapatan ekspor.

Survei Konsumen yang dilakukan Bank Indonesia pada Agustus 2012 menunjukkan bahwa indeks penghasilan dan lapangan kerja saat ini serta indeks ekspektasi lapangan kerja dan penghasilan meningkat. Hal ini menunjukkan adanya potensi kinerja konsumsi rumah tangga yang tetap baik.

Prospek ke depan yang baik juga ditunjukkan oleh belanja modal pemerintah yang menunjukkan kenaikan hingga mendukung pertumbuhan investasi. Selain itu, indikator dini investasi, seperti masih tingginya penjualan semen dan impor bahan bangunan, mengonfirmasi potensi kuatnya pertumbuhan investasi ke depan.

Penurunan suku bunga simpanan seperti deposito riil 1 bulan juga akan memberikan efek peningkatan investasi ke depan. Dari sisi pembiayaan, suku bunga kredit yang berangsur menurun mendorong meningkatnya penyaluran kredit perbankan ke sektor-sektor riil yang produktif.

Antisipasi apa yang harus disiapkan pemerintah untuk mempertahankan 'posisi aman' itu?

Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri untuk menjaga agar perekonomian kita tetap stabil dan tumbuh positif. Pemerintah harus mau bekerjasama dan bekerja cerdas dengan para stakeholders-nya seperti Bank Indonesia, DPR, dan para pelaku ekonomi dengan tetap fokus pada kebijakan fiskal yang tepat sasaran dan tepat waktu.

Faktor penghambat pertumbuhan ekonomi selama ini yang tak kunjung rampung seperti permasalahan infratrustur, khususnya yang memperlancar dan menghemat distribusi barang dan orang harus segera dicarikan jalan keluarnya secara cepat dan tepat. Hanya dengan begitu barang-barang kita akan diproduksi secara jauh lebih efisien sehingga memiliki daya saing yang lebih tinggi lagi. Kita tentunya sudah mahfum jikalau kemacetan di jalur lalu lintas barang dan kemacetan dalam birokrasi dan perizinan itu sungguh merupakan pemborosan yang sia-sia.

Sementara itu, Bank Indonesia juga harus lebih fokus lagi terhadap upaya pengendalian inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah agar pelaku ekonomi lebih memiliki kepastian dalam melaksanakan transaksi bisnisnya.

Di sisi lain, pelaku ekonomi juga didorong untuk menunjukkan rasa patriotismenya untuk tidak mengedepankan profit usahanya saja dan juga kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan cara di antaranya membayar pajak dalam jumlah yang benar dan dengan prosedur yang benar; mencatatkan devisa hasil ekspornya secara baik dan penuh serta memarkir dananya pada perbankan di dalam negeri tidak memarkirnya kembali pada perbankan di luar negeri. Dengan begitu maka kebutuhan valuta asing dalam negeri dapat tetap terpenuhi sehingga nilai tukar rupiah dapat terjaga kestabilannya dan transaksi perekonomian dalam negeri berjalan penuh kepastian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar