Kamis, 27 September 2012

Kelembagaan Pangan


Kelembagaan Pangan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KOMPAS, 27 September 2012


Mengapa pangan di negeri ini selalu dirundung masalah? Seperti penyakit laten, pelbagai masalah pangan timbul-tenggelam.

Saya sepenuhnya setuju atas lima hal pokok—pola makan yang keliru, beleid berorientasi pasar, penyerahan semua urusan pangan ke daerah, hanya memikirkan konsumen, dan alpa memikirkan konsekuensi keberhasilan—yang ditulis Sapuan Gafar (Kompas, 1/8/2012) yang membuat pangan selalu berselimut kemelut.

Tiga hal yang dielaborasi Prof Ahmad Erani Yustika (Kompas, 19/7/2012), yaitu ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan lemahnya peran stabilisasi Bulog, membuat potret acak-adul pangan kian komplet. Namun, elaborasi itu belum cukup untuk membongkar apa sesungguhnya akar masalah pangan kita. Ada satu sumbu utama yang membuat pangan acak-adul: keterputusan kelembagaan pangan.

Kontradiktif
Kelembagaan adalah aturan main, baik bersifat struktural maupun kultural. Kelembagaan lebih luas dari sekadar organisasi. Sebagai aturan dan hak yang tegas memberikan naungan, sanksi, dan konstrain terhadap individu-individu dan kelompok dalam menentukan pilihan. Kelembagaan dapat diprediksi, stabil, dan dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Arifin, 2012).

Sebagai kebijakan publik, kelembagaan (pangan) bisa disidik dari tiga tingkatan: politis-strategis (kebijakan), organisasi (institusi dan aturan main), dan implementasi (untuk evaluasi dan umpan balik). Pada level politis-strategis, UUD 1945 mengamanatkan negara menyediakan penghidupan yang layak bagi warga, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, akses pendidikan, dan hak dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar. Pendek kata, konstitusi mengakui pangan merupakan kebutuhan dasar yang asasi. Pemenuhannya menjadi kewajiban (mutlak) negara.

Masalahnya, UUD 1945 tidak selalu jadi acuan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang mencakup kebijakan dan tata kelola organisasi pemerintah di bidang pangan meletakkan pangan sekadar ”soal teknis”. Pangan hanya diletakkan pada satu sudut (sektor) bukan masalah sentral. Seharusnya, sebagai bagian usaha negara memenuhi hak warga, pangan harus diperlakukan sebagai soal hidup-mati, seperti disampaikan Bung Karno saat meletakkan batu pertama Fakulteit Pertanian IPB, 27 April 1952. Sebagai soal hidup-mati, pangan merupakan masalah bangsa, bukan sektoral.

Pada level organisasi, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang diketuai Presiden dan secara harian diketuai Menteri Pertanian merupakan kelembagaan tertinggi di bidang pangan. Selain Bulog dan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/ kota), DKP melibatkan 14 menteri yang terkait langsung soal pangan.

Di Thailand, lembaga serupa bernama National Food Commision (NFC) membawahkan 11 kementerian. Berkat kinerja NFC, pangan di Thailand maju luar biasa. Indonesia sebaliknya. Masalah terjadi karena gerak DKP sehari-hari diserahkan kepada eselon I: Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementerian Pertanian. Jangankan menggerakkan menteri terkait, mengoordinasikan sesama pejabat eselon I lintas kementerian saja BKP tak berdaya.

Akhirnya, terjadilah kontradiksi yang tidak masuk akal: pangan yang amat strategis dan multisektoral hanya diurus pejabat setingkat dirjen. Ketua DKP yang mestinya dirjen justru mati suri. Jadi, secara organisasi masalahnya bukan pada kewenangan, melainkan soal kepemimpinan.

Pada level implementasi, karena tak ada lembaga yang merumuskan kebijakan dan mengoordinasikan kegiatan pangan, pelbagai kontradiksi, komplikasi kebijakan, dan egosektoral selalu berulang. Tak ada evaluasi dan umpan balik. Masalah-masalah prinsip yang potensial membuat aneka kebijakan pangan lumpuh tanpa intervensi.

Misalnya, di level hulu bagaimana Kementerian Pertanian seolah berjalan sendiri mencapai target surplus 10 juta ton beras, swasembada gula, jagung, kedelai, dan daging sapi pada 2014. Untuk mencapai itu, mutlak perlu tambahan lahan dan ketersediaan air. Namun, Kementerian Kehutanan justru mengobral lahan (hutan) untuk segelintir pengusaha tambang, HPH, HTI, atau perkebunan. Target pembangunan dan perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, pelabuhan, dan lain-lain) Kementerian PU juga tak nyambung dengan target-target swasembada.

Penuh Paradoks
Terjadilah paradoks yang tidak masuk akal. Program peningkatan daya saing, peningkatan produksi dan kesejahteraan petani selalu didengungkan, tetapi pada saat yang sama degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibat pembabatan hutan dan buruknya implementasi tata ruang akibat intervensi pemodal kuat/pejabat dengan argumen sumber devisa terus berlangsung nir-intervensi.

Daya tampung dan distribusi daerah aliran sungai juga kian memburuk karena infrastruktur irigasi tak pernah dibenahi. Waduk-waduk besar di Jawa airnya kritis. Mungkinkah menanam kalau air tak tersedia cukup? Pupuk, bibit unggul, dan semua input tak akan optimal tanpa air. Berlanjutnya konversi lahan produktif membuat investasi irigasi dan jalan jadi muspro ’sia-sia’.

Di hilir, kondisinya makin parah. Bukan saja tak terkoordinasi, kepentingan setiap kementerian justru bertolak belakang. Semua pihak berpikir untuk kepentingan sektoral. Ketika Kementerian Pertanian mati-matian menggenjot produksi, Kementerian Perdagangan justru mengobral izin impor. Keputusan mengimpor 1 juta ton beras pada saat panen masih berlangsung dan pemangkasan subsidi pupuk dari 10 juta ton jadi 8,5 juta ton untuk menambal defisit APBN hanya contoh kecil dari aneka kontradiksi itu. Nihilnya dukungan bank, pencabutan subsidi, tidak fokusnya perencanaan SDM pertanian, liberalisasi kebablasan, dan tidak bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani akhirnya membuat berbagai upaya menjadi sia-sia.

Yang paling parah, sejak otonomi daerah, Kementerian Pertanian seperti anak tiri karena tak punya ”tangan dan kaki” di daerah. Apalagi para elite daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Padahal, implementasi dan eksekusi program ada di daerah. Dalam kondisi seperti itu, petani miskin dan gurem berjuang sendiri. Sampai kapan ini berlangsung? Mungkinkah menumpukan pangan kepada petani miskin-gurem?

Saat ini, pemerintah-DPR tengah menuntaskan revisi UU No 7/1996 tentang Pangan. Dalam Pasal 113 RUU Pangan, diusulkan pembentukan Kementerian Negara Urusan Pangan. Kementerian bertugas merumuskan dan melakukan koordinasi kebijakan pangan nasional, menjamin ketersediaan, akses, stabilisasi, dan keamanan pagan nasional.  

Akankah masalah pangan usai dengan pembentukan kelembagaan ini? Tentu tidak. Selain kelembagaan, lebih penting lagi adalah keberpihakan, keberpihakan pada petani dan produksi domestik. Tanpa keberpihakan, kelembagaan hanya macan ompong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar