Jumat, 28 September 2012

Kesahajaan Gus Dur


Kesahajaan Gus Dur
Ali Masykur Musa ; Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama 
SINDO, 27 September 2012


Sudah seribu hari KH Abdurrahman Wahid berpulang. Raganya terbaring di kampung halamannya, Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng Jombang, tepat di sebelah makam sang kakek KH Hasyim Asy’ari dan ayahnya KH Wachid Hasyim. 

Bagi Indonesia dan NU, berpulangnya Gus Dur mempunyai bekas yang dalam. Tidak ada orang NU seperti Gus Dur atau bahkan mungkin tidak ada manusia Indonesia sekelas Gus Dur. Hidup dan matinya bikin heboh. Sewaktu hidup, ia menjadi manusia Indonesia paling kontroversial. Sepak terjang dan pernyataannya selalu menimbulkan pro-kontra. Ketika meninggal, kematiannya mengagetkan semua orang, baik kawan atau lawan.

Seluruh media Indonesia menempatkan kabar kematian Presiden RI keempat itu di halaman muka disertai dengan obituari, memorial tribute, dan ulasan tentang riwayat hidupnya. Upacara pemakamannya dihadiri puluhan atau bahkan ratusan ribu orang, mungkin merupakan upacara pemakaman paling kolosal di Indonesia. Hingga kini makamnya di kompleks Pesantren Tebuireng terus dibanjiri para peziarah. Ruas jalan di sekitar pesantren dipenuhi para pedagang yang menjual berbagai macam produk dari makanan hingga suvenir.

Makam Gus Dur telah menjadi salah satu objek ziarah para wali di tanah Jawa. Tentu saja hal ini menjadi berkah ekonomi tersendiri bagi warga sekitar. Bahkan, dari pengurus Ponpes Tebuireng diperoleh informasi bahwa jumlah santri di Ponpes Tebuireng mengalami peningkatan sejak jenazah Gus Dur dimakamkan di sana. Gus Dur memang tidak pernah berhenti menjadi magnet, baik semasa hidup maupun sepeninggalnya. Saya yakin, jika dia bukan orang “istimewa” di sisi Tuhan, tidak mungkin ia sanggup menggerakkan jutaan orang semasa hidup, bahkan sepeninggalnya.

Sang Guru 

Keistimewaan Gus Dur adalah pantulan dari berbagai macam kualitas yang melekat pada dirinya. Terlahir sebagai seorang “gus” berdarah biru, ia menonjol sebagai seseorang dengan kecerdasan di atas rata-rata. Sebelum terserang stroke, Gus Dur konon hafal seribuan nomor telepon di luar kepala. Ia menguasai berbagai bahasa dunia. Ia mampu berbicara dengan semua lapisan, dari mimbar-mimbar ilmiah, aktivis, kiai, hingga forum-forum pengajian rakyat. Pergaulannya luas, minat intelektualnya tak terbatas.

Dan di atas semua itu, tidak ada yang lebih mengesankan ketimbang kepribadiannya. Saya mengenal Gus Dur sejak 1985-an melalui tulisan dan kiprahnya yang diliput di berbagai media nasional. Ketika hijrah ke Jakarta dan menjadi ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (LPSDM PB PMII) periode 1988–1991, saya mulai dapat bertemu secara fisik dengan Gus Dur yang waktu itu telah menjabat sebagai ketua umum PBNU yang kiprah dan pemikirannya telah menjadi pembicaraan banyak kalangan.

Jika ada kesempatan, saya sering menyelinap di kantor Gus Dur di Jalan Kramat Raya untuk mendiskusikan berbagai isu nasional. Persinggungan saya dengan Gus Dur lebih intens lagi ketika saya terpilih sebagai ketua umum PB PMII periode 1991–1994. Gus Dur menjadi narasumber tetap dalam acara-acara yang digelar PB PMII.

Sejak saat itu, saya beruntung mendapat kesempatan untuk mengenal Gus Dur lebih dekat. Di antara kelebihan-kelebihan Gus Dur yang tidak bisa diurai satu per satu, berikut ini salah satunya. Semua orang, terutama yang mengaku sebagai kader dan pendukungnya, harus mempelajari sari pati ajaran Gus Dur, yaitu kesahajaan dan keihkhlasannya selama hidup.

Kesahajaan 

Tentang sifat kesahajaannya, semua orang hampir tidak menemukan perbedaan antara Gus Dur yang ketua umum PBNU dan Gus Dur sebagai presiden RI. Hidup dan sikapnya tidak berubah. Gus Dur tetap sederhana. Selera makan dan busananya tidak pernah mewah. Gus Dur tetap lebih nyaman menggunakan sandal ketimbang sepatu berkilat. Gus Dur juga lebih nyaman menggunakan kemeja batik ketimbang jas berdasi.

Kesederhanaan Gus Dur telah merombak wajah Istana yang angker di zaman Orde Baru menjadi istana rakyat. Semua orang keluar masuk tanpa banyak direpotkan oleh aturan protokoler. Hanya di zaman Gus Dur orang bersandal jepit dapat masuk Istana. Di kompleks istana rakyat inilah tiap pagi Gus Dur berjalan atau didorong di atas kursi roda mengitari istana mengenakan kaus dan celana pendek. Istana betul-betul telah diruntuhkan kesakralannya oleh Gus Dur.

Gus Dur bukan tipe orang yang terikat oleh ruang dan waktu. Kepribadiannya mengatasi ruang, spiritualitasnya mengatasi waktu. Hatinya tetap utuh duduk di Istana Negara atau di bangku warung soto langganannya. Karena sifat inilah Gus Dur tidak pernah mengalami postpower syndrome sebagaimana dialami kebanyakan pejabat setelah lengser dari jabatannya. Gus Dur keluar dari Istana menyapa pendukungnya pada malam hari setelah impeachment parlemen mengenakan kaus dan celana pendek, sebuah perlambang jelas bahwa bagi Gus Dur istana dan jabatan presiden adalah sesuatu yang remeh.

Kalaupun Gus Dur sempat bertahan, itu bukan karena ambisi kekuasaan, melainkan karena perspektif kebenaran yang diyakini dan harus dipertahankannya. Setelah lepas dari jabatan presiden, Gus Dur kembali ke habitat sebagai aktivis masyarakat tanpa hambatan psikologis sama sekali. Gus Dur tidak pernah menuntut perlakuan lebih sebagai mantan orang nomor 1 di Indonesia.

Keikhlasan 

Tentang keikhlasannya, Gus Dur bisa digambarkan sebagai orang yang berjiwa plong berdada “bolong”. Hatinya ikhlas. Saking ikhlasnya Gus Dur menjadi orang paling cuek di Indonesia. Ia berbuat tanpa peduli pada penilaian orang. Gus Dur berbuat bukan karena ingin dipuji atau takut dicaci manusia. Ia berbuat dan melakukan sesuatu karena perspektif kebenaran yang diyakininya. Ia tidak menilai sesuatu karena penilaian orang.

Ia tidak berpendapat karena kebanyakan orang berpendapat. Ia tidak melakukan sesuatu hanya demi menyenangkan orang. Ia adalah tipe manusia otentik dan soliter. Akibatnya, ia tidak peduli bahwa sepak terjangnya ternyata menyelisihi harapan banyak orang. Ia sering melawan arus. Pada diri Gus Dur tidak ada kamus jaga imej. Ia tidak peduli pada penilaian manusia, sebab yang ada di hatinya adalah penilaian Tuhan dan perspektifnya yang otentik terhadap kebenaran. Inilah refleksi dari keikhlasan yang sesungguhnya. Jiwanya bolong, tembus ke arasy.

Hanya Gus Dur dan Tuhan yang paling mengerti apa peran yang dimainkannya di dunia. Karena Gus Dur tidak peduli pada penilaian manusia, manusia sering gagal menilai apa maunya. Jika salah ia tetap akan mengatakan salah dan mengambil posisi berseberangan. Pada saat menjabat sebagai presiden RI, banyak orang yang tersangkut masalah hukum mencoba menjinakkan Gus Dur melalui orang sekelilingnya.

Saya pribadi termasuk orang yang ikut “kecipratan” berkat Gus Dur. Saya berkesempatan berkiprah di PKB dan dipercaya menjadi anggota DPR dan BPK RI. Pada periode genting di mana Gus Dur ditinggalkan dan ditentang oleh banyak orang, saya bersyukur dapat terus mendampingi Gus Dur hingga wafat. Secara subjektif, saya mendapat nikmat tak terkira bahwa dalam perjalanan karier politik tetap bersama Gus Dur.

Maka, atas kepergian Gus Dur, kepala saya tertunduk dan jiwa saya tersungkur. Beliau pergi meninggalkan pelajaran moral yang tak ternilai. Jasadnya mati, tetapi rohnya tidak. Gus Dur terus berbicara kepada kita melalui tulisan, pemikiran, serta ajaran-ajaran yang harus diteruskan oleh para ahli waris perjuangannya. Seribu hari sudah Gus Dur meninggalkan kita, tetapi sesungguhnya visi dan perjuangannya terus melekat pada sanubari kita. Mengenang Gus Dur, bukankah kita berkewajiban untuk meneruskan perjuangannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar