Jumat, 28 September 2012

Melucuti Kewenangan KPK


Melucuti Kewenangan KPK
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar 
SINDO, 27 September 2012


Tak henti-hentinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dihantam badai yang bertujuan memangkas kewenangannya. Mulai dari uji materi sejumlah ketentuan Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK (UU KPK) oleh terdakwa korupsi, kriminalisasi pimpinan KPK jilid kedua, sampai pada dugaan pelemahan penyidikan kasus korupsi kelas kakap yang sedang ditangani KPK melalui penarikan 20 penyidik Polri yang bertugas di KPK. Badai terakhir adalah rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU KPK. Betapa tidak, sejumlah kewenangan superbodi (substansial) KPK yang selama ini ditakuti koruptor dan calon koruptor akan dilucuti melalui revisi UU KPK.

Di antaranya pembatasan penyadapan serta penghapusan penuntutan dan hak untuk tak mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Pelucutan itu dipastikan akan memperlemah KPK dalam memburu para pencoleng uang rakyat. KPK akan digiring ke ruang hampa yang pada akhirnya mati secara pelanpelan.

Wajar jika Ketua KPK Abraham Samad mulai berpikir untuk tidak melanjutkan kepemimpinan nya di KPK (mengundurkan diri) jika DPR betul-betul mempreteli kewenangan superbodi KPK. Bagi Abraham, pencopotan kewenangan itu sama saja menggergaji setengah napas dan sengaja menunggu KPK mati.

Motif Terselubung? 

Kita menghargai sikap Abraham, sebab jika penyadapan dibatasi (dalam revisi RUU KPK harus mendapat izin ketua pengadilan), penuntutan dilucuti, dan hak KPK tidak mengeluarkan SP3 dicopot, buat apa lagi lembaga antikorupsi itu ada? Lebih baik dibubarkan dan kembali berharap kepada polisi dan kejaksaan.

Padahal, begitu tegas filosofi dibentuknya KPK dalam konsideran menimbang huruf a dan b UU KPK bahwa pemberantasan korupsi belum dilaksanakan secara optimal dan lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Rakyat sudah memahami motif DPR, misalnya, karena banyak anggota DPR yang merasa gerah oleh ketegasan dan keberanian KPK menangkap dan menahan sejumlah wakil rakyat yang diduga terlibat korupsi (suap dan penyalahgunaan wewenang).

Puluhan anggota DPR telah meringkuk dalam tahanan, sejumlah yang lain sedang antre menunggu giliran, bahkan tidak sedikit yang sedang dalam intaian KPK. Selama ini kita sering dibuai pernyataan beberapa wakil rakyat yang katanya DPR mendukung sepenuhnya KPK, tetapi realitas berkata lain. Lihat saja penolakan DPR atas keinginan pimpinan KPK membangun gedung baru untuk mendukung efektivitas tugas-tugas mereka. Begitu pula larangan bagi KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam Pasal 40 UU KPK juga ada filosofinya.

Pertama, memotivasi KPK agar lebih berhati-hati, lebih serius, dan profesional dalam melakukan penyelidikan. Kasus yang diselidiki harus betul-betul matang barulah ditingkatkan ke penyidikan. Kedua, menutup peluang bagi pimpinan KPK plus penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK menerima sogok dan gratifikasi. Ketiga, KPK diberi sembilan kewenangan superbodi yang tidak sama dengan kepolisian dan kejaksaan sehingga apa gunanya kewenangan itu diberikan jika pada akhirnya dihentikan penyidikan atau penuntutannya.

Penarikan Penyidik 

Penarikan 20 penyidik Polri yang ada di KPK menjadi sorotan tersendiri. Sebab menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, merekalah yang menyidik kasus simulator SIM, kasus Bank Century, dan kasus Hambalang, bahkan ada di antaranya yang menangani lebih dari 10 kasus. Beberapa penyidik yang ditarik ada yang baru bertugas tahun pertama dan tahun kedua dari kontrak kerja empat tahun.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 63/2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK, masa tugas pegawai KPK (penyidik) empat tahun dan dapat diperpanjang selama empat tahun lagi. Artinya, beberapa penyidik yang ditarik belum habis masa kerjanya di KPK. Tapi Polri beralasan bahwa sesuai dengan kesepakatan (MoU) dengan KPK tahun 2010, penyidik Polri harus diperbarui surat perintahnya setiap tahun oleh Mabes Polri.

Hanya saja, permohonan memperbarui surat perintah untuk 20 penyidik yang diajukan KPK ditolak Polri pada 12 September 2012. Lagi-lagi MoU mencederai PP No 61/2005 sebagai ketentuan yang lebih tinggi karena mestinya surat perintah tugas berlaku selama empat tahun dan tidak perlu diperpanjang setiap tahun. Tentu saja rakyat tidak ingin wewenang superbodi KPK dipreteli sedikit demi sedikit karena pada akhirnya rakyat sebagai korban yang dirugikan dari keserakahan koruptor.

Perlu disadari, saat negeri ini punya lembaga antikorupsi yang punya wewenang superbodi seperti KPK saja korupsi tidak kunjung dihabisi, bagaimana jadinya jika KPK dimandulkan? Makanya, penarikan itu perlu dijadikan momentum bagi KPK untuk merekrut penyidik independen yang bukan dari kepolisian dan kejaksaan.

Hal itu dimungkinkan menurut Pasal 45 ayat (1) UU KPK bahwa “penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”. Meski tidak mudah dilakukan karena butuh dana untuk merekrut dan mendidik khusus calon penyidik, KPK tidak boleh pesimistis. Jika rekrutmen penyidik independen belum bisa secepatnya dilakukan, KPK boleh saja meminta bantuan penyidik dari POM TNI, sebab perang melawan korupsi memang bukan pekerjaan gampang dan menyenangkan.

Apalagi kerja sama KPK dengan TNI untuk menggunakan rutan TNI bagi tahanan KPK sudah dilakukan sehingga bisa dilanjutkan dengan kerja sama bantuan penyidik. Ini salah satu langkah progresif karena perang terhadap korupsi merupakan keniscayaan yang butuh tindakan luar biasa. Tapi kita juga prihatin dengan pola yang dipakai KPK dalam menangani kasus korupsi. Semua kewenangan superbodi seharusnya digunakan dengan mengubah paradigma.

KPK dalam mengungkap kasus jangan dengan perumpamaan “makan bubur atau meniti anak tangga”yang dimulai dari pinggir, tetapi sudah kenyang sebelum menyentuh bagian tengahnya. KPK harus pakai teori “makan nasi tumpeng” yang langsung memproses pelaku kakap, terutama dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan pengeluaran kebijakan yang melawan hukum, kemudian menyusul pelaku kelas ecek-ecek.

Kewenangan pamungkas yang diberikan UU tidak boleh tumpul dan sia-sia hanya karena KPK mendapat tekanan politik. Dalam kasus Hambalang dan Bank Century misalnya, rakyat menanti penggunaan perangkat kewenangan yang superbodi. Sebab salah satu ukuran keberhasilan KPK jilid ketiga adalah kasus Hambalang dan Bank Century. Untuk mengungkapnya, butuh paradigma baru, yaitu teori “makan nasi tumpeng” dengan memaksimalkan perangkat kewenangan yang superbodi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar