Sabtu, 29 September 2012

Memutus Mata Rantai Tawuran


Memutus Mata Rantai Tawuran
Satrio Wahono ;  Budayawan
SUARA KARYA, 28 September 2012


Lagi-lagi, wajah dunia pendidikan kita tercoreng! Betapa tidak, hanya dalam waktu dua hari tragedi tawuran yang menelan korban jiwa kembali terjadi di Ibu Kota Jakarta. Pertama, terjadi tawuran Senin (24/9/2012) antara pelajar SMAN 6 dan SMAN 70 di bilangan Blok M, mengakibatkan seorang siswa tewas terkena bacokan senjata tajam. Tawuran kedua terjadi di Manggarai, Jaksel, antara SMK Yayasan Karya 66 dan SMA Kartikaa Zeni yang juga menimbulkan korban jiwa seorang pelajar pada Rabu (26/9/2012). Parahnya, FR, tersangka kasus pembacokan di Blok M, Jaksel, tampak tak menunjukkan penyesalan sama sekali atas tindakannya itu.

Tak pelak, deretan kasus ini laksana tamparan serius bagi para stakeholders (pemangku kepentingan) dunia pendidikan. Sungguh, tawuran sudah menjadi fenomena yang meluas. Artinya, institusi pendidikan tampaknya gagal mendidik siswa-siswa mereka menjadi pribadi yang diharapkan muncul dari pendidikan. Yaitu, mengutip Anita Lie dalam Cooperative Learning (2005), siswa menjadi manusia yang mandiri sekaligus mampu hidup berdampingan dan menunjang kelangsungan hidup sesamanya.

Sejatinya, ada dua mata rantai yang bisa teramati dari peristiwa tawuran di atas. Pertama, tawuran sebagai institusi atau pranata. Maksudnya, sebagai suatu nilai yang sudah demikian melembaga serta dihayati betul oleh para anggota suatu kelompok.
Dalam kerangka antropologi, tawuran adalah semacam perekat identitas khas kelompok dan berperan sebagai ritus akil baliq atau inisiasi (rites of passage) bagi para anggota baru kelompok.

Dalam masyarakat tradisional, ritus itu bisa berupa tugas perburuan hewan. Namun, dalam konteks sekolah yang memiliki budaya tawuran, ritusnya adalah tawuran itu sendiri.
Jadi, seorang pelajar baru, tidak akan dianggap sah menjadi bagian dari kelompok pelajar yang lebih besar jika dia tidak melewati ritus akil baliq berupa tawuran. Sekaligus, ritus tawuran akan menegaskan identitas kelelakian sempurna atau kedewasaan seorang pelajar, sebuah prestasi yang kemudian bisa dibangga-banggakan kepada khalayak lebih luas. "Filosofi" ritus tawuran jadinya adalah upaya menunjukkan kekuatan fisik khas laki-laki yang militan atas orang lain yang menciptakan budaya militerisme.

Tanpa melakoni ritus tawuran, seorang pelajar akan diberikan stigma sebagai "warga kelas dua" atau warga belum dewasa yang tidak memiliki martabat dan hak penuh sebagaimana mereka, yang sudah melewati tawuran. Stigma inferior itu juga tercermin dari istilah-istilah ejekan yang dilekatkan kepada siswa anti-tawuran.

Kedua, aspek hilangnya keteladanan dan anutan (role model) bagi pelajar untuk mencontoh perilaku positif. Cakupan panutan, yang biasanya berusia lebih tua itu, mulai dari orangtua, guru, kepala sekolah, hingga para penguasa. Inilah buah dari praktik-praktik tak patut para "orangtua" kita yang menghiasi media dan layar kaca setiap hari. Yakni, praktik seperti korupsi, konflik antarkelompok, kebohongan publik, dan lain-lain.

Solusi Konkret

Beranjak dari dua hal di atas, sebetulnya kita bisa merumuskan sejumlah solusi konkret demi memutus mata rantai tawuran yang sudah demikian melembaga. Pertama, mengalihkan rites of passage tawuran yang berbau militerisme ke arah budaya militer yang genuine (sungguhan). Maksudnya, para murid SMA bisa diberikan latihan kemiliteran selama, misalnya, satu bulan, sebagai ganti program masa orientasi siswa (MOS).

Tujuannya, supaya siswa mendapatkan nilai-nilai militer sejati yang positif seperti patriotisme, jiwa ksatria, kehormatan, etika, dan lain sebagainya. Dengan begitu, budaya militerisme berubah menjadi budaya militer yang lebih konstruktif. Pemberian latihan militer ini, sebagai contoh, juga sudah dicoba di sejumlah politeknik dan terbukti berhasil meredam potensi kekerasan di antara mahasiswa.

Kedua, kita seyogianya mulai memberikan tingkah laku penuh teladan kepada para generasi di bawah kita supaya tercipta rasa hormat siswa terhadap mereka yang lebih tua. Terutama lagi, yang perlu memberikan teladan adalah orangtua, keluarga dekat, dan guru. Sebab, merekalah yang pada hakikatnya bersentuhan langsung dan dari waktu ke waktu dengan siswa.

Terakhir, perlu diberikan suatu pelajaran etika, atau filsafat moral dalam bahasa Kees Bertens (Etika, 1995), dalam kurikulum SMA. Khususnya lagi, etika kepedulian (ethics of care). Kurikulum etika kepedulian itu seyogianya memasukkan ke delapan ciri kepedulian yang diberikan MC Raugust (1992). Satu, etika kepedulian mengutamakan hubungan saling peduli terhadap orang lain. Dua, orang dalam situasi khasnya masing-masing dapat menerima dan memberikan kepedulian itu.

Tiga, menjunjung tinggi individualitas, bukan individualisme. Maksudnya, masing-masing individu, sesama pelajar, wartawan, atau siapa pun, wajib diterima sebagai pribadi yang unik, membuat mereka saling membutuhkan. Konsekuensinya, manusia harus mengutamakan saling memberi dan menerima ketimbang menerima saja kebaikan orang lain.

Empat, etika ini berfokus pada pribadi yang konkret, bukan pada sosok yang tak berwajah atau anonim. Lima, keputusan diambil berdasarkan konteks dan kekhususan kasus, bukan berdasarkan universalitas situasi dan kondisi. Enam, hubungan antarmanusia dipandang sebagai proses jangka-panjang, bukan jangka-pendek.

Tujuh, kebajikan (virtue) lebih diutamakan daripada kewajiban berlaku adil (justice). Delapan, perasaan peduli haruslah diikuti dengan aksi yang mensyaratkan kompetensi atau kemampuan untuk melaksanakan aksi tersebut.

Semoga kita tidak lagi menyaksikan babakan kelam dunia pendidikan, tawuran antar-pelajar. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar