Jumat, 28 September 2012

Wakaf Politik


Wakaf Politik
Kurnia JR ;  Cerpenis
KOMPAS, 28 September 2012


Di pagar Masjid Raya Bandung terpajang spanduk bertulisan: ”Kami wakafkan pada masyarakat Kang ... untuk menjadi Gubernur Jawa Barat 2013–2018”.

Ini gaya bahasa yang tidak biasa dan boleh dibilang baru dalam politik kita. Kalau diamati lebih lanjut, bisa dipahami kenapa dipilih kata wakaf yang berkonotasi religius. Spanduk itu dibuat oleh Forum Silaturahmi Ormas Islam Kota Bandung. Tercantum juga di situ deretan nama organisasi kemasyarakatan Islam.

Kang dalam bahasa Sunda semakna dengan bang dalam bahasa Betawi, mas dalam bahasa Jawa, uda dalam bahasa Padang, bli dalam bahasa Bali. Di bumi Parahyangan, dengan panggilan tersebut sang tokoh didekatkan kepada publik untuk meraih simpati sosial-politis. Soekarno lebih senang dipanggil bung karena egaliter. Panggilan ini bisa menjembatani celah-celah tribalisme ke cakupan nasional.

Tujuan utama spanduk, baliho, dan poster sebagai media grafis adalah menyampaikan pesan kepada pihak yang dituju. Seperti yang juga terjadi dalam pemilihan Gubernur DKI, pengusung salah satu tokoh untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat itu tergiur untuk menyentuh sentimen keagamaan kalangan mayoritas ketika mengunggulkan jagonya.

Tak ada yang salah dalam hal ini asalkan tidak mendiskreditkan pihak yang dianggap sebagai pesaing atau mencuatkan perbedaan yang bisa menyulut konflik suku, agama, ras, dan antargolongan yang lazim disingkat SARA.

Merunut etimologi, wakaf berasal dari bahasa Arab, waqf, yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Jika kata tersebut dikaitkan dengan harta, seperti tanah, binatang, dan lain-lain, artinya pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur).

Dalam konteks syariat—tanpa niat menjelajahi seluk-beluk fikih Islam—wakaf berarti penahanan hak milik seseorang atas benda dengan itikad menyedekahkan manfaatnya. Harta benda yang diwakafkan berarti telah dipindahtangankan kepada Allah dan sang pemilik tak dapat menarik balik pemilikan harta itu.

Jika kita ingin setia pada hakikat maknanya, sebenarnya pemakaian wakaf dalam konteks pilkada, secara langsung ataupun tidak, justru berisiko membonsai maknanya. Bahkan nyaris tak ada celah untuk memasukkan istilah tersebut ke dalam spanduk tersebut.

Wakaf identik dengan sedekah, keikhlasan, asketisme individual sekaligus sosial, dan steril dari kepentingan duniawi pribadi atau kelompok. Padahal, dalam politik, siapa yang bakal percaya bahwa setelah ”yang diwakafkan” itu terpilih, dia akan lepas sama sekali dari berbagai ikatan kepentingan dengan wakif (pemilik), yaitu partai politiknya serta para pendukung dari organisasi kemasyarakatan, maupun pihak penyandang dana selama pilkada?

Kampanye politik memang menuntut bahasa yang segar sekaligus persuasif, tetapi perlu diperhitungkan implikasi semantik setiap kata yang digunakan. Boleh jadi, perancang spanduk itu tidak berniat merusak makna wakaf, tetapi setujukah umat Islam sebangsa-sebahasa dengan penyimpangan arti wakafkan menjadi tawarkan, sodorkan, usulkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar