Selasa, 30 Oktober 2012

Dua Wajah Indonesia


Dua Wajah Indonesia
Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 30 Oktober 2012



Transformasi struktural ekonomi Indonesia hanya akan terjadi bila ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable, yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan, ke sektor tradable, yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Per 20 Oktober lalu, duet SBY-Boediono tiga tahun memimpin negeri ini. Itu berarti delapan tahun sudah SBY menjadi nakhoda RI. Selama memimpin negeri ini, rekor-rekor di bidang perekonomian terus terjadi. Awal Oktober lalu, indeks harga saham gabungan mencetak rekor tertinggi baru: tembus 4.400. Cadangan devisa meningkat tanpa henti, yang per 28 September 2012 mencapai US$ 110,2 miliar. Padahal, pada akhir 2009, jumlahnya baru US$ 66 miliar. Adapun produk domestik bruto Rp 7.417,2 triliun. Delapan tahun terakhir, pendapatan per kapita naik lebih dari 3,2 kali: dari US$ 1.110 (2004) menjadi US$ 3.500 (2012). 
Selama delapan tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi bisa dijaga rata-rata di atas 5 persen per tahun, inflasi terkendali di bawah satu digit, dan nilai tukar rupiah stabil, bahkan sempat menyentuh di bawah Rp 8.400 per dolar AS. Ketika negara lain terguncang diterpa krisis keuangan, Indonesia bersama Cina dan India tetap tumbuh positif. Indonesia juga kembali meraih investment grade. Berbagai "prestasi" itu membuat Indonesia dipuja-puji di luar negeri, dan masuk jajaran negara elite dunia, salah satunya diterima di keanggotaan G-20. 
Capaian-capaian itu patut diapresiasi. Masalahnya, pertumbuhan selama ini didorong sektor modern atau non-tradable (yang tidak bisa diperdagangkan), seperti sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan, hotel, dan restoran. Pada 2011, misalnya, pertumbuhan sektor ini cukup tinggi, melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional (6,5 persen). Sebaliknya, sektor yang bisa diperdagangkan atau tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) kinerjanya rendah. Pada 2011, sektor pertanian hanya tumbuh 3 persen. Hal yang sama terjadi di sektor industri, yang pertumbuhannya kerap di bawah 4 persen, seperti terjadi pada 2008 dan 2009. Pada 2011 sektor industri tumbuh 6,2 persen. 
Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable ini memiliki implikasi serius karena terkait dengan pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya hanya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable jauh lebih kecil dibanding sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah dibanding masa Orde Baru, misalnya, tapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh tapi tidak (semuanya) sejahtera. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2011 hanya 14,4 persen. Padahal sektor ini menampung 43 persen dari total tenaga kerja. Akibatnya, pertanian kian involutif yang ditandai dengan masifnya tingkat kemiskinan di pedesaan.
Lebih dari itu, pertumbuhan justru memperlebar kesenjangan: yang kaya makin kaya, yang miskin kian miskin. Ini terlihat dari meroketnya Gini Rasio: dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2011 (makin tinggi berarti makin timpang). Ini untuk pertama kalinya Gini Rasio Indonesia masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah). Sejak gemuruh pembangunan dimulai sistematis pada 1966, angka Gini Rasio tak pernah menembus 0,4. Artinya, pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi: kelas menengah ke atas. Artinya, jika kemiskinan absolut menurun (perlahan), kemiskinan relatif malah meningkat. Kesenjangan ekonomi yang kian melebar itu menandai defisit kesejahteraan. 
Apa makna semua ini? Meskipun sudah 67 tahun Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan, sistem perekonomian negeri ini tetap bersifat dualistik seperti dikenali oleh Prof Boeke dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar pada 1930 yang berjudul "Dualistische Economie". Boeke mengemukakan pengenalan tentang ekonomi kolonial di Hindia Belanda. Intinya adalah tajamnya pembagian ekonomi ke dalam sektor tradisional dan sektor modern, yang untuk saat ini kira-kira sama dengan kondisi sektor tradable vs non-tradable. Dua sektor ini hidup bersamaan tanpa mempunyai kaitan yang satu dengan lainnya. Inilah dua wajah asli Indonesia. Teori trickle down effect bahwa yang besar akan mengangkat yang kecil sama sekali tidak berlaku di Indonesia. Sebaliknya, yang besar akan mengeksploitasi yang kecil, yang oleh Bung Karno diistilahkan dengan exploitation d'lhomme par l'homme. 
Dua wajah Indonesia juga bisa dikenali dari data kemiskinan. Sejak dulu kemiskinan terkonsentrasi di pedesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin di pedesaan 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Lebih dari 35 tahun kemudian, angka ini hanya sedikit membaik. Per Maret 2009, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 20,6 juta orang atau sekitar 63,4 persen dari total penduduk miskin. Per Maret 2012, angka kemiskinan menurun tipis 0,53 persen, dari 12,49 persen (30,02 juta jiwa) pada Maret 2011 menjadi 11,96 persen (29,13 juta jiwa). Secara agregat, kemiskinan menurun, tapi persentase jumlah orang miskin di pedesaan tetap tinggi: mencapai 63,4 persen (18,48 juta) dari jumlah warga miskin. Ini merupakan fakta getir karena pembangunan justru meminggirkan warga pedesaan. Data ini menunjukkan bahwa puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata tidak membuat kemiskinan beranjak jauh dari desa. 
Dua wajah Indonesia lebih mudah dikenali dari kesenjangan wilayah: wilayah barat vs timur. Pada 1975, kawasan barat Indonesia (KBI) menguasai 84,6 persen PDB nasional dengan Jawa yang hanya 9 persen dari luas wilayah menguasai 46,7 persen PDB nasional dan jadi tempat bermukim 63,2 persen penduduk Indonesia. Lebih dari tiga dekade kemudian, pada 2011, KBI (Jawa dan Sumatera) menguasai 82 persen PDB nasional dengan meninggalkan kawasan timur Indonesia (KTI), yang hanya menguasai 18 persen. Supremasi Jawa atas non-Jawa terlihat jelas: pada 2011, Jawa menguasai 58 persen PDB nasional dengan tiga provinsinya (DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat) menguasai 46 persen PDB nasional. Inilah dua wajah asli Indonesia.
Uraian ini menunjukkan pembangunan ekonomi Indonesia gagal menghasilkan transformasi struktural. Secara struktural, ekonomi di Indonesia bermasalah. Sektor pertanian masih menyerap 43 persen dari total tenaga kerja, sedangkan sumbangan PDB hanya 14,4 persen. Sektor industri yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja baru jauh panggang dari api. Transformasi struktural ekonomi Indonesia hanya akan terjadi bila ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable, yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan, ke sektor tradable, yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Tanpa kemauan membalik arah pembangunan, pembangunan hanya akan menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi pedesaan dan pertanian. Ini wajah asli kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar