Selasa, 30 Oktober 2012

Kedaulatan Energi adalah Kedaulatan Bangsa


Kedaulatan Energi adalah Kedaulatan Bangsa
Ali Masykur Musa ;  Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
SINDO, 30 Oktober 2012



Negara yang besar adalah negara yang berdaulat. Salah satu unsur utama kedaulatan ada di bidang energi.Negara yang tercukupi energi primernya akan menjadi negara yang mampu menghegemoni negara lain. 

Dalam memperingati 84 tahun Sumpah Pemuda, sepatutnya kita mempertanyakan sejauh mana kedaulatan energi kita? Indonesia memiliki segenap modal untuk menjadi bangsa besar yang maju,sejahtera,dan bermartabat. Selain sumber daya alam yang melimpah,Indonesia dihuni sekitar 235 juta penduduk yang mayoritas berusia produktif, yang menyumbang total estimasi PDB sebesar USD852 miliar atau sekitar Rp7.000 triliun pada 2012.Indonesia, dengan segenap potensinya, diprediksi akan menjadi The Next Economic Superpowers pada 2030. 

Pada saat itu, PDB Indonesia diperkirakan akan menembus USD9,3 triliun, peringkat kelima terbesar di dunia. Indonesia akan bangkit bersama kekuatan ekonomi Asia lain seperti China, India, dan Korea Selatan. Namun, terlepas dari rona optimisme yang didengungkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat dunia, Indonesia hari ini masih memiliki sejumlah masalah, antara lain kemiskinan dan pengangguran yang relatif masih tinggi, pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas, rapuhnya kemandirian pangan dan energi, merebaknya korupsi dan buruknya birokrasi, serta jeleknya infrastruktur. Di bidang politik, Indonesia tengah mengalami euforia demokrasi serta pelaksanaan otonomi daerah yang tidak sejalan dengan citacita reformasi. 

Hulu-Hilir Migas Belum Berdaulat 

Khusus pada bidang energi, persoalan besar di sektor ini mencakup persolan mulai hulu hingga hilir.Persoalan di hulu terkaitdenganpenguasaansumber daya energi dan mineral, dengan dominasi asing yang sangat menonjol. Sektor hulu migas, misalnya, lebih dari 2/3 wilayah kerja pertambangan migas dikuasai asing.Asing menguasai 88,8% pertambangan migas,75% tambang batu bara, bauksit, nikel, dan timah; 85% tambang tembaga dan emas; serta 50% perkebunan sawit. 

Kontrol negara,yang ditunjukkan dengan penguasaan BUMN, hanya sekitar 10%. Artinya, kontrol terhadap cadangan dan produksi migas nasional tidak berada di tangan negara. Di sektor hilir, isu sentral sektor energi dan pertambangan adalah keterbatasan infrastruktur hilir. Di sektor migas, keterbatasan kilang minyak dan fasilitas pemurnian dan distribusi gas domestik telah mengancam ketahanan pasok (security of supply) energi dalam negeri. 

Tiadanya penambahan kapasitas kilang minyak telah mengakibatkan pasokan BBM dalam negeri tergantung pada impor,baik dalam bentuk minyak mentah maupun BBM, yang nilai bukunya mencapai ratusan triliun tiap tahun.Keterbatasan fasilitas pengolahan dan distribusi gas juga berpotensi menggagalkan upaya pengarusutamaan pemanfaatan gas domestik (DMO) serta mengancam program diversifikasi dan konversi dari minyak ke gas. 

Penerimaan Negara dari Sektor Migas 

Merujuk data ESDM, penerimaan negara dari sektor ESDM pada 2011 mencapai Rp352 triliun, terdiri atas penerimaan sektor migas sebesar Rp272 triliun, pertambangan umum Rp77,3 triliun, panas bumi Rp551 miliar,serta penerimaan lainlain sebesar Rp1,7 triliun.Pada tahun 2012 ini diperkirakan penerimaan negara dari sektor ESDM meningkat pada angka Rp370 triliun. Angka penerimaan negara sektor migas tersebut sama besarnya dengan subsidi yang diberikan kepada rakyat. Jadi, penerimaan negara dari sektor migas tidak signifikan terhadap kualitas APBN. 

Apalagi penerimaan dari sektor migas tidak setimpal dengan uang negara yang hilang karena cost recovery mark up. Selama kurun waktu 2000- 2008, potensi penerimaan negara yang hilang karena cost recovery mark up mencapai Rp345,996 triliun. Berarti dalam 8 tahun rata-rata kerugian negara mencapai Rp38,4 triliun setiap tahun, atau 3,2 triliun setiap bulan dan Rp1,7 miliar setiap hari. Bisakita bayangkan,berapa banyak kerugian negara ketika angka cost recovery naik setiap tahun. Pada tahun 2012, angka cost recovery sebesar USD15,16 miliar, naik beberapa poin dari tahun 2011 yang mencapai USD15,5 miliar. 

Jika melihat hasil audit BPK, pada pemeriksaan semester II- 2010 saja,BPK menemukan 17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang berpotensi merugikan negara USD66,47 juta atau setara dengan Rp638 miliar. Ada dua motif yang dapat dijadikan indikasi yang menyebabkan cost recovery bertambah besar. Pertama, adalah peningkatan cost recovery berkorelasi terhadap banyaknya sumur-sumur tua yang membutuhkan teknologi tinggi untuk melakukan liftingsecara maksimal,sementara hasil produksi sumur-sumur tua tersebut tidak didukung penemuan sumur-sumur baru yang pada jangka pendek segera dapat berproduksi. 

Kedua, terjadinya penggelembungan biaya yang dimanfaatkan kontraktor kontrak kerja sama untuk memaksimalkan laba dengan memanfaatkan insentif investasi kontrak kerja sama berupa penggantian biaya yang dikeluarkan pemerintah atas biaya eksplorasi dan eksploitasi tanpa batas maksimal (ceiling price). Karena itu, bisa terlihat peningkatan produksi yang seharusnya berbanding lurus dengan penyaluran investasi melalui cost recovery tidak terjadi. Kenyataan ini semakin pahit ketika kita menyadari, hingga usia 67 tahun merdeka Indonesia hampir tidak memiliki “cetak biru” energi nasional yang berorientasi pada kedaulatan energi (energy sovereignty) dan ketahanan energi (energy security).

Saat ini orientasi pengelolaan energi yang lebih didasarkan atas “government revenue base”. Pemanfaatan sumber energi selain minyak belum optimal. Pemerintah kurang mendukung upaya peningkatan ketahanan energi karena justru diekspor, seperti gas (53,11%) dan batu bara (67,54%). Pemanfaatan energi alternatif lain,seperti panas bumi,mikrohidro, biomassa, tenaga surya, dan tenaga angin sangat minim, hanya sekitar 5,7%.Dalam sepuluh tahun terakhir, program diversifikasi energi jalan di tempat. 

Solusi Kebijakan 

Berangkat dari masalah di atas, satu-satunya upaya terdekat dari pemerintah untuk menyelamatkan negara dari mark-upbiaya operasi migas ini adalah dengan melakukan renegosiasi kontrak dengan poin utama memberikan aturan yang tegas terhadap komponen yang masuk dalam insentif cost recovery. 

Ada empat hal yang mungkin dapat dipertimbangkan pemerintah dalam rangka melakukan renegosiasi kontrak migas agar cost recovery tidak lagi menjadi alat legal untuk mengeruk anggaran negara. Pertama, memberikan batasan maksimal terhadap berapa besarnya penggantian biaya operasi migas setelah wilayah kerja migas yang dikelola kontraktor telah mampu berproduksi secara komersial. Kedua, mengatur secara tegas biaya-biaya apa sajakah yang dapat dimasukkan dalam komponen cost recovery. 

Ketiga, menciptakan iklim transparansi dan akuntabilitas terhadap seluruh biaya yang telah dimasukkan sebagai komponen cost recovery. Keempat, sebagai pilihan terakhir pemerintah dapat menghilangkan insentif pergantian biaya operasi migas. Sebagai gantinya, setelah masa produksi komersial pemerintah dapat memberikan imbalan yang lebih disesuaikan dengan letak, dan kondisi geografis wilayah kerja migas serta tingkat keekonomiannya. Empat langkah tersebut menunjukkan bahwa kebijakan energi nasional harus tetap berlandaskan sistem pasar yang menghendaki masuknya investasi, tetapi dalam waktu bersamaan kepentingan nasional harus tetap terjaga. 

Penerimaan sektor energi merupakan penerimaan kedua terbesar setelah perpajakan. Karena perannya yang sangat signifikan, berarti harus dikawal dan dikelola dengan baik agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sepanjang pemerintah belum memiliki komitmen untuk menata dan renegosiasi kontrak karya sektor migas, inefisiensi yang merugikan rakyat akan terus terjadi. 

Memperingati Sumpah Pemuda hakikatnya adalah menggugah kita semua, khususnya pemerintah, untuk menjaga etos kebangsaan. Bukankah tugas pemerintah menjaga benteng kedaulatan bangsa dan menyejahterakan rakyat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar