Jumat, 26 Oktober 2012

Spirit Baru Berkurban


Spirit Baru Berkurban
Munawir Aziz ; Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM
SUARA MERDEKA, 25 Oktober 2012



MOMENTUM Idul Adha kali ini menjadi penting untuk melakukan refleksi kemanusiaan dan keindonesiaan yang sedang berada di persimpangan. Krisis kepercayaan antara elite politik dan konstituennya, antara rakyat dan pemimpin negara, serta badai di ranah hukum berupa kasus korupsi yang silih berganti menyesaki ruang pemberitaan media dan kepentingan politik.

Idul Adha selalu berkait dengan ibadah haji sebab keduanya berada di titik persinggungan antara yang temporal dan ritual. Idul Adha menjadi hari raya dengan titik historis kisah Nabi Ibrahim as untuk kemaslahatan manusia, sedangkan ibadah haji merupakan ritual yang berkaitan dengan dimensi kenabian.

Spirit profetik dalam Idul Adha dan ibadah haji inilah yang menjadikan momentum ini di beberapa negara, merupakan momentum penting umat manusia. Maka, idul Adha juga dianggap sebagai Idul Haj; hari raya para haji. Di sisi lain, Idul Kurban juga berkait erat dengan semangat berkurban yang menjadi spirit untuk melakukan kedermawanan sosial dan menjaga keseimbangan ekologis.

Berkurban merupakan seni merelakan sebagian dari harta kita untuk disedekahkan kepada orang lain, terutama pihak yang membutuhkan. Maka historiografi haji, Idul Adha, dan ritual berkurban berada pada satu dimensi kemaslahatan untuk manusia. Pada konteks Indonesia, semangat ini dapat ditransformasikan menjadi semangat dan maslahat keindonesiaan.

Haji Sosial

Di tengah kondisi negara yang sedang berada di persimpangan identitas, tegangan politik dan krisis kepemimpinan dari elite politik, upaya menghadirkan spirit haji sosial dan semangat berkurban menjadi penting. Berhaji tak hanya diserukan dengan prasyarat sehat jasmani rohani tapi juga kemampuan finansial. 

Di sinilah terjadi keharmonisan antara spiritualitas dan dimensi sosial ekologis.  
Ibadah haji merupakan perintah Allah yang paling kompleks, tak hanya ritual lahiriah tetapi juga berkait dengan berbagai dimensi, ruang, dan ritus kehidupan lain. Haji menjadi pentahbisan kesucian hati umat manusia, setelah singgah di rumah Tuhan (Baitullah). Pesan transendental ini terekam dalam ayat Alquran,’’ 
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu." (QS. 22: 27).

Dalam jagad sejarah keislaman, haji menjadi momentum sakral yang menorehkan banyak peristiwa penting. Di akhir hayat, Nabi Muhammad melaksanakan haji wada’ (perpisahan) untuk menegaskan Islam sebagai warisan dan simbol kedamaian umat manusia.

Pada momen itu, Muhammad telah menyempurnakan tugas kenabian dengan meneguhkan keimanan kaum muslim dalam fondasi agama yang menancap kuat. Haji wada’ menjadi peristiwa monumental dalam catatan sejarah agama Islam.

Bagaimana seharusnya memaknai ibadah haji dalam konteks keindonesiaan yang sedang dilanda krisis kepemimpinan dan ketimpangan ekonomi? Dalam jagat kepedihan, makna ibadah haji di tengah penderitaan akan rapuh. Dalam konteks ini, apa yang disampaikan Ali Syariati (1997) sangat relevan, "Haji merupakan evolusi manusia menuju Allah".

Kesadaran Berbagi

Ibadah haji mengandung pesan kemanusiaan yang begitu esensial, lompatan strata keimanan harus dibarengi dengan pemberdayaan dan pencerahan kepada lingkungan sosial. Lorong evolusi menuju Sang Khalik, ditempuh setelah mencipta kesejahteraan di ruang sekitar.

Ketika lingkungan sekitar sejahtera, ibadah haji yang dilakukan menempati puncak ruang transendensi keimanan. Inilah yang sebenarnya menjadi fokus pelaksanaan ibadah haji. Momentum berhaji menjadi penanda kesadaran untuk berbagi kepada orang lain. Ibadah haji selayaknya sinergi dengan pemberdayaan ekonomi lingkungan.

Adapun konsepsi kurban diturunkan dari pesan kenabian dalam kisah Ibrahim dan putranya, Ismail. Hewan kurban merupakan simbol ketaatan Ibrahim, dan pada konteks inilah, kepasrahan dan ketaatan merupakan kata kunci berkurban. Dalam kondisi sekarang, spirit berkurban dapat diterjemahkan sebagai kesalehan sosial membantu warga lain.

Ritual berkurban tak hanya dimaknai secara sempit dalam konteks agama, namun juga diperluas menjadi ibadah sosial untuk mengentaskan kemiskinan, mendermakan harta, dan memberikan ruang kerja bagi warga di sekitar.

Selain itu, berkurban juga menjaga diri dari sifat tamak dan serakah. Spirit berkurban bagi elite politik dan pemimpin negeri ini dapat mencegah dari praktik korupsi, serta meningkatkan produktivitas kerja sosial dan mengokohkan kepemimpinan. Spirit berkurban inilah yang seharusnya menjadi semangat dalam ruang sosial warga Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar