Selasa, 27 November 2012

Efficiency Wage


Efficiency Wage
Iman Sugema ; Ekonom
REPUBLIKA, 26 November 2012


Dalam beberapa tahun terakhir ini, pergerakan buruh menuntut upah minimum semakin masif dan terkoordinasi dengan cara yang canggih. Gerakan buruh telah menunjukkan dirinya sebagai salah satu elemen penting dalam kehidupan politik dan ekonomi di negeri ini. Serikat buruh semakin memiliki daya tawar dibandingkan pemerintah dan pengusaha.
Di lain pihak, daya tawar pemerintah tampak semakin kedodoran. Selain karena demokrasi, seringkali dilandasi dengan populisme, keputusan mengenai upah minimum telah kadung didesentralisasikan ke tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Pemerintah pusat sepertinya selalu menjadi pihak yang "kecolongan" setiap akhir tahun, ketika upah minimum ditetapkan oleh pemerintah daerah.
emahnya peran pemerintah pusat pada akhirnya memperuncing perseteruan antara serikat buruh dan para pengusaha. Di sisi yang ketiga, pengusaha seolah berada sebagai obyek penderita. Kalau mereka tidak mengikuti keputusan gubernur, bupati, atau walikota, mereka harus berurusan dengan pengadilan. Kalau mereka mengikutinya maka dipastikan ongkos-ongkos akan membengkak. Buah simalakama, bukan? Alternatif mana pun yang dipilih pasti membuat pening kepala.
Keadaan seperti itu tentu akan berlaku pada hampir semua pengusaha. Tetapi, akan ada sebagian pengusaha yang menyiasatinya dengan cara yang cerdas. Mereka akan menerapkan apa yang disebut sebagai efficiency wage theory agar semua pihak menjadi senang. Apa itu efficiency wage? Mungkin deskripsi berikut ini akan memperjelas definisinya.
Seorang pengusaha yang cerdas akan mengatakan hal berikut ini kepada para karyawannya. Oke, sekarang kita lupakan upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Saya anggap itu sebagai hal yang kurang manusiawi karena kalian tak akan pernah sejahtera jika digaji dengan upah minimum. Sebagai gantinya, saya menawarkan tingkat upah dua kali lipat dari upah minimum. Tentu sebagai kompensasinya, saya mengharapkan semua karyawan bekerja lebih produktif supaya kenaikan upah dapat ditutupi dengan hasil usaha. Anda semua punya dua alternatif, bekerja di perusahaan ini dengan upah dua kali lipat atau bekerja di perusahaan sebelah dengan upah minimum saja. Anda bebas memilih.
Kedengarannya sih pengusaha tersebut seperti bertindak tidak rasional. Ia memberi upah yang lebih tinggi, padahal punya kesempatan untuk memberi upah yang lebih rendah. Tetapi sejatinya, ia jauh lebih rasional dibandingkan pengusaha di sebelahnya. Mengapa?
Pertama, perusahaan tersebut akan mendapatkan apa yang disebut dengan efficiency gain. Karena upahnya lebih menarik, karyawan akan cenderung lebih loyal, disiplin, dan produktif. Karyawan dapat diajak bekerja sama untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Kalau kerja sama itu tidak terjadi maka perusahaan akan bangkrut. Kalau bangkrut maka karyawan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Karyawan tidak punya alternatif yang lebih baik, kecuali bekerja sebaik-baiknya di perusahaan tersebut.
Kedua, turn over atau karyawan yang keluar dari perusahaan tersebut akan semakin kecil. Semakin lama karyawan bekerja dalam bidang yang sama, semakin terampil keahlian di bidangnya. Salah satu ongkos terbesar bagi perusahaan adalah dalam hal pelatihan tenaga kerja yang baru masuk untuk menggantikan tenaga terlatih yang memutuskan untuk keluar perusahaan.
Ketiga, pekerja akan terhindar dari shirking, yaitu saat mereka cenderung bekerja lebih malas dari sesamanya. Pekerja yang lebih rajin akan dengan senang hati bila yang lebih malas dikeluarkan dari pekerjaannya. Pemalas akan menjadi beban bagi yang rajin. Tujuan pekerja yang rajin adalah supaya tetap bertahan di perusahaan yang mem beri imbalan yang lebih baik. Karena itu, tak ada orang rajin yang mau bekerja bersama dengan yang malas. Akan ada mekanisme internal sesama karyawan agar semua tetap menjadi rajin. Yang bekerja di perusahaan pada akhirnya adalah pekerja yang betul-betul rajin dan produktif.
Sebenarnya, efficiency wagebukanlah hal baru. Adalah Henry Ford, pemilik pabrik mobil bermerek Ford, yang pada 1914 pertama kali menerapkannya. Waktu itu Ford memberikan upah sebesar lima dolar AS per hari untuk para karyawannya. Tingkat upah tersebut adalah dua kali lipat dibandingkan upah yang berlaku saat itu. 
Pada waktu itu, setiap hari selalu ada antrean pelamar kerja di halaman pabrik. Secara tidak langsung antrean tersebut memberikan pesan kepada para pekerja bahwa setiap saat kami siap menggantikan Anda kalau perusahaan tidak lagi menginginkan Anda. Ford akhirnya tidak pernah mengalami kesulitan dalam mencari pekerja terbaik.
Kembali ke isu penetapan upah minimum yang dipandang terlalu memberatkan oleh para pengusaha, kita menjadi semakin sadar bahwa masih ada jalan lain untuk mengatasinya. Efficiency wage adalah salah satunya. Mungkin, ada ribuan cara lain yang akan dilakukan para pengusaha untuk mengatasi masalah ini. Saya yakin pengusaha nasional adalah orang-orang yang cerdas dan tidak mudah mengeluh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar