Rabu, 28 November 2012

Guru dan Cahaya Pencerahan


Guru dan Cahaya Pencerahan
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 27 November 2012


Di Kota Linz yang suram di Austria saat itu, kala guru-guru berceloteh ihwal kekaisaran Romawi, Alexander yang Agung, dan Napoleon Bonaparte, terlihat seorang murid yang rajin, tak banyak bicara, tidak curang, dan rapornya berderet huruf A, tetapi murid ini suka melamun dan berkhayal ihwal centang-perentang kehidupan.

Namanya Adolf Hitler. Siapa tahu, lamunan-lamunan Hitler dibuktikan dengan menggelar impian kolosal, melibatkan jutaan figuran yang berperan sebagai korban, dan mengupah jutaan aktor menjadi pembunuh berdarah dingin.
Kisah yang hampir sama diceritakan filsuf dan pakar politik Romawi Kuno, Senece, ihwal muridnya, Nero. Bocah bernama Nero, oleh Senece selalu diajari ihwal keilmuan dan pengabdian.

Tetapi apa daya, ketika dewasa Nero menjadi kaisar pembunuh, yang telah membunuh mati ibu, saudara-saudara, istri, dan sekian banyak rakyat jelata. Bahkan gurunya, Senece sendiri pernah diracun walaupun tidak mengakibatkan sang guru mendiang.

Dari kisah itu, dari mana murid semisal Hitler dan Nero memperoleh gagasan-gagasan brutal dan menjunjung prinsip-prinsip yang nyaris sepenuhnya berlawanan dengan akal? Ihwal yang sama dapat dipertanyakan kepada dunia pendidikan di Indonesia yang melahirkan tragedi kekerasan, bahkan terjadi kematian? Adakah kurikulum yang mengajarkan siswa menjadi sosok tiran?
Inilah ragam soal yang layak mendapatkan jawab pada momentum Hari Guru Nasional, 25 November sekarang. Lahirnya tragedi kekerasan dalam dunia pendidikan menyiratkan akan krisis keyakinan.

Sejak semula, pendidikan beriringan dengan kepercayaan; percaya terhadap sifat hakiki kemanusiaan sendiri dan percaya terhadap ada atau tidak adanya daya rohaniah yang lebih besar dibanding kekuatan manusia, yang memayungi jagat raya. Tiap kepercayaan bersifat lokal dan pewarisannya terhadap anak cucunya merupakan intisari pendidikan.

Para pendeta dan pujangga Mesir kuno, Persia, Sumeria, Ibrani, Jawa, Melayu, dan sebagainya telah melukiskan dan mewariskan ajarannya kepada anak cucunya. Tergantung anak cucunya, intisari itu dijadikan spirit berpendidikan, atau disingkirkan bahkan digunakan legitimasi kuasa jahat.

Sejarah masa lalu mengajarkan bahwa Musa meletakkan ajaran etis hidup lewat Kitab Taurat. Orang Ibrani memiliki nabi-nabi seperti Amos, Hosea, Elia, dan Elisa. Orang Kristen mendengarkan ajaran Yesus, Paulus, Petrus, dan lainnya.
Muhammad mendidik umat Islam agar menjadi rahmat bagi sesamanya. Demikian juga yang dilakukan Lao Tzu dan Confusius di China, Sidharta Gautama di India, dan Ronggawarsito di Jawa tentang menebarkan kebajikan di alam semesta raya.

Ihwal kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan kita merupakan bukti gagalnya Indonesia menyerap intisari pendidikan dari para pujangga bangsa dan pujangga dunia.

Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa ing ngarso sung tulodo (yang di depan menjadi teladan), tetapi mengapa para senior tidak menjadi teladan, justru menyiksa para juniornya? Inilah salah satu bukti kegagalan kita. Ironisnya lagi, kampus pendidikan kita mengalami amnesti sejarah. Masyarakat menjadi "lupa ingatan" akan masa lalunya sendiri.

Masa lalu yang senyap. Masa lalu yang tidak aktual. Menangkap pesan sejarah dalam lima tahun terakhir saja kita gagal, terjangkit amnesti sejarah, apalagi merujuk ihwal kebijaksanaan para pujangga ratusan tahun, bahkan ribuan tahun silam. Mindset pendidikan kita memang diarahkan pada amnesti sejarah atau memang para aktor kampus yang berperan di sana?

Dua kemungkinan itu bisa terjadi adanya. Bahkan, ada usaha legalisasi atas ragam kekerasan tersebut yang dilakukan rezim kampus, para pejabat tingginya maupun mahasiswanya. Ironisnya, ketika terjadi tragedi lagi, baru ada kesadaran baru. Memang telah terjadi amnesti sejarah kekerasan.

Kehilangan Kemanusiaan

Dalam kondisi demikian, Denis Collins (1977) melihat bahwa kekerasan telah membuat manusia kehilangan kemanusiaannya dan hak pemenuhan nasib. Kaum penindas bersuka akan suksesnya menghujam tertindas. Malangnya, kaum tertindas merintih tak kuasa meminta suaka.

Sebuah tragedi, yang menurut penindas dianggap prestasi, sementara bagi tertindas dianggap “penjajahan” (colonization). Lebih ganas Bernard Shaw melihat bahwa di muka bumi ini tidak satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Dalam beberapa hal sekolah malah lebih kejam dari penjara.

Melihat sekujur tubuh pendidikan kita yang penuh luka, sudah saatnya –menurut analisis Freire- pendidikan mesti menjadi jalan menuju pembebasan permanen, yang dilakukan dalam dua tahap.

Pertama, manusia menjadi sadar (disadarkan) tentang penindasan yang menimpanya; ia harus menjalankan praksis mengubah keadaan tertindas itu. Kedua, membangun kemantapan berdasarkan apa yang sduah dikerjakan di tahap pertama; proses permanen yang diisi dengan aksi-aksi budaya yang membebaskan.

Mereka harus disadarkan bahwa diri pendidikan yang penuh luka; mereka harus melawan penindasan. Setelah itu membangun plan action yang melibatkan seluruh khazanah budaya dan birokrasi pemerintah dalam melawan aksi-aksi kekerasan tersebut.

Ketika merasuk dalam sendi budaya maka mudahlah pemerintah dan praktisi pendidikan melakukan perubahan-perubahan strategis dalam merekonstruksi dunia pendidikan agar dapat dilihat berkemilau nan bercahaya.

Cahaya pencerahan ini akan membuka gerakan pembebasan untuk mencipta tatanan masyarakat yang egaliter. Cahaya guru inilah yang dapat memadamkan api kekerasan yang diwariskan Hitler, Nero, dan para pelaku kekerasan di republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar