Kamis, 29 November 2012

Hari Antikorupsi Internasional dan Nasional


Hari Antikorupsi Internasional dan Nasional
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Unpad
MEDIA INDONESIA, 29 November 2012


PENETAPAN Hari Antikorupsi Internasional terjadi di Wina ketika pembahasan final draft teks Konvensi PBB Antikorupsi pada 2003. Sejak itu dunia telah menyelenggarakan Hari Antikorupsi kesembilan kalinya termasuk pada 10 Desember yang akan datang. Hasil implementasi konvensi tersebut beragam di lebih dari 116 negara peratifikasi karena karakter konvensi yang bersifat reserved convention. Indonesia, selain telah menjadi peserta penanda tangan, meratifikasi konvensi tersebut tiga tahun kemudian, yaitu dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006.
Langkah proaktif pemerintah Indonesia dalam proses pembahasan draf teks konvensi selama dua tahun telah menghasilkan perubahan penting dalam memandang korupsi. Selain penilaian korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan pelanggaran hak ekonomi dan sosial rakyat, telah diadopsi perubahan pendekatan terhadap korupsi yang selama ini hanya fokus kepada perilaku koruptif penyelenggara negara.
Tiga perubahan pendekatan yang dipandang objektif terhadap korupsi yaitu, pertama, terfokus pada pasar, kedua, pada kepentingan publik, dan, ketiga, pada jabatan publik atau dikenal sebagai definisi legalistik (Julio, 2012). Pendekatan pertama lebih cenderung pada teori pasar dalam bidang ilmu ekonomi yang menghubungkan antara kekuatan pasar (ekonomi) dan pengaruhnya terhadap perilaku pelaku usaha. Pada fokus kedua yang diutamakan ialah pengaruh korupsi terhadap kepentingan publik yang sangat-sangat merugikan.
Fokus ketiga bertumpu pada definisi formal terkait dengan jabatan publik. Ketiga fokus pendekatan tersebut belum seluruhnya diadopsi dalam peraturan perundang-undangan antikorupsi di Indonesia sekalipun definisi `setiap orang' termasuk orang perorangan atau korporasi baik berbadan hukum atau bukan badan hukum. Fokus pendekatan pertama lebih spesifik, yaitu menuntut suatu rumusan ketentuan pidana yang jelas memenuhi asas lex certa. Hal itu sangat diperlukan agar penuntutan tipikor terhadap aktivitas korporasi tidak menjadi bias seperti terjadi dalam praktik selama ini. 
Sekalipun `kongkalikong' antara pihak sektor swasta dan sektor publik dalam arti luas sering terjadi, sering `korban ketidakadilan' menjadi beban sektor swasta daripada sektor publik. Kondisi itu tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi sektor swasta yang sungguh-sungguh menanamkan modal usahanya di Indonesia, bahkan sebaliknya kontra produktif dari sisi keman dari sisi keman faatannya bagi perkembangan ekonomi nasional.
Pemilahan pertanggungjawaban pidana korupsi di satu sisi terhadap pertanggungjawaban keperdataan dari suatu korporasi di sisi lain belum tersusun dalam rumusan ketentuan yang bersifat lex certa di dalam peraturan perundang-undangan korupsi yang berlaku di Indonesia. Fokus pendekatan kedua memerlukan perhatian serius terhadap tindak pidana korupsi yang berdampak luas yang merugikan kepentingan publik seperti korupsi di sektor strategis seperti bidang migas, kehutanan, lingkungan, dan pasar modal serta di bidang perbankan yang telah go public.
Fokus kedua itu telah diusahakan diakomodasi dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang di ubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman maksimum pidana mati atau seumur hidup, tetapi dalam praktik ancaman itu tidak pernah diterapkan sekalipun kasus korupsi terjadi dalam masa jadi dalam masa krisis ekonomi dan bencana alam. Fokus pendekatan ketiga menuntut kejelasan mengenai status hukum dan tugas pokok dan fungsi pejabat publik atau penyelenggara negara sehingga peraturan perundangundangan antikorupsi Indonesia dapat memasuki ranah hukum administrasi negara tanpa merusak prinsip-prinsip hukum dimaksud.
Dengan kata lain, perlu kejelasan perbedaan tanggung jawab administratif dan tanggung jawab pidana bagi setiap pejabat publik terutama dalam kasus BUMN. Peraturan perundang-undangan antikorupsi Indonesia belum mengatur secara benar sesuai dengan prinsip lex certa tentang tanggung jawab pejabat publik sehingga tidak lagi dapat membedakan tempus delicti dan locus delicti serta keadaan-keadaan yang menyertai tindak pidana tersebut (certain circumstances).
Sampai saat ini praktik pemberantasan korupsi di Indonesia sekalipun telah disyaratkan harus dilakukan `dengan sengaja' (dolus) dan secara `melawan hukum'; perbuatan yang bersifat kelalaian (culpa) masih saja dipandang dan ditetapkan sebagai `kesengajaan'. Tiga fokus pendekatan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia perlu ditata ulang dengan rumusan ketentu an yang cermat dalam rancangan undang-undang implementasi Konvensi PBB Antikorupsi tersebut yang sampai saat ini belum diundangkan, termasuk  rancangan undang-undang perampasan asset tindak pidana. Kedua rancangan undang-undangan dimaksud merupakan upaya maksimal dan terakhir masyarakat internasional, termasuk Indonesia, dalam menata ulang dan mengefektifkan penyelamatan harta kekayaan negara lebih besar daripada menjatuhkan hukuman maksimal terhadap para pelakunya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar