Sabtu, 24 November 2012

Jangan Sekadar Ganti Baju BP Migas


Jangan Sekadar Ganti Baju BP Migas
( Wawancara )
Kurtubi ;  Pengamat Migas, Salah Seorang Penggugat Uji Materi
UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas Ke MK di Jakarta
SUARA KARYA, 24 November 2012


Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, harus menjadi dasar bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan migas agar sesuai dengan roh pasal 33.
Pemerintah harus mendorong perbaikan secara menyeluruh terhadap persoalan tata kelola migas nasional. Perbaikan tersebut dimulai dengan membenahi UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas yang secara nyata telah menggiring liberalisasi tata kelola migas nasional.
Momentum perbaikan ini diharapkan mampu meningkatkan pengelolaan migas yang lebih efisien dan berpihak kepada kepentingan nasional. Untuk itu, pengganti BP Migas bukan hanya "mengganti baju".
Untuk itu, perlunya segera ditetapkan institusi yang tepat dan menguntungkan bagi negara sebagai ujung tombak pengelolaan migas pascapembubaran BP Migas, wartawan HU Suara Karya Abdul Choir mewawancarai Dr Kurtubi, pengamat migas sekaligus salah seorang penggugat uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas ke MK, di Jakarta, Jumat (23/11). Berikut petikannya:
Saat ini fungsi pengelolaan migas pascapembubaran BP Migas dialihkan ke Satuan Kerja Sementara Pengelolaan (SKSP) Migas di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Apakah sudah tepat?
Tugas dan kewajiban BP Migas yang dialihkan kepada Kementrian ESDM bersifat sementara. Hal tersebut harus disempurnakan dan akan lebih baik jika fungsi BP Migas dialihkan segera kepada badan usaha milik negara (BUMN).
Pengalihan kewenangan ini harus segera dilakukan ke dalam BUMN. Alasannya, agar pengelolaan migas yang dimiliki negara dapat dijual sendiri tidak melalui pihak ketiga.
Penunjukan pihak ketiga inilah yang sering kali membuat negara merugi karena penentuan harga tidak dilakukan langsung oleh BP Migas ataupun Satgas yang baru terbentuk ini. Alasan lainnya, kontrol cost recovery (biaya produksi yang dikembalikan oleh negara) lebih efektif karena pengelolaan migas dilakukan sendiri.
Tentunya hal ini agar kedaulatan pemerintah tidak hilang karena pemerintah tidak diwakilkan dengan lembaga lain seperti BP Migas. Selanjutnya, agar sistem pengelolaan migas menjadi lebih efisien dan tidak birokratik.
Sebenarnya sangat tepat jika alihkan ke BUMN bidang migas yang sudah ada yaitu PT Pertamina (Persero). Bukan membentuk BUMN baru mulai dari nol. Lalu asetnya mana?. Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan sudah menyatakan tidak ingin Pertamina menjadi regulator.Sebagai pelaksana kedaulatan negara atas migas, BUMN dibentuk atas dasar UU yang baru.
Apakah pengalihan fungsi BP Migas ini menimbulkan potensi kerugian bagi negara?
Negara tidak dirugikan. Justru sebaliknya akan diuntungkan dan kedaulatan tidak terganggu. Untuk menghindari kerugian tersebut, maka yang berkontrak harus melalui BUMN yang asetnya terpisah dari pemerintah berdasarkan undang-undang. Dengan kata lain pemerintah berada diatas kontrak. Jika pemerintah berada di atas kontrak maka pemerintah dapat mengeksekusi kebijakan di bidang migas tanpa persetujuan kontraktor yang berkontrak.
Solusi yang diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Presiden (Perpres) dengan membentuk unit pelaksana tugas di bawah kementerian ESDM sebagai pengganti fungsi BP Migas sementara ini harus segera disempurnakan ke dalam peraturan baru, peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Ini sifatnya mendesak.
Supaya dinyatakan bahwa kekayaan migas dikuasai, dimiliki, dan dikelola oleh BUMN sebagai wakil pemerintah dalam kepemilikan dari kekayaan sumber migas di Indonesia. Nantinya, BUMN diperbolehkan untuk berkontrak dengan pihak lain baik dari pihak asing maupun domestik dimana pemerintah tidak ikut berkontrak tetapi berada di atas kontrak. Jadi, pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan regulator.
Karena itu, kita tidak perlu persoalan hulu migas di bawah pemerintah, Satuan Kerja Sementara (SKS ) hanya lembaga pemerintah bukan entitas bisnis. Ini hanya warisan dan saat transisi saja.
Sedangkan alasan pembubaran BP Migas ini jelas bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Amanat kontitusi negara ini sudah jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selaima ini, semua keinginan dari pasal 33 UUD 1945 tidak dapat terpenuhi. Terlebih lagi, BP Migas dinilai lebih memihak ke asing. Contohnya saja, hasil gas dari LNG (gas a lam cair) Tangguh, Papua yang justru tidak dialokasikan ke dalam negeri. BP Migas malah menjual gas tersebut secara murah ke China.
Dengan dijualnya gas dari LNG Tangguh ke China, PLN pun berteriak-teriak karena tidak mendapat pasokan gas dari BP Migas. Dampaknya, PLN terpaksa memakai bahan bakar minyak (BBM) sebagai pembangkit listrik. Itu yang menyebabkan PLN diduga melakukan inefisiensi sebesar Rp 37,6 triliun.
Ke depan, apakah tren produksi minyak meningkat?
Peningkatan produksi perlu kerja keras. Tata kelola selama ini yang buruk sehingga produksi anjlok. Bahkan selama ada BP Migas, tata kelola migas Indonesi menjadi yang paling buruk di Asia Oceania. Hal ini ditandai dengan produksi anjlok, cost recovery melonjak, karyawan BP Migas melonjak 10 kali lipat, merugikan negara dan melanggar Konstitusi.
Selama ini, BP Migas mewakili Pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan perusahaan asing dalam pola business to government (B to G). Artinya, kedudukan pemerintah dan kontraktor asing jadi setara. Jika terjadi sengketa hukum, bisa membahayakan negara.
Berbeda dengan UU Nomor 8/1971 yang mengatur Pertamina yang menandatangani kontrak dengan perusahaan asing dalam pola business to business (B to B).
Setelah BP Migas, apakah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga akan dibubarkan?
Peranan BPH Migas saat ini masih tumpang tindih dengan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Karena itu, peranan BPH Migas sebaiknya dikembalikan ke Ditjen Migas. Sebab yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri adalah pemerintah dan Pertamina didirikan untuk menjalankan distribusi BBM ini ke seluruh Indonesia.
Jadi, tugas yang sebetulnya sudah dilaksanakan oleh pemerintah tidak perlu lagi diwakilkan dengan adanya BPH Migas. Saya kira dalam revisi UU Nomor 22 Tahun 2001, DPR akan menyarankan pemerintah untuk membubarkan BPH Migas. Saya kira dalam revisi UU Nomor 22 Tahun 2001, DPR akan menyarankan pemerintah untuk membubarkan BPH Migas ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar