Rabu, 28 November 2012

Kenapa Takut Tuntaskan Skandal Century?


Kenapa Takut Tuntaskan Skandal Century?
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
MEDIA INDONESIA, 27 November 2012
  

MENGAPA harus takut menyelesaikan persoalan? Hak menyatakan pendapat atas skandal Bank Century yang diwacanakan DPR belakangan ini dilandasi semangat menyelesaikan persoalan. Implikasi politiknya memang tak terhindarkan. Mengapa juga harus takut dengan implikasi politik dari hak menyatakan pendapat?

Itulah risiko yang harus ditanggung bangsa ini, jika ada kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan hingga tuntas skandal Bank Century. Mengambangkan penyelesaian hukum dan penyelesaian politik skandal Bank Century merefleksikan sikap pengecut. Kalau pengecut, jelas Anda tidak layak memangku jabatan-jabatan strategis untuk mengelola kepentingan negara dan kepentingan rakyat. Tentu akan lebih buruk lagi kalau motif mengambangkan penyelesaian skandal Century adalah menyembunyikan pelanggaran hukum yang diduga dilakukan elite penguasa. Itu kebiasaan buruk yang coba diulang-ulang.

Kalau kebiasaan buruk itu tidak dihentikan, perjalanan sejarah bangsa memasuki dekade-dekade selanjutnya akan sarat dengan dosa sejarah karena ketakutan generasi saat ini menyelesaikan persoalan. Ada begitu banyak kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang terjadi pada era sebelumnya tidak pernah ditangani. Kasus BLBI bahkan nyaris sudah menjadi dosa sejarah karena generasi terkini pun tidak berani menuntaskan kasus itu. Haruskah nasib skandal Century dibiarkan sama dengan kasus BLBI karena bangsa ini takut menyelesaikan persoalan-persoalan besar?

Indonesia tidak boleh terperangkap dalam rasa takut itu. Mewujudkan Indonesia negara hukum menuntut konsistensi. Konsistensi harus dibuktikan dengan kemauan dan keberanian politik yang sungguh-sungguh dalam menyelesaikan hingga tuntas persoalan-persoalan hukum, baik skala besar maupun kecil. Sebesar atau sekecil apa pun persoalan hukum itu, penyelenggara negara dan pemerintahan harus memastikan tidak ada pertanyaan yang tersisa di benak rakyat dari setiap kasus atau persoalan hukum. Itulah konsistensi yang dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia negara hukum.

Sistem hukum dan sistem politik Amerika Serikat (AS) saat ini sedang menyelesaikan skandal perselingkuhan yang melibatkan mantan Direktur Badan Intelijen AS (CIA), David Petraeus, dan John Allen, jenderal bintang empat yang menjabat Panglima Pasukan AS di Afghanistan. Di Prancis, mantan Presiden Nicolas Sarkozy diajukan ke pengadilan karena dituduh menerima dana sumbangan ilegal untuk kampanye tahun 2007 dari ahli waris industri kosmetika L’Oreal, Liliane Bettencourt.

Sementara itu, di Italia, mantan Perdana Menteri Silvio Berlusconi juga harus dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan kekuasaan dan membayar remaja usia 17 tahun untuk melakukan hubungan seksual. Itulah contoh negara yang mencoba konsisten menegakkan keadilan dan contoh konsistensi tentang menempatkan semua orang sama di hadapan hukum. Tidak ada implikasi politik yang luar biasa di tiga negara itu berkat kedewasaan dan kematangan berpolitik.

Pertanyaan kemudian adalah mengapa harus terjadi ketakutan luar biasa manakala muncul desakan agar skandal Bank Century segera dituntaskan, baik melalui mekanisme hukum maupun mekanisme politik? Kalau yang dijaga semata-mata stabilitas pemerintahan, berarti aspek keadilan yang dikorbankan. 

Kalau seperti itu maunya, jangan lagi berangan-angan mewujudkan Indonesia negara hukum. Kalau dikhawatirkan pemakzulan Wakil Presiden (Wapres) Boediono akan memakan biaya politik sangat besar, berarti benar bahwa budaya politik kita masih jauh dari tahap dewasa. Kalaupun harus terjadi pergantian figur wakil presiden, mestinya tidak mahal. Juga tidak harus menimbulkan implikasi politik yang luar biasa. Sebab hanya dibutuhkan kesepakatan sejumlah partai politik anggota koalisi yang mendukung pemerintahan saat ini.

Soal Pilihan

KPK sudah menemukan fakta tindak pidana korupsi oleh dua pejabat Bank Indonesia (BI) dalam pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) untuk eks Bank Century, sehingga merugikan keuangan negara. Selain itu, kedua pejabat BI itu diduga menyalahgunakan wewenang mereka saat menetapkan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemis. Sangat logis juga kalau KPK sampai pada kesimpulan bahwa Gubernur BI waktu itu, Boediono (kini menjabat Wapres RI), juga mengerti dan berperan dalam pemberian FPJP sebesar Rp6,7 triliun pada 2008 itu.

Tim Pengawas (Timwas) Kasus Bank Century DPR tentu saja harus memberi perhatian ekstra ketika KPK menegaskan bahwa Boediono tidak kebal hukum. Dia bisa diperiksa lagi oleh KPK, dan tak tertutup kemungkinan menjadi tersangka jika KPK sudah memeriksa dua pejabat BI yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Mengacu pada progres yang diperlihatkan KPK, sebuah tim kecil yang dibentuk Timwas Bank Century DPR mulai menyusun draf laporan akhir. Laporan itu akan dibahas dalam rapat pleno internal timwas pada awal Desember 2012. Pleno timwas akan menetapkan sebuah keputusan yang akan dibacakan dalam forum sidang paripurna DPR untuk penutupan masa sidang 2012, yang dijadwalkan pertengahan Desember 2012.

Bagaimanapun, timwas menggarisbawahi keputusan KPK yang telah meningkatkan penanganan kasus Bank Century ke tahap penyidikan karena telah ditemukannya fakta tindak pidana korupsi, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan unsur kerugian negara. Karena fakta-fakta itu terjadi saat Boediono menjabat Gubernur BI, timwas amat mungkin akan merekomendasikan kepada DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat. Itu dianggap sangat penting karena hak menyatakan pendapat akan memberi kepastian hukum dan kepastian politik bagi Boediiono.

Timwas sadar betul bahwa agenda hak menyatakan pendapat tak mudah. Bukan pekerjaan ringan untuk bisa mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Sebab pelaksanaan hak menyatakan pendapat harus didukung dua pertiga suara anggota DPR. Publik tahu bahwa di atas kertas, mayoritas anggota DPR adalah pendukung pemerintah. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk menunggu pandangan akhir Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk sampai pada penilaian akhir, MK bisa butuh waktu 90 hari.

Kalau menurut MK tidak ditemukan cukup bukti adanya perbuatan melawan hukum, Boediono otomatis bebas. Nama baiknya wajib dipulihkan. Dengan demikian, sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono tidak memiliki beban lagi atau tersandera kasus Bank Century. Sebaliknya, jika penilaian MK sejalan dengan temuan BPK dan Pansus DPR, terbuka peluang bagi tokoh-tokoh Partai Demokrat untuk menduduki kursi wapres yang ditinggalkan Boediono. Sebab wewenang untuk mengajukan pengganti Boediono dalam Sidang Istimewa MPR adalah milik Presiden Yudhoyono.

Idealnya, wacana tentang hak menyatakan pendapat dipahami sebagai niat menyelesaikan persoalan hukum yang selama ini menyandera pemerintahan SBY-Boediono. Hak menyatakan pendapat punya implikasi politis memang tak terhindarkan karena menyentuh jabatan politis. Maka implikasi politik dari hak menyatakan harus diterima sebagai konsekuensi logis. Apa yang ditakutkan dari implikasi itu?

Pilihannya sebenarnya sangat jelas dan sederhana. Tetap membiarkan pemerintahan ini tersandera plus citra buruk yang harus ditanggung Boediono, atau membebaskan pemerintahan SBY dari kecurigaan dan tuduhan sekaligus memulihkan nama baik Boediono? Siapa yang bisa dan berhak memilih tak perlu disebutkan lagi.

Namun, kalau rakyat yang ditanya, bukan jawaban yang diperoleh, melainkan pertanyaan balik; kenapa harus takut menuntaskan kasus Century? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar