Selasa, 27 November 2012

Mengawal Independensi KPU


Mengawal Independensi KPU
FS Swantoro ; Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 27 November 2012


"Apa pun yang dilakukan KPU, harus dalam kerangka membenahi partai-partai sebagai infrastruktur politik"

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) sedang menjadi sorotan publik. Pasalnya, pihak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengadukan dugaan pelanggaran KPU kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Persoalan ini dipicu oleh dugaan pelanggaran kode etik terkait penolakan KPU atas rekomendasi Bawaslu atas verifikasi faktual 12 parpol (SM, 10/11/12).

Selain itu, KPU dianggap tidak punya iktikad baik dalam memberi informasi terhadap sejumlah hal terkait dengan verifikasi parpol, ditambah tidak konsisten dalam memberi alasan penundaan pengumuman hasil verifikasi administrasi dari tanggal 25 menjadi 28 Oktober. Tapi Dewan Kehormatan belum mengambil putusan atas sengkarut ini. Lantas, apa yang harus dilakukan dan dipersiapkan KPU?

Tanpa bermaksud menggurui, langkah paling pas buat KPU adalah bersikap profesional dan independen. Artinya, sebagai garda terdepan dalam penyelenggaraan pemilu, KPU harus netral, nonpartisan, dan mandiri. Karena akan diawasi banyak pihak hingga pengumuman hasil pemilu sehingga KPU tidak hanya berurusan dengan parpol, tapi juga birokrasi pemerintah, Bawaslu, civil society, aktivis pemilu, dan kampus.

Artinya, KPU akan berada pada posisi yang diawasi. Di satu sisi, KPU harus memenuhi kepentingan semua pihak, dari parpol peserta pemilu, pemerintah, Bawaslu, LSM, hingga masyarakat. Pada sisi lain, KPU harus konsisten menjalankan ketentuan konstitusi dan UU, karena banyak kepentingan partai-partai politik akan dibatasi.

Selain bertanggung jawab terhadap seluruh proses tahapan pemilu, KPU dituntut mampu melaksanakan pemilu secara aman, damai, dan demokratis. Karena itu, lembaga itu harus profesional dan independen. Independensi akan menjadi penentu sukses tidaknya pemilu mengingat bila penyelenggara berpihak pada parpol tertentu, bisa mendorong penyimpangan, yang pada gilirannya memicu konflik dalam masyarakat.

Karena itu, kata kuncinya adalah bagaimana menjadikan KPU sebagai lembaga penting dan strategis. Sebagai lembaga strategis, KPU bersifat nasional, tetap, dan independen, serta memiliki derajat kelembagaan sama dengan lembaga lain yang dibentuk lewat UU. Independensi menjadi landasan penting dalam melaksanakan pemilu, mengawasi birokrasi pemerintah, dan partai peserta pemilu, serta bersinergi dengan Bawaslu. Dalam konteks ini, independensi menjadi esensial karena menentukan kelanjutan institusi tersebut ke depan.

Independensi itu meliputi tiga hal; independensi institusional, fungsional, dan personal. Makna independensi institusional, KPU bukan bagian institusi pemerintah atau negara, dan bukan subordinat parpol. Adapun independensi fungsional bermakna KPU tak boleh diperintah lembaga mana pun dalam menjalankan pelaksanaan pemilu. Sementara, independensi personal bermakna komisioner adalah personel yang imparsial, jujur, dan berintegritas. Tiga hal itu esensial bagi penyelenggara pemilu.      

Pembangkangan Birokrasi

Karena itu, proses verifikasi parpol tak boleh cacat hukum dan harus dipahami sebagai  tahapan krusial dalam proses penyelenggaraan pemilu. Verifikasi ini harus menjadi momentum mengevaluasi keberadaan partai-partai dan mendorong penataan sistem kepartaian. Apa pun yang dilakukan KPU, harus dalam kerangka membenahi partai-partai sebagai infrastruktur politik.

Dalam verifikasi itu kecurangan berisiko terjadi dalam bentuk meloloskan partai yang sebenarnya tidak memenuhi syarat. Namun melihat rekam jejak komisioner sekarang, KPU masih serius dan jujur menjalankan verifikasi parpol peserta pemilu. Justru yang dipertanyakan adalah jajaran Sekjen KPU. Seperti disebutkan komisioner, Ida Budhiati, bahwa ”telah terjadi pembangkangan birokrasi di KPU dalam supporting system.”

Persoalan sekarang Panitia Pengawas Pemilu di kabupaten/ kota belum semua terbentuk hingga pengawasan proses verifikasi faktual bisa terancam tidak optimal.

Padahal titik rawan verifikasi faktual terletak pada pemenuhan syarat memiliki 1.000 anggota atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota, dibuktikan dengan kartu tanda anggota (KTA).

Ke depan, ada dua pilihan bagi KPU. Pertama; membiarkan proses verifikasi parpol berjalan dengan ada kecurangan, baik oleh partai atau bersama-sama oknum penyelenggara pemilu. Kedua; melaksanakan verifikasi secara nondiskriminasi, yaitu melaksanakan verifikasi secara fair bagi semua partai peserta pemilu.

Memilih cara pertama berarti KPU bukan bagian penting dari elemen perbaikan kualitas demokrasi. Sebaliknya, memilih cara kedua, KPU akan menorehkan prestasi sebagai lembaga independen pelaksana pemilu. Kemudian yang perlu dibangun soliditas KPU, yang akan mempermudah komisioner menjalankan tugas secara profesional. Itu tugas berat bagi bagi lembaga itu dalam melaksanakan Pemilu 2014 secara jurdil dan demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar