Selasa, 27 November 2012

Mengorupsi Kesejahteraan


Mengorupsi Kesejahteraan
Moh Faiz Maulana ; Mahasiswa STAINU Jakarta,
Pengelola Komunitas Waria (Wacana Riang dan Gembira) Jakarta
SUARA KARYA, 26 November 2012


Tampaknya bukan kesejahteraan yang akan didapati oleh bangsa ini, jika melihat kondisi bangsa yang semakin hari semakin kompleks masalahnya. Demokrasi yang diidam-idamkan mampu menjadi tumpuan menuju puncak kesejahteraan ternyata tak kunjung menunjukkan kekuatannya. Malahan, demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum memberikan dampak yang positif bagi mereka.
Sila 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' semakin redup terlihat. Ada semacam stigma di cara pandang bangsa kita, kesenjangan sosial antara elite penguasa dan masyarakat dinilai sebagai strata sosial yang berbeda jauh, bak langit dan bumi.
Stigma tersebutlah yang barangkali membuat elite penguasa bertindak 'semau gue'. Ini membuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat menjadi semakin jauh dari harapan bangsa Indonesia.
Apa yang dikatakan oleh banyak tokoh kenegaraan tentang status bangsa Indonesia sebagai negara berkembang tampaknya ada benarnya juga. Bangsa ini memang berkembang pesat, berkembang menuju negara yang sangat timpang, dilihat dari sikap bangsa sekarang ini yang berlawanan dengan prinsip mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum keadilan dan keseimbangan adalah hukum alam. Jadi, siapa pun yang melanggar keadilan dan keseimbangan sama dengan melanggar hukum kosmos, sehingga apa yang dihasilkan akan bersifat kosmis atau menyeluruh. Seperti halnya korupsi.
Korupsi adalah salah satu sebab (penting) dari tidak munculnya kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan berbangsa kali ini. Kita tahu bahwa saat ini korupsi semakin meraja-lela, liar, buas, memangsa apa saja yang ada di hadapannya. Adakah yang salah dalam proses penegakan hukum? Ataukah murni kesalahan dari sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang terlalu rakus?
Karl Gunnar Myrdal mengatakan, Indonesia merupakan sosok negara yang soft state, negara yang lunak. Yaitu, negara yang pemerintahan dan warganya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial-politik. Kita umumnya mengidap kelembekan (leniency), sikap serba memudahkan (easy going), sehingga tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejehatan seperti korupsi, lebih-lebih korupsi dalam bentuk conflict of interest.
Tampaknya apa yang dikatakan Karl ada benarnya. Ini terbukti dengan tidak tuntasnya beberapa kasus korupsi yang menggelayuti bangsa ini. Bagaimana dengan kasus Century, korupsi pajak oleh Gayus Tambunan, dan juga kasus Hambalang yang sampai saat ini masih 'ragu-ragu' dalam penanganannya. Mungkin karena sebagian dari ribuan, atau jutaan, bahkan sampai miliyaran kasus yang tiba akhirnya akan lenyap begitu saja, bak tertelan bumi tanpa ada penyelesaian. Ini telah membuktikan sikap kelembekan (leniency) kita dalam menghadapi korupsi.
Moral Korupsi

Apakah ini (korupsi), hasil dari demokrasi kita? Demokrasi yang dinanti-nanti ternyata hanya berbuah simalakama. Sungguh jauh panggang dari api. Demokrasi tampaknya lebih dimaknai dengan kebebasan. Kebebasan yang terlampaui batas, bebas boleh ngapa-ngapain (termasuk korupsi), tetapi esensinya tidak bisa ngapa-ngapain. Demokrasi di Indonesia (sudah) telanjur melenceng dari maknanya yang suci. Kaburnya makna demokrasi bersamaan dengan melemahnya moral bangsa. Lemahnya standar moral bangsa kita inilah yang menyebabkan kita sekarang mengalami berbagai bentuk conflict of interest.
Melemahnya kesadaran arah dan tujuan hidup bernegara yang menggejala saat ini berdampak sangat negatif kepada usaha penegakan hukum dan keadilan. Karena, beroperasinya praktik suap-menyuap, money laundering, membuat rakyat semakin banyak kehilangan kepercayaan kepada para penegak hukum.
Ketidakadilan dalam proses-proses penegakan hukum oleh aparat-aparat yang bersangkutan telah mencoret nama baik keadilan di mata rakyat Indonesia. Keadilan yang jujur tak berpihak menjadi idaman rakyat Indonesia yang saat ini kelihatan mustahil diterapkan di negeri ini.
Demokrasi, dianggap sebagai konsep yang paling representatif untuk diterapkan dalam perjalanan bangsa ini. Namun, belum jelas (sebenarnya) demokrasi macam apa yang dipakai. Tetapi, banyak orang menganggap (demokrasi) yang paling baik di antara yang terburuk. Menganggap bahwa demokrasi-lah yang bisa menjadikan Indonesia 'sedikit' lebih sejahtera.
Kesejahteraan adalah ujung dari penantian panjang demokrasi yang sesungguhnya. Idealnya, demokrasi semacam itulah yang diharapkan oleh seluruh elemen bangsa ini. Namun realitas berkata lain. Gagasan dan visi demokrasi semakin hari semakin melenceng dari apa yang dicita-citakan bangsa ini.
Gagasan dan visi demokrasi kita telah dikorupsi. Koruptor telah membuat masyarakat Indonesia kehilangan jati diri dan figure identifikasi tentang sebuah rumah (home) dan alamat (address) dalam konteks personal dan bangsa (nation) serta kebudayaan/peradaban (culture) dalam ruang tatanan sosial yang ada hingga tak sedikit pun mampu mensejahterakan rakyat. Padahal, rakyat tentu selalu memimpikan sebuah negara yang adiluhung gemah ripah loh jinawi.

1 komentar:

  1. citrayuliana990@ymail.com6 Desember 2012 pukul 06.22

    subhanallah ... senior q d STAINU ... akhir'a ak menemukan ... menarik pembahasan'a ...

    BalasHapus